Garut News ( Selasa, 21/01 – 2014 ).
Putusan MK menghapuskan frasa “perbuatan tidak menyenangkan” dari rumusan Pasal 335 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan terobosan hukum penting, dan bersejarah.
Meski agak terlambat, keputusan ini menandai kembalinya prinsip kesetaraan dalam aturan hukum pidana kita.
Sebenarnya sudah lama para ahli hukum mempersoalkan bunyi pasal 335 ayat (1) yakni, “Barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri atau orang lain.”
Dengan rumusan macam itu, pasal 335 rawan ditafsirkan sesuai dengan selera penegak hukum semata.
Peraturan itu tidak menyediakan penjelasan kapan sebuah tindakan bisa dikategorikan secara hukum masuk wilayah “tidak menyenangkan”.
Karena itulah, pasal ini sering dijuluki sebagai pasal keranjang sampah.
Gara-gara pasal ini, banyak aktivis, wartawan, politikus, bahkan warga negara biasa, diseret ke meja hijau.
Siapa saja yang merasa terganggu, tersinggung, terpojok, bahkan sekadar tersenggol, bisa mengadu ke polisi dengan memanfaatkan pasal ini.
Berlanjut-tidaknya pengaduan itu ke pengadilan biasanya tergantung siapa yang melapor.
Makin berkuasa si pelapor, makin banyak duitnya, makin besar kemungkinan pengaduan itu disidangkan di pengadilan.
Model penegakan hukum macam ini tentu tak adil, tak patut, dan tak layak.
Ketika hukum bisa ditarik-ulur seperti karet, tergantung penafsiran para aparatur penegak hukum, wajar jika khalayak merasa waswas.
Apalagi ada ancaman penahanan buat tersangka.
Prinsip kesetaraan semua orang di hadapan hukum jadi tak bermakna.
Putusan majelis hakim MK, Kamis pekan lalu membuat bunyi pasal 335 ayat (1) berubah menjadi, “Barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.”
Dengan rumusan baru ini, mereka yang bertikai demi urusan privat dipaksa untuk menyelesaikan masalah lewat jalur perdata, sebagaimana seharusnya, atau melalui jalur perundingan.
Hanya, jika ada kekerasan, barulah polisi akan turun tangan.
Tak hanya itu.
Putusan ini seharusnya menjadi lonceng pengingat bagi Dewan Perwakilan Rakyat untuk memercepat pengesahan Rancangan Undang-Undang KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Koreksi kesekian kali oleh Mahkamah Konstitusi ini menandakan pembaruan atas hukum peninggalan kolonial Belanda tersebut sudah benar-benar mendesak.
Kita tak mungkin terus-menerus mengandalkan penegakan hukum pada undang-undang yang ketinggalan zaman.
***** Opini/Tempo.co