
Selasa 24 April 2018 15:53 WIB
Red: Muhammad Subarkah
“Kesalahan pembacaan peta sosio-politik umat Islam berimbas pada blunder kebijakan”
Oleh: Akhmad Danial*

Yang paling memuakkan dari tudingan-tudingan berbau “islamophobia” di Indonesia belakangan ini adalah, diabaikannya faktor-faktor yang bersifat sosio-historis dalam analisa-analisa mengenai apa yang disebut sebagai kebangkitan “politik identitas” atau lebih khusus lagi, gerakan “Islam politik” dan “Populisme Islam”.
Akibatnya adalah berkembangnya praduga-praduga atas umat Islam yang tidak berlandaskan realitas faktual karena memang tidak terjadi pada tataran empiris. Isu intoleransi dan anti-kebhinnekaan misalnya, dapat dengan mudah meleleh lewat sebuah fragmen dikawalnya pasangan Cina non-muslim yang akan menikah di Katedral Jakarta dalam aksi yang diikuti oleh kelompok-kelompok yang dituding intoleran dan anti-kebhinnekaan itu.
Konyolnya, peristiwa itu tidak kemudian dimanfaatkan untuk melakukan reevaluasi tentang pembacaan peta kondisi sosio-politik yang sebenarnya. Yang malah muncul kemudian adalah sebuah tudingan daur ulang isu lama yang sebenarnya sudah selesai sejak era 1990-an; membenturkan antara kelompok-kelompok Islam dengan keindonesiaan dan Pancasila, misalnya lewat jargon: “Saya Indonesia, Saya Pancasila”.
Sejak awal tahun ini, udara politik nasional kembali terpolusi oleh isu-isu terkait tempat peribadatan umat Islam, Masjid. Mulai dari adanya keberatan-keberatan soal azan sampai yang disuarakan sejak Januari lalu, dideklarasikannya gerakan antipolitisasi masjid. Dipersepsikan, khittah masjid adalah tempat ibadah, namun yang terjadi saat ini adalah penyalahgunaan masjid oleh sekelompok umat Islam sehingga tidak sejalan lagi dengan khittahnya.
Diakui bahwa memang ada kelompok-kelompok Islam yang memiliki aspirasi politik yang cenderung “berbeda” dalam hal sistem demokrasi dan nostalgia Pan-Islamisme. Terdapat juga kelompok-kelompok yang berkeinginan agar kehidupan sosial kemasyarakatan lebih dipandu oleh tuntunan-tuntunan syari’at. Namun adalah kesalahan fatal untuk mengganggap kelompok Islam sebagai sebuah entitas yang bersifat homogen, meski bergerak dalam kesamaan arus.
Kesalahan pembacaan peta sosio-politik umat Islam itu berimbas pada kebijakan dan penyikapan yang kerap menjadi blunder. Kelompok Pan-Islamis pemimpi Khilafah, yang dalam sejarah gerakannya tidak pernah menyebarkan fahamnya lewat aksi-aksi kekerasan, ditumpas eksistensinya. Bersama dengan kelompok penyuara pemberantasan maksiat, pemerintah menghadapinya dengan kekhawatiran luar biasa sehingga justru kedua kelompok ini menghirup oksigen keagungan popularitas yang luar biasa.
Pemerintah dan kelompok-kelompok, termasuk kelompok Islam, pendukungnya, cenderung fokus melihat akar persoalan terletak pada aspek doktrin keagamaan tertentu yang dianggap “melenceng”, “salah” dan “berbahaya”. Tidak terlihat adanya upaya untuk memahami aspek-aspek non-doktrinal semisal aspek ekonomi-politik yang melingkupi makin membesarnya gerakan-gerakan kritis, khususnya di kalangan umat Islam, terhadap pemerintah belakangan ini.
Dalam kasus Pilkada DKI Jakarta misalnya, persoalan disempitkan semata soal “Anti Kristen” dan “Anti Cina”. Padahal, kalaupun sentimen itu ada, dia tidaklah menjadi pemicu gerakan yang sebenarnya. Penggerak utama (prime-mover) gerakan massa Islam di Jakarta adalah, utamanya, kebijakan-kebijakan ekonomi sang mantan Gubernur yang menyulut memori yang bersifat laten dalam kesadaran kolektif massa Islam, khususnya kelas menengah terdidiknya.
Sebut saja soal reklamasi teluk Jakarta yang didalamnya terdapat kebijakan penggusuran meski lantas mereka direlokasi. Apapun penjelasan tentang tujuan dari kebijakan itu, namun banyak yang melihat hal itu sebagai bentuk kesewenang-wenangan dan arogansi. Terlebih hal itu lantas dikaitkan dengan begitu mesranya hubungan sang mantan Gubernur dengan para pengusaha properti yang terlibat proyek reklamasi. Maka isu cepat beralih ke soal pemihakan. Rumput sudah kering, dan isu penistaan agama hanya menjadi api pemantik yang membakar.
Seharusnya, peristiwa Jakarta membuat pemerintah dan para pendukungnya super hati-hati menghadapi situasi saat ini. Namun yang terlihat, kelompok-kelompok pendukung pemerintah secara produktif mengeluarkan isu-isu “panas” baru yang potensial membuat relasinya dengan umat Islam semakin tidak kondusif. Muncul puisi komparasi azan dan kidung yang kembali memicu aksi massa Islam. Dan di tengah masih hangatnya dampak dari puisi itu, muncul tudingan soal politisasi masjid yang tampaknya terencana secara sistematis karena sudah “digarap” sejak Januari oleh kelompok berbeda.
