Garut News ( Rabu, 18/02 – 2015 ).

Kabupaten Garut, Jawa Barat, dinilai sangat mendesak segera memiliki lembaga riset pertanian, yang bisa dijadikan wahana penelitian dan pengembangan.
Sekaligus menjadi sarana beragam kegiatan uji coba temuan varietas baru.
Juga kegiatan kajian ekologi dan pengembangan pertanian lainnya.
Menyusul selama ini, Pemkab setempat mengesankan hanya terlalu mudah membuat struktur organisasi, yang justru malahan hanya menjadi aksesories.
Sehingga keberadaan Litbang tak hanya di pusat dan di provinsi.
Lantaran keberadaan lembaga riset pertanian dinilai banyak memberi manfaat, terkait sebagian besar wilayah ini sebagai kawasan konservasi.

Sehingga diperlukan beragam terbosan inovatif guna meningkatkan pengembangan industri pertanian, antara lain tak hanya berkonsepkan “tanam – petik – jual” melainkan menjadi “petik – olah – jual” secara paripurna.
Sekretaris Dinas “Tanaman Pangan dan Hortikultura” (TPH) kabupaten setempat, Ir H. Yudi Hernawan, MT katakan, sejak sepuluh tahun terakhir terus berupaya mengembangkan pola pertanian organik.
“Back to Nature” terus-menerus dimasyarakatkan di antaranya melalui pengembangan sistem “SRI” termasuk gencar pemanfaatan piranti “APO” atawa pencacah pupuk organik, katanya Rabu (18/02-2015).
“Diperlukan kebersamaan terus-menerus mengurangi penggunaan pupuk kimia, yang bisa berdampak negatif terhadap ekosistem pertanian,” imbuhnya, menyerukan.

Kepada Garut News di ruang kerjanya juga dikemukakan, mikroorganisme lokalnya antara lain berupa keong termasuk keong mas yang dianggap menjadi hama tanaman kemudian limbah dapur.
Dengan memanfaatkan proses produksi teknologi tepat guna termasuk mengupayakan optimalisasi lahan, ungkapnya antara lain ketika didesak pertanyaan sejauhmana peran bio fertilizer dari campuran mikro organisme, sebagai upaya meningkatkan produksi tanaman pangan?
Yudi Hernawan mengakui keberhasilan itu, tergantung implementasi di lapangan, meski bermanfaat bisa memulihkan lahan.
Namun sangat diperlukan perubahan perilaku, juga pola pikir masyarakat petani itu sendiri, katanya pula.
Termasuk menerapkan hanya biji-bijian dipetik, kemudian semua limbah dikembalikan pada lahan, selama ini institusinya mengupayakan memadai serta meningkatnya luas tanam, luas panen, produksi serta produktivitas.

Keberhasilannya pada kisaran 60 – 70 persen, dimasyarakatkan pada kelomnpok tani binaan dengan menjalin sinkronisasi dan koordinasi, agar bisa mewujudkan daya saing tinggi pada era pasar bebas ini.
Produk pertanian organiknya pun bersertivikat, meski pengelolaan pertanian di wilayahnya diakui masih semi modern.
Diakuinya hama terbesar bukanlah tikus, melainkan alih fungsi lahan pertanian produktif terutama yang beririgasi teknis menjadi perumahan, atawa kawasan industri.
Luas areal pertanian di Kabupaten Garut sebelum 2013 lalu masih mencapai 50.151 hektare, namun pada 2014 menjadi 48.541 hektare sehingga terjadi pengurangan seluas 1.610 hektare.
Maka diperlukan komitmen bersama “hentikan alih fungsi lahan”, menyusul bakal segera diterbitkannya Perda tentang “Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan” (PLP2B).
Sehingga minimal bisa dimilikinya lahan abadi pertanian seluas 38.980 hektare, demikian antara lain Sekretaris Dinas TPH Garut, menambahkan.
********
Esay/Foto : John Doddy Hidayat.