Ilustrasi Fotografer : John Doddy Hidayat.
Garut News ( Kamis, 15/10 – 2015 ).
Pemerintah mesti hati-hati menangani permintaan negosiasi kontrak dari perusahaan pertambangan emas di Papua, PT Freeport Indonesia. Seharusnya pembahasan baru dilakukan dua tahun sebelum kontrak berakhir pada 2021.
Tetapi perusahaan yang 90,64 persen sahamnya dimiliki Freeport McMoran asal Amerika Serikat itu meminta pembahasan dipercepat dengan pertimbangan ada aksi korporasi jangka panjang yang dilakukan pasca-2021.
Isu yang mencuat bukan lagi ihwal waktu negosiasi, melainkan substansinya. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli mempersoalkan royalti dari Freeport untuk Indonesia yang terlalu kecil.
Sejak 1967 besaran royalti hanya 1 persen dari hasil tambang. Sedangkan di negara-negara lain, royalti tambang emas di atas 5 persen. Rizal mematok 6-7 persen untuk kontrak mulai 2021.
Menteri Rizal, yang membawahkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, juga mengajukan permintaan lain. Freeport diminta membereskan masalah limbah dan melakukan divestasi sehingga badan usaha milik negara bisa berkiprah di perusahaan tambang emas terbesar itu.
Konstitusi kita mengamanatkan agar sumber daya alam dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Pemerintah wajib melaksanakan konstitusi dengan menggunakan segala kewenangannya, termasuk jika memutuskan lelang terbuka pengelolaan lahan Freeport.
Golden share 9,36 persen milik pemerintah, atau lebih dikenal sebagai Saham Merah-Putih, tak mampu memveto keputusan perusahaan yang dinilai kurang tepat. Pemerintah pun tak bisa cawe-cawe dalam penyusunan direksi serta memeriksa laporan keuangan Freeport Indonesia. Kewenangan besar hanya ada pada satu tangan: Freeport McMoran.
Bukan berarti Freeport tak memberikan kontribusi kepada Indonesia. Seperti tertulis dalam situs Freeport Indonesia, perusahaan ini berinvestasi sekitar US$ 7,7 miliar dalam infrastruktur selama 45 tahun belakangan. Sebanyak 300 ribu karyawan beserta keluarga mereka bergantung pada Freeport.
Keuntungan bagi Indonesia dalam pajak, royalti, biaya, dividen, dan dukungan langsung lainnya sebesar US$ 500 juta pada 2014 sehingga total US$ 15,8 miliar sejak 1992. Khusus royalti, Freeport memberikan US$ 1,647 miliar pada 1992-2014.
Masih ada keuntungan tak langsung menurut Freeport, yakni berupa gaji dan upah, pembelian dalam negeri, pengembangan regional, dan investasi dalam negeri langsung lainnya, yang totalnya US$ 29,5 miliar sejak 1992.
Sekilas angka itu besar, tetapi apakah sebanding dengan kekayaan alam yang sudah disedot selama puluhan tahun?
Memang pemerintah juga tak bisa berlebihan mematok royalti tanpa memertimbangkan kondisi perusahaan dan kerja sama selama ini. Apalagi Freeport sudah membuka datanya.
Namun Presiden Joko Widodo sudah waktunya lebih tegas membela kepentingan nasional. Amanat konstitusi tak bisa ditawar lagi.
*******
Opini Tempo.co