Hamka, Rendra, Puisi Sukmawati: Drama ‘Patine Gustiallah’

Hamka, Rendra, Puisi Sukmawati: Drama ‘Patine Gustiallah’

939
0
SHARE
WS Rendra baca puisi. (Foto: commons.wikimedia.or).

Jumat 06 April 2018 05:07 WIB
Red: Muhammad Subarkah

“Umat Islam adalah kekuatan pembuat revolusi bangsa, maka harus diajak kerjasama”

Oleh: Muhammad Subarkah*

WS Rendra baca puisi. (Foto: commons.wikimedia.or).

Apa sih definisi puisi bermutu itu? Ketika pertanyaan ditanyakan kepada sastrawan dan Guru Besar Filsafat Universitas Paramadina, Prof Abdul Hadi WM, dia hanya menjawab pendek. Katanya, “Puisi yang baik memiliki nilai estetis. Nilai inilah yang membuat sebuah puisi berharga. Dalam nilai estetis itu sudah terangkum nilai-nilai lain. Jadi bukan karena bikin heboh,” ujarnya.

Dan ketika ditanya soal kualitas puisi Sukmawati ‘Ibu Indonesia’ yang di media sosial dikenal juga dengan ‘puisi konde’, Abdul Hadi menjawab singkat bahwa di kalangan kritikus sastra ada isitilah ‘under critic’. Dalam kategori ini kritikus sastra enggan mengomentari karena tidak ada pencapaian estetik yang bermutu sehingga tak perlu juga dilakukan kritik atas karya tersebut.

Pernyataan itu membuat tercenung, apalagi kemudian melihat tayangan debat di Youtube yang mengatakan sebuah karya puisi tak usah jadi masalah dan jangan dibuat sastra sebagai ancaman. Puisi harus dibalas puisi, bukan ancaman pidana atau malah vonis penjara. Dengan simpulan kata yang lebih sederhana sikap itu terkesan juga: jangan menjadikan karya sastra mengeruhkan keadaan.

Terkait pernyataan itu ingatan tentu harus balik kepada nasib yang menimpa sederet nama sastrawan kondang seperti Amir Hamzah, Buya Hamka, WS Rendra, Pramodeya Ananta Toer, atau hingga nasib Wiji Thukul. Atau di bidang seni yang lain, yakni musik, di sana ada kisah nasib terkait dengan Koes Plus, Rhoma Irama, Betharia Sonata, dan lainnya. Sosok itulah yang mengalami langsung ternyata ‘jargon’ seni untuk seni hanya sekedar omongan hampa belaka.

Di zaman perjuangan kemerdekaan dikenal lagu Indonesia Raya karya WS Supratman. Di kemudian hari diketahui ide kata Indonesia berasal dari pihak lain, yakni para pelajar yang kala itu menuntut ilmu di Belanda (Perhimpunan Pelajar Indonesia). Bahkan ‘frase’ kalimat ‘merdeka’ ada yang menyatakan itu terpengaruh dari tulisan dan keyakinan pejuang Tan Malaka yang sampai akhir hidupnya yang tragis itu diketahui memimpikan Indonesa merdeka yang total atau merdeka 100 persen. Tan Malaka banyak menulis, tentu saja karya sastra, yang memimpikan datangnya masa kemerdekaan itu.

Bahkan pula, Tan Malaka di tahun 1920-an, dengan gagah berani mengatakan jangan anggap remeh kekuatan Islam (termasuk Indonesia). Omongan ini dikatakan Tan Malaka bukan dalam forum ‘ecek-ecek’ atau panggung hiburan, namun dalam sebuah rapat tokoh partai komunis dunia yang digelar di Rusia. Tan Malaka datang ke sana dari Belanda khusus untuk memberikan pidato dari satu-satunya wakil dari benua Asia.

Katanya, Islam adalah salah satu kekuatan untuk membuat revolusi! Maka harus diajak kerja sama. Dengan kata lain‘ tak perlu dimusuhi’. Tan Malaka di situ ketemu bapak bangsa Vietnam, Ho Chi Minh. ‘Paman Ho’ kagum pada Tan Malaka dan dia sendiri rela hanya datang sebagai delegasi peninjau, alias tak memberikan pidato.

