“Museum tak hanya ruang pamer, dan gudang penyimpanan. Melainkan bisa dijadikan laboratorium, termasuk audio visual, diorama, perpustakaan, kantor, sarana peneliti, dan toko suvenir”
Garut News ( Jum’at, 10/10 – 2014 ).

Kabupaten Garut, Jawa Barat, kini berusia lebih dua abad semakin mendesak segera memiliki gedung museum yang memadai.
Lantaran, peninggalan produk budaya bernilai adilihung di kabupaten ini, sangat beragam dan banyak jumlahnya.
“Mencapai ribuan, termasuk yang masih tersimpan pada rumah-rumah penduduk,” ungkap Kepala “Dinas Kebudayaan dan Pariwisata” (Disbudpar) kabupaten setempat, Drs Mlenik Maumeriadi kepada Garut News, Jum’at (10/10-2014).
Banyak di antara penduduk itu, bersedia menyerahkan benda bernilai sejarah miliknya, asalkan dipelihara dan disimpan di tempat yang layak.

Bahkan terdapat penduduk yang sekaligus dinilai berkemampuan mempresentasikan setiap benda bersejarah ini, kata Mlenik pula.
Sebab selama ini pun, masih banyak tersimpan pada rumah-rumah penduduk yang diwariskan secara turun-temurun.
Dipastikan rawan menjadi barang langka, atawa raib entah kemana, sebab proses pengamanan dan pemeliharaannya, tak selamanya bisa terjamin lestari.
Padahal benda-benda bersejarah tersebut, amat sangat berharga bagi generasi masa kini, terlebih bagi generasi mendatang.

Mlenik Maumeriadi juga mengakui fenomena tersebut.
Dalam pada itu, Esais Bandung Mawardi, pada tulisannya di Tempo.co antara lain mengemukakan
Museum mengemban misi pengawetan sejarah dan memori ketokohan.
Ratusan tahun silam, Belanda mendirikan dan mengenalkan museum ke mata pribumi.
Pendirian Bataviaasch Genootschap (1778) menjadi pembuktian awal kebermaknaan museum bagi ilmu, kolonialisme, dan identitas “Barat”.
Museum berisi koleksi arkeologis, mata uang, dan naskah.

Kesejarahan Bataviaasch Genootschap melaju di perlintasan waktu, berubah nama menjadi Museum Nasional (Lombard, 1996).
Kita mewarisi gagasan dan materialisasi museum.
Di Solo, 28 Oktober 1890, berdirilah museum bernama Radya Pustaka, menghimpun koleksi naskah dan buku.
Museum menjadi rumah literasi.
Koleksi beragam tema mengajak kaum intelektual, pujangga, pejabat, dan publik belajar tentang sastra, etika, agama, seni, politik, makanan, serta pakaian.
Museum di Indonesia memiliki sejarah ratusan tahun.
Kesadaran mengartikan museum berlatar nasionalisme diwujudkan dalam Musjawarah Museum di Yogyakarta, 11-14 Oktober 1962.
Prijono menerangkan: “… maka di tanah air kita adanja atau akan didirikan museum-museum nasional dalam berbagai-bagai lapangan, istimewa dalam lapangan arkeologi dan perdjoangan/pembangunan nasional kita akan membuka mata rakjat kita akan kemampuan-kemampuan bangsa kita di zaman dulu, dan kesanggupan-kesanggupam bangsa kita di zaman sekarang dan di zaman akan datang.”
Keterangan itu bergelimang optimisme.
Kita perlahan membuka ingatan kebermaknaan museum pada masa Orde Lama segera berganti imajinasi politik-militeristik oleh rezim Soeharto.
Museum digunakan sebagai referensi imajinasi sejarah bagi publik sesuai dengan petunjuk dan obsesi penguasa.
Asrul Sani dalam cerpen berjudul Museum (1956) menganggap: “Museum adalah suatu balai jang gandjil. Ia berisi benda-benda jang djika dilihat dari katja mata kita, orang jang hidup ini, benda-benda itu seolah-olah ada karena suatu salah sangka.”
Taufiq Ismail dalam puisi berjudul Buku Tamu Museum Perjuangan (1964) memberi deskripsi ironis: “museum jang lengang”, “dalam museum ini jang lengang”, “ruangan jang sepi”.
*******
Foto : John Doddy Hidayat.