Putu Setia
@mpujayaprema
Garut News ( Ahad, 15/03 – 2015 ).

Suara pesawat menderu. Romo Imam langsung menatap langit. Dua Sukhoi terbang memecah mendung. “Apa mau dipulangkan lagi ke Bali?” kata Romo. Saya gagal paham. “Siapa yang dipulangkan?”
“Siapa tahu dua terpidana mati Bali Nine yang sudah di Nusakambangan mau dipulangkan ke Bali. Sewaktu diangkut ke Nusakambangan kan dikawal pesawat tempur,” ujar Romo.
Saya mulai paham. Saya katakan, “Tak mungkin balik lagi, Romo. Persiapan eksekusi sudah matang. Sudah lama Jaksa Agung Prasetyo bilang persiapan 95 persen. Dua kapal perang Angkatan Laut juga sudah berada di perairan Nusakambangan. Penembak dari Brimob sebanyak 130 orang juga sudah siaga. Sepuluh peti jenazah sudah siap. Rohaniwan pendamping sudah berada di sana. Keluarga terpidana mati sudah pula menjenguk yang terakhir kalinya.”
Romo memetik bunga. “Kapan dor-nya?” tanya dia. Tapi Romo tak perlu jawaban saya. “Setelah persiapan matang, ternyata masih ada napi yang menunggu keputusan peninjauan kembali. Malah ada yang mengajukan peninjauan baru. Juga ada yang menggugat grasi ke pengadilan tata usaha negara. Ini bagaimana, sih?
Kalau memang masih ada peluang hukum yang dibolehkan, jangan dong grasa-grusu mau nembak. Berapa biaya kapal-kapal perang yang siaga itu?
Berapa dana yang dihabiskan untuk penantian yang tak jelas itu? Berapa energi yang dibuang, belum lagi penundaan ini melahirkan gunjingan macam-macam. Ada tekanan pihak luar, ada nego barter tahanan, meskipun semua dibantah, capek juga mendengarnya.”
Saya diam, tapi tetap mengikuti langkah kecil Romo di kebun bunga itu. “Seharusnya Jaksa Agung bertanya dulu ke Mahkamah Agung, apakah masih ada lubang-lubang hukum yang bisa dipakai terpidana mati itu untuk memperpanjang hidupnya. Kalau masih ada, ya, sabar dulu. Kalau lubangnya tertutup, baru disiapkan eksekusinya. Ini ibarat pentas ketoprak yang sudah dikoar-koarkan keliling kampung, ternyata ditunda karena pemainnya sakit.”
Dalam hati saya tertawa, tapi bukankah lebih baik diam? “Kita lebih banyak heboh dibanding bekerja. Bukan hanya soal eksekusi itu, tapi juga di banyak hal. Tadinya saya ikut mencela logo 70 tahun Indonesia merdeka yang ada kata-kata ‘Ayo Kerja’. Saya bilang, ini slogan untuk apa, seolah bangsa ini menjadi bangsa pemalas sampai dihardik dengan kata itu. Eh, ternyata maksudnya mengajak kita untuk bekerja dan bukan ngomong doang.”
Saya tak berkomentar. “Kita ngomongnya melambung terus. Bikin tol di laut, bikin tol di Sumatera, bikin jalur kereta di Kalimantan. Oke, oke. Tapi puluhan anak sekolah terjun ke sungai karena jembatan gantungnya roboh di Banten. Di Bone, di Boyolali, entah di mana lagi, orang-orang hanya mengandalkan tali untuk menyeberangi sungai. Itu kan di depan mata, mbok itu dulu dikerjakan.”
Mungkin karena saya diam terus, Romo menatap saya. “Berapa banyak sekolah yang atapnya jebol, berapa ratus anak-anak belajar di lantai karena bangkunya rusak? Lha, ini kok membuat program pengadaan UPS yang biayanya miliaran rupiah. Orang bodoh pun tahu kalau itu peluang korupsinya besar. Ya, koruptor makin senang. Sudah Komisi Pemberantasan Korupsi dilemahkan, malah ada wacana remisi untuk koruptor mau dihidupkan lagi. Sebenarnya apa kita masih punya komitmen untuk berantas korupsi?”
Romo memelototi saya. “Sampeyan kok diam melulu?” Saya mencoba tersenyum dan bilang, “Saya sedang mencerna apa yang Romo katakan.
Ternyata pemimpin kita terlalu banyak omong dan suka bikin heboh. Slogan ‘Ayo Kerja’ itu seharusnya ditujukan kepada mereka, bukan ke kita.”
*******
Tempo.co