Semua tahu apa yang saat itu telah terjadi. Kala itu, kekuatan Islam –baik politik dan agama — telah tumbuh di kepulauan Nusantara seiring dengan hadirnya Sarikat Dagang Islam, Sarekat Islam, Muhammadiyah. Tokoh utamanya tentu saja HOS Tjokroaminoto, yang saat itu dijuluki ‘Raja Jawa Tanpa Mahkota’. Dengan suara pidatonya yang menggelegar Tjokro membangunkan kesadaran orang betapa sakitnya hidup dalam penjajahan dan betapa berharganya sebuah kemerdekaan.

Ribuan orang datang dalam rapat umum untuk mendengarkan orasi Tjokro. Masa mengeluk-elukannya. Bahkan dalam forum pertemuan di berbagai tempat di Jawa orang spontan duduk bersila di tanah untuk menghormati kedatangannya.

Di samping Tjokro, tentu saja ada tokoh lain seperti ‘si anak pintar’ dari Sumatra Barat Agus Salim. Dan kemudian ada juga tokoh Sukarno yang merupakan anak asuhan Tjokro sendiri. Di samping itu juga kemudian muncul cucu sufi besar ranah Minangkabau, Mohammad Hatta. Dan juga ada sosok lain seperti Moh Yamin, Sutan Syahrir, M Natsir, dan lainnya.

Jalinan itulah yang menguatkan pembentukan Indonesia. Melintasi batas dan tidak hanya soal urusan baju dan gaya rambut, dari yang berkonde seperti Jawa atau berkerudung di tanah Melayu. Ada Jong Ambon, Sumatra, Celebes, Kalimantan dan lainnya. Dan di masa itu para tokoh memang kadang berdeda pendapat, bahkan berselisih baik secara fiksi dan nyata.

Tapi akhirnya mereka tetap lapang dada memaafkan. Para bapak bangsa mencontohkan sekaligus sadar bisa ‘menyingkapkan daun untuk mengambil buah’. Mereka nemukan arti persahabatan dan inti sari perjuangan sejati. Memisahkan nilai perjuangan dengan nafsu atau ego politik pribadi.

Di tahun 1960-an memang ada polemik sangat keras antara Pramoedya Ananta Toer dan Buya Hamka. Tak kepalang tanggung Pramoedya berusaha mengakhiri karir bersastra Hamka dengan menuduh banyak karyanya sebagai hasil plagiat. Dengan ‘kewenangan kekuasannya’ sebagai Redaktur Budaya Koran berafiliasi Partai Komunis Indonesia, Harian Rakjat, menuding segala hal mengenai Hamka dianggap buruk, bahkan jahat.

HB Jassin yang berusaha membela Hamka terkena imbasnya. Organisasi Manifes Kebudayaan yang didirkan Wiratmo Soekito (dan HB Jassin yang menjadi anggotanya) dibubarkan. Jassin dipecat sebagai dosen Universitas Indonesia. Manifes Kebudayaan oleh orang-orang ‘kiri’ diolok-olok secara pejoratif menjadi akronim: ‘Manikebu’. Anggota lainnya seperti Taufiq Ismail dipecat sebagai dosen dan gagal belajar ke luar negeri.

Tapi apakah Buya Hamka dendam? Setelah rezim berganti seiring dengan jatuhnya Sukarno dari kursi presiden, ternyata Hamka terbukti tak menyimpan dendam. Padahal dia punya hak untuk itu, diperlakukan buruk oleh Pramoedya hingga dijebloskan ke penjara tanpa pengadilan oleh pemerintahan Sukarno.

Dia malah di awal 1970-an dengan keras menentang pelarangan buku karya Pramudya hingga dengan ringan hati menshalatkan jenasah Sukarno yang dulu memenjarakannya itu. Tak cuma itu dia pun membuka tangan menerima anak dan menantu Pramoedya yang meminta diajari mengaji kepadanya.

Tokoh lain juga begitu. Pencetus perjanjian Roem-Royen, Mr Moh Roem di tahun 1980-an dengan gagah berani menepis sinyalemen yang ada dalam tulisan Rosihan Anwar mengenai isi dokumen pada tahun 1930-an yang kala itu diterbitkan kembali di Belanda. Dalam arsip itu Sukarno dinyatakan pernah meminta ampun kepada Belanda untuk meringankan masa tahanan ketika meringkuk di penjara Sukamiskin Bandung.

