Ilustrasi Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Selasa, 04/10 – 2016 ).

Tindakan polisi menyita enam buku berjudul Manifesto Komunis dari pameran buku internasional berlebihan. Buku berlogo palu-arit terbitan Thukul Cetak itu dijual di stan pameran yang diselenggarakan Ikatan Penerbit Indonesia di Balai Sidang Senayan, Jakarta.
Polisi kian kelewatan karena enam warga negara Malaysia penjaga gerai buku akhirnya dideportasi.
Sebagai tuan rumah, Indonesia mencoreng wajah sendiri. Tak semestinya polisi bertindak terlampau jauh. Sebagai negara demokratis, penyitaan dan pendeportasian itu sungguh paradoksal. Polisi Indonesia masih memperlihatkan sikap anti-demokrasi dan anti-kegiatan intelektual.
Demokrasi tegak ketika suatu negara memberikan jaminan kebebasan berpikir, berpendapat, dan berekspresi.
Pelarangan buku itu mencerminkan polisi belum beranjak dari kebiasaan zaman Orde Baru dan Orde Lama. Di era gelap itu, buku bisa dilarang beredar karena alasan yang samar. Jika bukan mengganggu ketertiban umum, alasan yang lazim diberikan adalah menyebarkan paham komunis/Marxisme-Leninisme.
Polisi berdalih, buku itu sensitif di Indonesia. Ironis, tabiat buruk polisi itu muncul ketika bangsa ini telah meninggalkan Orde Baru sejak 18 tahun silam.
Penyitaan buku Manifesto Komunis karya Karl Marx dan Friedrich Engels kian menggelikan, karena buku ini sungguh mudah didapatkan di jejaring Internet dengan gratis. Edisi bahasa Indonesia, juga bahasa-bahasa yang lain, tersedia dalam format buku digital maupun teks.
Orang bisa membaca buku ini setiap saat asalkan ada jaringan Internet. Kampus di Indonesia pun biasa mendiskusikan buku itu sebagai bagian dari kegiatan ilmiah.
Sejumlah tokoh Indonesia pun tak haram membaca buku itu. Sebut saja, misalnya, Wakil presiden pertama Mohammad Hatta. Ia menerbitkan risalah berjudul “Persoalan Ekonomi Sosial Indonesia” dengan membahas panjang-lebar gagasan Marxisme Karl Marx. Hatta fasih menjelaskan isi buku itu. Presiden Abdurrahman Wahid juga telah membaca Das Kapital karya Marx sejak ia remaja.
Polisi bertindak gegabah karena Mahkamah Konstitusi sebetulnya telah mencabut undang-undang yang memberikan kewenangan terhadap kejaksaan dan kepolisian untuk menyita buku sejak enam tahun lalu. Mahkamah mengabulkan permintaan pemohon pihak yang langsung dirugikan menghapus Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan. Mahkamah memutuskan, undang-undang itu melanggar konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum lagi.
Di bawah kekuasaan Orde Baru, undang-undang ini menjadi alat kekuasaan untuk memberangus buku dan pikiran yang dianggap berbahaya oleh pemerintah. Kini, ketika Mahkamah Konstitusi telah menggugurkan aturan itu, polisi tetap berpikir dan bertindak dengan standar lama. Polisi bermimpi produk hukum yang berasal dari masa kolonialisme Belanda itu masih bergigi, sesuatu yang menyedihkan.
********
Opini Tempo.co