Himbauannya adalah agar kita semua belajar dari sejarah. Sejarawan Kuntowijoyo (1991), merekam fragmen sejarah yang mirip dengan kondisi saat ini, saat menulis tentang sejarah kebangkitan kelas Muslim menengah yang terjadi sejak pertengahan abad XIX. Diawali oleh meningkatnya jumlah para haji yang mengimbangi kepemimpinan tradisional kaum santri oleh para kiai. Para haji itu, disebut bersikap keras dan tidak mau kompromi sehingga kerap menjadi cercaan pemerintahan kolonial.Sikap keras ini, dikarenakan mereka relatif otonom secara ekonomi karena kegiatan bisnisnya dan juga berpendidikan.
Kelas menengah Muslim pedagang ini, memiliki ikatan khusus dengan masyarakat Arab yang dalam struktur kemasyarakatan saat itu, bersama-sama orang Cina dimasukkan dalam kelompok “Timur Asing” yang hirarkinya berada di atas golongan pribumi. Namun, jelas Kuntowijoyo, kesamaan agama membuat lahirnya rasa akrab. Selain itu, orang Arab, karena jumlahnya sedikit, tidak pernah dianggap sebagai “saingan usaha” yang menjadi ancaman nyata bagi kelas menengah Muslim saat itu.
Kelas menengah Muslim itu, banyak yang memiliki mobil dan penyewaan kendaraan, hal yang tidak lazim bagi golongan pribumi era itu. Mereka juga, memiliki semangat ekonomi dan etika kerja yang cocok bagi lahirnya iklim perkotaan dan pemikiran rasional. Nakamura mencatat, di Kota Gede Yogyakarta, banyak kyai pedagang, orang-orang yang tahu agama dan berhasil dalam usahanya. Rata-rata, jelas Geertz, kelas menengah Muslim perkotaan ini adalah para lulusan pesantren yang karena pendidikannya menjadikan mereka bersifat agresif, swadaya dan menganut etika ekonomi “persaingan bebas”.
Kelompok Muslim menengah perkotaan inilah yang kemudian mendirikan Syarikat Dagang Islam (SDI) yang lantas berubah menjadi Syarikat Islam (SI). Organisasi ini dicatat sebagai organisasi massa Islam besar karena didalamnya bergabung para wong cilik dan orang-orang Muslim kaya yang diikat satu rasa kebersamaan sosial, hal penting di tengah masyarakat urban. Mereka menyelenggarakan acara-acara di masjid, menekankan usaha gotong-royong dan, menekankan ajaran keagamaan agar sesama Muslim harus saling menolong, utamanya menghadapi kelompok non-Muslim dan Cina.
Dilihat dari perspektif masa kini, anjuran semacam itu tentu saja digolongkan sebagai intoleran, anti-kebhinnekaan atau anti Pancasila. Namun Kuntowijoyo menjelaskan, sikap menganggap bangsa Cina sebagai saingan utama para pengusaha pribumi dan obyek prasangka rasial itu lahir karena sikap pemerintah kolonial yang memberi hak-hak istimewa pada mereka hingga Cina diidentikkan dengan penjajah. Selain itu, pasca meletusnya revolusi Cina tahun 1911, bangsa Cina menunjukkan keangkuhannya karena rasa kebangsaannya memuncak.
Hal itu memicu sentimen kebangsaan golongan pribumi. Dan bercampur dengan “provokasi” dari kelompok itu, meletus beragam kerusuhan rasial dan pergolakan anti-Cina di berbagai kota sepanjang Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pergolakan terburuk terjadi di Kudus pada 1918 yang dipicu sebuah acara keramaian yang diadakan seorang pengusaha Cina untuk penyembuhan wabah influenza. Dalam arak-arakan di acara itu, ada sepasang pria dan wanita yang gerakan-gerakannya dianggap merendahkan derajat haji karena sang pria mengenakan surban haji di kepalanya! Delapan orang Cina mati dan ribuan mengungsi ke Semarang.
Selain itu, berdasarkan catatan Kuntowijoyo, sikap anti-Cina SI dipicu perbedaan yang sifatnya ideologis. Kelompok menengah santri ini, menyatukan diri dengan rakyat guna menentang apa yang diistilahkan Tjokroaminoto “kapitalisme durhaka”. Meski tidak pernah dirumuskan secara sistematik, jargon-jargonnya sangat pro rakyat kecil sehingga memikat hati massa Islam. Inilah kiranya yang mungkin terjadi dalam kasus Habib Rizieq, ketika dia memimpin perlawanan atas para pengusaha reklamasi yang disebut “Sembilan Naga”.
Paparan historis semacam ini tentu saja bukan untuk menimbulkan ketakutan, tapi diarahkan untuk tumbuhnya kewaspadaan. Pemerintah dan kelompok-kelompok pendukung, harus melihat sejarah itu sebagai pelajaran bahwa gerakan massa Islam bukanlah semata karena propaganda dogmatis kelompok radikalis Kanan. Namun juga terjadi karena faktor-faktor kebijakan ekonomi-politik pemerintah sendiri. Di pihak masyarakat, semua pihak hendaknya menjaga perilaku dan ucapan karena provokasi sedikit saja bisa memicu sentimen.
Belajarlah dari sejarah dan perkembangan sosiologis umat Islam secara cermat, agar tidak salah membuat kebijakan perang melawan hantu yang ditakuti sangat, namun sebenarnya tidak ada. Jangan habiskan energi untuk memukul panik ke segala arah namun hanya memicu angin yang bisa menghidupkan lebih banyak lagi bara api.
*Akhmad Danial, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
*******
Republika.co.id