Bukan hanya itu Rosihan dalam tulisannya menyatakan Sukarno pernah pula menyerah dengan mengibarkan bendera putih ketika Yogyakarta di duduki Belanda pada Agresi Belanda II di tahun 1948. Maka, Mr Roem pun dengan berani membantah hal itu dengan menyatakan: Sukarno benar-benar pejuang sejati dan tak kenal menyerah!

“Menurut MR Roem, benar ada bendera putih berkibar di Istana Yogyakarta saat agresi Belanda II. Itu yang menyerah bukan putusan pribadi Sukarno, tapi atas keputusan sidang kabinet. Wakil Presiden Moh Hatta di sidang itu menyarankan biar para tokoh ditangkap saja. Pilihan ini dengan mempertimbangkan dana dan kesediaan personil pasukan serta senjata untuk mengawal Presiden dan Wakil Presiden menyingkir ke pedalaman untuk memimpin perang gerilya,” kata mantan staf Perdana Menteri M Natsir, Lukman Hakiem seraya mengatakan dengan ditangkap malah keselamatan para tokoh Republik bisa lebih terjamin.

Dan sikap Mr Roem ini sangat pula istimewa karena diketahui selaku petinggi Partai Masyumi pada tahun 1960-an dengan surat yang mengatasnamakan Jendral AH Nasution, dia ditangkap dan dijebloskan ke penjara tanpa melalui proses pengadilan. Tuduhannya tak jelas, namun kiranya penguasa rezim kala itu merasa MR Roem selaku petinggi Masyumi ikut dalam apa yang disebut pemberontakan PRRI/Permesta.

Di kemudian hari kemudian diketahui PRRI/Permesta sebenarnya bukan sebagai pemberontakan melainkan protes atas ketidakadilan otonomi daerah dan sikap protes anti komunis. Bahkan ada ahli sejarah yang mengatakan itu sebenarnya pemberontakan ‘setengah hati’.

Sama dengan Mr Roem, Mr Sjafruddin Prawiranegara juga bersikap lapang hati dengan Sukarno. Pendiri Bank Indonnesia ini diakhir hidupnya memaafkan Sukarno meski dia pernah mengejar-ngejarnya dan menuduh sebagai terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta karena pergi melawan dengan menyingkir ke berbagai kawasan hutan di Sumatra Barat. Sama dengan Hamka, Mr Moh Roem, Sjafruddin juga cukup lama hidup dalaman penjara.

’’Aku sudah maafkan dia. Sebab, setelah ditimbang-timbang jasa Sukarno pada bangsa ini masih jauh lebih banyak dibandingkan kesalahannya,’’ kata Sjafruddin seperti diceritakan salah seorang putrinya,

Dan ketika dekade 70-an semua paham apa yang dilakukan WS Rendra dengan puisi dan teaternya. Pertunjukan dia di teater terbuka Taman Ismail Marzuki dibubarkan paksa dan dilempari cairan berbau busuk, amoniak. Beberapa waktu sesudah itu Rendra ditangkap dan menghuni penjara. Dia mengalami rasanya berendam di kolam penyiksaan yang berbau dan penuh lintah, hingga diberi makan seadanya yang disajikan dengan cara dilemparkan dalam piring kaleng.

Tapi, sampai akhir hayatnya Rendra tak peduli dengan memberikan kredo kesaksian: Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Serupa dengan nasib Rendra, kemudian menimpa Wiji Thukul –nasib tragis juga menimpa penyair pelopor Pujangga Baru, Amir Hamzah, yang terbunuh dalam Revolusi Sosial (kerusuhan) di Sumatra Utara.

Jasad Amir Hamzah ditemukan tak bernyawa, sedangkan penyair asal Solo, Wiji Thukul, sampai sekarang tak ketahuan di mana rimbanya. Puisi Thukul jelas melakukan perlawanan pada rezim Orde Baru dengan jargonnya yang terkenal: Ketika penguasa pidato dan kita malah pergi kencing diam-diam, maka hanya ada satu kata, lawan!”

