Hikmah Mengapa Alquran Kisahkan Keburukan Kaum Yahudi?

0
31 views
Seorang otientalis, Prof HAR  Gibb, yang menyatakan, "Islam is much more than a system of theology, it's a complete civilization". Jadi, Islam lebih dari sekadar  ajaran tentang teologi, Islam adalah peradaban yang lengkap. 

 Ahad 02 Jan 2022 06:21 WIB

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah

Seorang orientalis, Prof HAR  Gibb, yang menyatakan, “Islam is much more than a system of theology, it’s a complete civilization”. Jadi, Islam lebih dari sekadar  ajaran tentang teologi, Islam adalah peradaban yang lengkap.

Alquran mengabadikan perilaku buruk kaum Yahudi”

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Keberadaan kaum Yahudi dalam rentetan sejarah, mempunyai banyak catatan negatif.

Kebanyakan kaum Yahudi terdahulu kerap melakukan perbuatan buruk. Hal ini pun diabadikan dalam Alquran agar umat Islam tidak mengikuti perbuatan buruk mereka.  

Dalam bukunya yang berjudul “Tadabbur Qur’an di Akhir Zaman”, Ustaz Fahmi Salim membahas hal ini dengan mengutip ayat Alquran. Allah SWT berfirman:

وَتَرٰى كَثِيْرًا مِّنْهُمْ يُسَارِعُوْنَ فِى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاَكْلِهِمُ السُّحْتَۗ لَبِئْسَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ. لَوْلَا يَنْهٰىهُمُ الرَّبَّانِيُّوْنَ وَالْاَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْاِثْمَ وَاَكْلِهِمُ السُّحْتَۗ لَبِئْسَ مَا كَانُوْا يَصْنَعُوْنَ

“Dan kamu akan melihat banyak di antara mereka (orang Yahudi) berlomba dalam berbuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat. Mengapa para ulama dan para pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat.” (QS Al Maidah [5]: 62-63).

Ustadz Fahmi Salim menjelaskan, konteks ayat ini adalah berbicara tentang perilaku orang-orang Yahudi, Ahli Kitab, dan para pemuka agama mereka. Kata Allah ﷻ, sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut, kamu akan melihat kebanyakan dari mereka orang-orang Yahudi, bersegera membuat dosa dan melakukan permusuhan, serta memakan yang haram.

Kemandirian Ekonomi Ponpes Yadul ‘Ulya Garut.

Tak sekadar memakan bangkai atau makanan yang haram, menurut Ustadz Fahmi, kaum Yahudi juga mencari penghidupan dari memakan harta atau uang haram dan dari hasil jerih payah yang juga haram. “Sungguh, amat buruk apa yang mereka kerjakan itu,” ujar Ustadz Fahmi.

Di dalam Alquran, lanjut dia, biasanya ketika menyebut umat terdahulu selain Islam, Allah ﷻ memang suka menyinggung tentang perilaku-perilaku buruk mereka. Menurut Ustadz Fahmi, penyebutan ini bertujuan agar umat Islam tidak mengikuti perbuatan mereka.

Dalam ayat tersebut, menurut Ustadz Fahmi, Allah ﷻ menggambarkan tiga perilaku buruk yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, yaitu bersegera melakukan dosa, selalu membuat permusuhan, dan memakan yang haram.  “Ketiga hal itu menjadi ciri dan karakteristik mereka,” jelas Ustadz Fahmi.

Kemandirian Ekonomi Ponpes Yadul ‘Ulya Garut.

Hal itu berbeda dengan kehidupan umat Islam di dunia yang diatur dengan aturan-aturan-Nya. Dari hal terkecil sampai terbesar telah diatur oleh syariat Islam.

Hal ini telah diakui juga oleh seorang orientalis, Prof HAR  Gibb, yang menyatakan, “Islam is much more than a system of theology, it’s a complete civilization”. Jadi, Islam lebih dari sekadar  ajaran tentang teologi, Islam adalah peradaban yang lengkap.

Tuntunan 01 Jan 2022, 04:18 WIB

Muhasabah Diri

Kemandirian Ekonomi Ponpes Yadul ‘Ulya Garut.

“Islam mengenal konsep muhasabah yang tidak menunggu masa tahunan”

OLEH A SYALABY ICHSAN

Perhitungkan dirimu sebelum kamu diperhitungkan dan timbanglah dirimu sebelum kamu ditimbang dan bersiap-siaplah untuk pameran yang paling besar.

Akhir tahun kerap menjadi momentum untuk berbenah diri. Evaluasi, introspeksi dan resolusi pun disusun demi meraih pencapaian terbaik pada tahun berikutnya.

Islam mengenal konsep muhasabah yang tidak menunggu masa tahunan. Upaya menghitung diri bisa dilakukan setiap hari sesuai dengan firman Allah SWT.

Yaa ayyuhalladzii naamanuttaqullaha wal tanzhur nafsun ma qadda mat lighad. Wattaqullah. Innallaha khabirun bimaa ta’malun.” (QS al-Hasyr: 18).

Kemandirian Ekonomi Ponpes Yadul ‘Ulya Garut.

Yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah (dengan mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya), dan hendaklah setiap diri melihat dan memperhatikan apa yang telah dilakukan (dari amal-amalnya) untuk hari esok (hari Akhirat). dan (sekali lagi diingatkan) bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mahateliti akan segala yang kamu kerjakan.”

Prof Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah menjelaskan, dalam ayat ini, Allah SWT memberi perintah takwa hingga dua kali. Dua perintah tersebut mengapit imbauan agar kita memperhatikan segenap amal yang sudah diperbuat.

Takwa yang pertama, ujar Quraish, berada dalam konteks ajakan kepada kaum Muslimin agar tidak bernasib seperti orang Yahudi dan munafik yang mendapatkan siksa duniawi dan ukhrawi. Karena itu, kita diminta bertakwa agar terhindar dari siksa Allah baik dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Perintah takwa kedua didorong rasa malu atau untuk meninggalkan amalan negatif. Hal ini tampak jelas dari kalimat, “Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah meliputi pengetahuan-Nya akan segala yang kamu kerjakan.”

Mengamati Agro Park Ponpes Yadul ‘Ulya Garut.

Quraish menjelaskan,  perintah untuk memperhatikan apa yang diperbuat untuk hari esok merupakan  perintah untuk melakukan evaluasi terhadap segenap amal yang telah dilakukan. Analoginya bak seorang tukang yang telah menyelesaikan pekerjaannya.

Ia dituntut untuk memperhatikannya kembali agar menyempurnakannya bila telah baik atau memperbaikinya bila masih ada kekurangan. Jika tiba saatnya diperiksa, tidak ada lagi kekurangan karena barang tersebut sudah tampil sempurna. Demikian dengan setiap mukmin yang dituntut untuk terus menjadi lebih baik.

Para ulama menjelaskan, ada tiga dimensi waktu pada ayat tersebut. Pertama, masa sekarang dan yang akan datang dalam kalimat wal tanzhur. Karena itu, ayat tersebut bisa dimaknai hendaknya setiap jiwa itu dalam keadaan terus menerus memperhatikan apa yang telah dia lakukan.

Dimensi kedua yakni masa lalu. Apa yang telah dia lakukan. Sementara itu, dimensi berikutnya adalah masa depan (lighadin) yang dimaknai sebagai akhirat.  Karena itu, kita diminta untuk mengevaluasi perbuatan pada masa lalu dengan fokus terhadap amal-amal yang sedang kita lakukan sebagai inventarisasi dan pertanggungjawaban pada tak hanya hari esok tetapi sampai kepada akhirat.

Muhasabah berasal dari kata bahasa Arab hasaba-yahsubu-hisaban yang berarti menghitung. Dalam sebuah kesempatan, Umar bin al-Khattab berpesan untuk senantiasa melakukan perhitungan diri dengan perkataan yang artinya: “Perhitungkan dirimu sebelum kamu diperhitungkan dan timbanglah dirimu sebelum kamu ditimbang dan bersiap-siaplah untuk pameran yang paling besar.”

Sebagian ulama menyatakan bahwa muhasabah diri adalah kesiapan akal untuk menjaga dirinya dari perbuatan khianat dan senantiasa bertanya dalam setiap perbuatan yang dia lakukan, “Mengapa dia melakukannya dan untuk siapa dia lakukan?”

Apabila ternyata perbuatannya itu karena Allah, maka dia melanjutkannya. Namun bila dia berbuat karena selain Allah maka segera dia menghentikannya, dan menyalahkan dirinya atas kekurangan dan kesalahan yang dia lakukan.

Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyatakan apabila seorang hamba telah memberikan persyaratan kepada dirinya dalam melaksanakan kebenaran pada pagi harinya dan waktu sore, dia hendaknya menuntut dirinya dan menghisabnya atas segala gerak dan diamnya.

Hal ini sebagaimana apa yang dilakukan para pedagang terhadap barang dagangannya setiap akhir tahun, atau akhir bulan, bahkan setiap hari. Demikian besarnya harapan untuk memperoleh keuntungan dan takut mengalami kerugian sehingga perjalanan waktu terasa amat cepat dan singkat.

Kapan waktu yang tepat untuk memuhasabah diri? Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah menjelaskan, betapa besar manfaat seseorang untuk duduk sebentar sesaat sebelum tidur untuk memuhasabah diri.

Dia bisa melihat apa yang dialami pada hari itu, apakah keuntungan dan kerugian. Dia memperbaharui taubat nasuha antara dirinya dengan Allah SWT. Kemudian, dia tidur dengan tobatnya dan bertekad untuk tidak mengulangi dosa saat terjaga nanti.

Jika amalan ini dilakukan setiap malam, Ibnu Qayyim menjelaskan, seseorang yang mati dalam kondisi demikian, maka ia mati dalam keadaan tobat. Jika terjaga, maka dia berada dalam kondisi siap beramal dan bergembira karena ajalnya ditangguhkan. Dia pun bisa menghadap keharibaan Tuhannya dan memperbaiki kekurangannya.

Wallahu a’lam.

******

Republika.co.id/Ilustrasi Fotografer : Abah John.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here