Garut News ( Selasa, 17/12 ).

Langkah para penghulu di Jawa Timur seharusnya mendapat apresiasi Kementerian Agama, dan masyarakat.
Keputusan para penghulu menikahkan calon pengantin hanya pada hari kerja, dan di Kantor Urusan Agama (KUA) sangat tepat.
Dengan keputusan itu, mereka sukarela menghapuskan perkara bersifat “meragukan”.
Pemicunya penghulu Romli, Kepala KUA Kecamatan Kota Kediri, Jawa Timur.
Ia dituduh melakukan korupsi memungut biaya nikah di atas tarif pemerintah sebesar Rp30 ribu per pernikahan.
Sejak itulah para penghulu se-Jawa Timur menjalankan aksi solidaritas dengan tak melayani permintaan menikahkan pasangan di luar kantor, dan di luar jam kerja.
Bagi para penghulu, menerima uang pemberian dari keluarga pengantin bukan tergolong gratifikasi.
Toh, sebagian besar dari mereka tak pernah menyebutkan besaran tarif.
Apalagi KUA memang tak menganggarkan biaya transportasi buat penghulu menikahkan pasangan di luar kantor atawa di luar jam kerja.
Tradisi ini berjalan puluhan tahun, dan dibiarkan saja alias dianggap sah.
Aksi solidaritas itu, kontan membingungkan masyarakat, terutama mereka masih kuat terikat pada tradisi Jawa.
Hari pernikahan biasanya ditetapkan dengan memerhitungkan penanggalan Jawa, sehingga bisa jatuh pada hari atawa jam-jam di luar waktu kantor.
Selain itu, pada bulan-bulan “sibuk”, seperti Dzulhijjah atawa Syawal, KUA bisa melayani banyak pasangan, sehingga mereka kudu antre.
Sungguh aneh Menteri Agama Suryadharma Ali justru membenarkan tindakan pak penghulu menerima uang pemberian itu.
Menteri Agama menilai pemberian itu tak tergolong gratifikasi.
Aturan soal ini memang longgar.
Peraturan Menteri Agama Nomor 11/2007 tentang Pencatatan Nikah membolehkan akad nikah dilakukan di luar kantor sepanjang mendapatkan izin dari Kepala KUA.
Repotnya, aturan ini sama sekali tak menyebutkan soal surat tugas, dan biaya transportasi para penghulu menikahkan di luar kantor.
Lebih lucu lagi, kebanyakan hanya ada satu penghulu di kantor KUA, yakni sang Kepala KUA sendiri.
Artinya, dia meminta dan memberikan izin pada dirinya sendiri.
Jika tak boleh menerima uang, mereka tekor, lantaran kudu mengeluarkan biaya sendiri.
Karena itu, aksi solidaritas para penghulu di Jawa Timur merupakan solusi tepat.
Berdasar UU Tindak Pidana Korupsi, perkara ini sesungguhnya tak bisa dimasukkan pada kategori meragukan.
Undang-undang ini terang-benderang menyatakan apa dilakukan Romli, dan para penghulu bisa dikategorikan gratifikasi diharamkan bagi pegawai negeri.
Selain itu, kasus penghulu Romli membuka modus korupsi berjemaah.
Dengan tarif Rp 225 ribu, Romli ternyata tak mengantonginya sendiri, tetapi juga memberikan uang itu pada banyak pihak, seperti aparat kelurahan atawa kecamatan.
Kejaksaan pun tepat mengkategorikan kasus Romli dalam perkara korupsi.
Selain itu, Menteri Suryadharma kudu membereskan aturan pernikahan agar tak menimbulkan penafsiran keliru di kalangan pegawai Kementerian Agama.
Masyarakat juga tak perlu memaksa para penghulu menikahkan anggota keluarganya di rumah.
***** Opini/Tempo.co