Pada kurun yang hampir sama ada pula soal pencekalan terhadap Rhoma Irama. Dia tak leluasa, bahkan dicoba dihambat untuk berekpresi karena tidak pro rezim. Tampil di televisi kala itu adalah hal yang tak bisa dilakukannya. Betharia Sonata dalam hal yang lebih lunak juga sempat bernasib sama. Senandung Betharia pada lagu ciptaan Obbie Maesakh, ‘Hati yang Luka, mengalami kendala karena oleh penguasa dianggap cengeng.

Nasib itu hampir sama dengan Koes Plus pada penghujung masa Orde Lama yang masuk bui karena dianggap kebarat-baratan karena banyak menyanyikan lagu grup musik kugiran Inggris: ‘The Beatles’.

Dan kala itu tentu saja lagu Koes Plus berlawanan dengan lagu Lilis Suryani, misalnya lagu ‘ Oentoek Paduka Jang Mulia (PJM) Soekarno’ yang banyak memberikan sanjung puja kepada penguasa termasuk ideloginya yakni: Manipol Usdek. Hal ini juga diulang pada rezim berikutnya pada sebuah karya lagu Titik Puspa yang bertajuk ‘Soeharto Bapak Pembangunan’.

Jadi fakta sejarah itu menjelaskan soal bahwa ‘jargon seni hanya untuk seni atau kekebasan sastra’ hanya bualan atau kicauan kosong saja. Ternyata semua budayawan-sastrawan harus bisa mengukur diri dengan kehidupan bersama, menyesuaikan dengan sistem politik, sosial, hukum, ekonomi, dan sebagainya.

Kalau tidak diindahkan kelak akan terjadi chaos sosial seperti pembunuhan para awak majalah kartun Charlie Hebdo di Prancis atau adanya fatwa hukuman mati Ayatollah Khomeini kepada penulis novel ‘Ayat Ayat Setan’ asal India yang tinggal di Inggris: Salman Rusdi.

Atau juga karena imbas kasus menghina adzan. Dalam soal ini maka harus ingat pada kisah awal yang menjadi penyebab meletusnya ‘pemberontakan petani Banten’ pada tulisan karya Hamka yang puluhan tahun lalu terbit: buku ‘Perbendaharaan Lama’. Kala itu ada orang Muslim tersinggung karena ada pejabat daerah berkebangsaan Belanda marah-marah mendengar Adzan di siang hari bolong yang menggangu kenyamanan waktu ‘siesta’ atau tidur siangnya. Dia meminta adzan dari sebah surau yang tak jauh dari kediamaan pejabat Belanda itu tak dilakukan karena menimbulan suara berisik.

Maka, mendengar kisah itu orang Islam di Banten tersulut marah. Perasaan benci akibat tertindas yang selama ini tertanam seolah menemukan jalannya atau menyulut sumbu untuk meledak. Maka meletuslah kerusuhan sosial yang hebat. Ibarat api ini situasi tak lagi sekedar bara yang terpendam, tapi sudah ikut berkobar menjilati masalah dasar yang lain, yakni kesenjangan sosial, hukum, dan ekonomi.

Banyak korban jatuh dalam pemberontakan yang berlangsung pada 9 Juli tahun 1888 itu. Baru padam setelah banyak orang ditangkap, tokoh pemicunya dihukum gantung yang vonisnya dilakukan di tengah alun alun, dan banyak orang Banten dihukum buang ke tanah pengasingan. Akibat omongan ternyata berdampak sangat serius berupa situasi kerugian besar sekali.

Dalam sastra memang ada kebebasan ‘lingua politika’ tapi itu hanya sebatas soal teknis dan diksi pilihan kata. Di luar itu ada ‘harimau yang harus dijaga yakni harmoni masyarakat dan kelangsungan negara. Fiksi ternyata sejatinya bukan fiksi sebab fiksi dan fakta kerapkali berbaur satu. Ini bisa dilihat dari mulai Babad Tanah Jawa, karya sastranya Buya Hamka dan Pramudya, novel ‘Para Priyayi’-nya Umar Kayam, hingga cerpennya Seno Gumbira Ajidarma yang bercerita soal ‘Penembak Misterius’.

Dalam lakon teater pun begitu. Dulu di tahun 1960-an, para seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di sekitar wilayah kaki gunung Merapi, Merbabu, dan Sindoro kerap menggelar pertunjukan ‘teater Jawa’ (Ketoprak) dengan judul ‘Patine Gustiallah hingga Gustiallah Mantu’. Ceritanya sebenarnya tentang perjuangan kelas, misalnya ada seorang putri tuan tanah yang memaksa kawin dengan orang rakyat jelata.

