Garut News ( Kamis, 05/11 – 2015 ).

– 80 tahun “hilang”, ular langka kembali ditemukan di Enggano. Peneliti herpetologi Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI), Amir Hamidy, menemukannya saat melakukan ekspedisi penelitian ke Pulau Enggano pada 16 April – 5 Mei 2015 lalu.
“Tidak sengaja sebenarnya menemukannya. Malam hari itu saya berada di pinggir hutan. Tiba-tiba ular itu mendekat. Saya tangkap dan amati, ternyata ular yang sudah 80 tahun tak terlihat,” kata Amir.
Umum disebut ular tikus Enggano, nama spesies ular tersebut sebenarnya adalah Coelognathus enganensis. Ular pemakan tikus tersebut merupakan salah satu jenis yang paling jarang dijumpai di dunia.
C enganensis pertama kali ditemukan pada tahun 1872 oleh peneliti Italia, Elio Modigliani. Olehnya, ular itu dinobatkan sebagai spesies baru.
Tahun 1986, peneliti Belanda bernama De Jong menemukan kembali ular tersebut untuk kedua kalinya. Dia mengoleksinya. Spesimen kini disimpan di Muzeum Zoologi Bogor.
Sejak tahun 1936, sejumlah survei dilakukan ke Enggano tetapi belum berhasil menemukan jenis itu. Baru pada ekspedisi LIPI kali ini peneliti berhasil menjumpainya.
Amir mengatakan, C enganensis berbeda dengan ular tikus lain yang segenus. “Ular ini polos, tidak ada polanya,” jelas Amir dalam konferensi pers penemuan ekspedisi Enggano kali ini.
Menurutnya, ada beberapa dugaan sebab yang membuat C enganensis jarang ditemui. Dugaan pertama, populasinya memang menurun seiring kerusakan lingkungan.
Kedua, tikus di Enggano sendiri memang hanya 2 jenis. Sangat sedikit. Jadi ular pemanga tikusnya pun sedikit. Dugaan lain, bisa juga karena memang survei populasinya jarang dilakukan sehingga tampak sedikit.
C enganensis hanya salah satu keragaman hayati yang ditemukan di Enggano. Tim LIPI hingga kini meyakini telah menemukan 14 jenis biota baru.
Enggano adalah pulau seluas sekitar 4.000 kilometer persegi yang unik. Pulau itu tak pernah bergabung dengan Sumatera sehingga biotanya pun unik.
Enggano kaya akan jenis-jenis endemik. C enganensis merupakan salah satu jenis yang endemik, khas Enggano, tak akan pernah bisa ditemukan di wilayah lain.
*******
Editor : Yunanto Wiji Utomo/Kompas.com