Tapi kemudian idenya dan alur cerita pemanggungan bisa berbelok ke mana saja hingga soal kisah ‘landreform’ (bagi-bagi tanah) hingga melecehan kekuasaan kerajaan Jawa. Mereka juga sibuk mengkritik ‘bandit rakyat’ yang dinamakan para ‘Setan desa’.

Pada saat yang sama pihak Islam di Yogyakarta, melawannya dengan mendirikan Teater Muslim yang dipimpin Mohammad Diponegoro yang kemudian menjadi penyiar Radio Australia itu. Di sini juga ada keterlibatan sosok Arifin C Noer, Amoroso Katamsi, Chaerul Umam, Kuntowidjoyo, bahkan yang mengejutkan ada sosok Abu Bakar Ba’asyir.

Maka munculah sajian pertunjukan drama atau teater berjudul ‘Tikungan Iblis ‘ , sebuah lakon tentang pengorbanan Nabi Ismail ketika hendak disembelih oleh bapaknya, Nabi Ibrahim AS. Di situ digambarkan berbagai upaya dan muslihat iblis yang berusaha menipu Nabi Ibrahim yang tetap kokoh melaksanakan perintah Allah dengan mengorbankan anaknya Ismail.

Ibrahim pun marah kepada iblis dengan melemparinya dengan batu yang kini lestari dengan ritual melempar jumrah oleh ketika umat Islam menunaikan ibadah haji itu.

Suasana pemahaman, sekaligus sikap arif itulah yang hendaknya terjalin pada karya sastra sebagai wahana ekpresi terkait urusan pribadi, hubungan sosial, hingga soal politik. Sebagai ‘akhirul kalam’ maka sebaiknya merenungkan lagi potongan pidato pakar hukum tata negara dan tokoh politik Prof DR Yusril Ihza Mahendra dalam pidato di acara Konggres Umat Islam Sumtara Utara di Medan, beberapa hari lalu.

Kata Yusril, umat Islam harus sadar politik sebab kalau tidak politik akan diambil pihak lain. Politik itu bukan suatu hal yang najis. ”Ketika umat Islam berkuasa umat Muslim terbukti hirau akan (keberadaan) mereka, tapi ketika mereka berkuasa mereka tak hirau akan kita, Celaka memang. Ini membuktikan segudang kekuasaan tak berarti apa-apa dengan sekepal kekuasaan!”.

Maka melihat kontroversi dunia politik hingga soal ‘puisi konde’, maka ada pesan yang bijaksana dari Pramodeya Ananta Toer di masa akhir Orde Baru: Berbuat adilah sejak dari pikiran.’’

Ironisnya kata adil –seperti juga dikatakan WS Rendra— orang Jawa ( yang suka disimbolkan dengan tusuk konde) tak punya padanan kata ‘adil’ yang itu yang jelas berasal dari kata Arab. Padahal padanan kata adil dalam bahasa Belanda, Inggris, dan Prancis jelas-jelas ada.

Dalam suluk dalang di pentas pewayangan misalnya, kata adil malah ditaruh jenjangnya di bawah kata ‘bijaksana’. Padahal bijaksana adalah cermin dari pada kata yang berbau ‘feodalistik’ bahwa semuanya berdasarkan kemauan serta sikap murah hati dari pihak penguasa (raja).

Dan ini berbeda secara diametral dengan adil yang mensyaratkan kesetaraan manusia, yakni harus ada aturan hukum tertulis, adanya lembaga peradilan mandiri, dan berlaku untuk semua, tak peduli raja maupun jelata. Misalnya, siapapun yang mencuri tak peduli itu dilakukan priyayi (bahkan raja dan keluarganya) atau orang biasa, harus mendatkan hukuman setimpal.

Jadi bijaksana, kadang tak adil karena hanya ‘bijak di sana’ bukan ‘bijak di sini’! Semoga pola kasus cerpen Ki Panjikusmin “langit Makin Mendung’ pada tahun 1969 yang telah membuat HB Jassin divonis hukuman dua tahun percobaan tak terulang.

********

Republika.co.id

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY