Dimas Kanjeng

0
63 views
Ilustrasi.

Ilustrasi Fotografer : John Doddy Hidayat

Garut News ( Sabtu, 01/10 – 2016 ).

Ilustrasi.
Ilustrasi.

Di awal-awal mengenal Romo Imam, saya pernah memanggilnya dengan sebutan Kangmas. Saya pikir itu sebutan yang sangat terhormat. Tapi Romo tak suka sebutan itu. Dia merasa persahabatan kami tak perlu pemanis sapa, apalagi sebagai penghormatan. Karena itu, saya kaget ketika kemarin sore Romo menyapa saya begini, “Dimas mau minum apa?”

Saya tertawa. Romo pasti mengajak guyon. Tapi Romo serius. “Sekarang sebutan dimas lagi populer, apalagi ditambah kanjeng. Kedua kata itu patut disandang orang-orang terhormat, orang yang patut dijadikan teladan, orang yang dianggap punya ilmu lebih, khususnya ilmu agama.”

“Tapi Dimas Kanjeng sekarang ditahan, Romo. Dia diduga menjadi otak pembunuhan terhadap dua santrinya,” kata saya. Romo langsung menimpali. “Itulah yang betul-betul tak masuk akal. Sudah sebutannya Dimas Kanjeng, yang menyiratkan orang yang patut dijunjung martabatnya, namanya juga dahsyat, Taat Pribadi.

Kalau betul ini nama pemberian orang tuanya dan bukan nama jadi-jadian, sebagaimana nama artis, Taat Pribadi itu menyiratkan perintah untuk teguh kepada hati nurani. Lo, ini kok Dimas Kanjeng Taat Pribadi melakukan pembunuhan berencana?”

“Romo, itu baru dugaan,” saya menyela. “Romo harus menghormati asas praduga tak bersalah dan jangan menghakimi. Beginilah kalau Romo terlalu sering menonton sidang kopi Jessica, berbagai opini berseliweran di luar sidang untuk mempengaruhi hakim.”

“Kasus Dimas Kanjeng beda, ini transparan banget. Dua korban sudah ditemukan, motif pembunuhan pun sudah jelas,” kata Romo.

“Yang aneh bin ajaib, pangkal masalahnya adalah praktek sesat Dimas Kanjeng yang mengaku bisa menggandakan uang. Ismail Hidayat, korban pembunuhan itu, justru awalnya percaya dan bahkan mengajak orang-orang lain menitipkan uangnya untuk digandakan. Ketika Ismail sadar bahwa penggandaan uang itu sesuatu yang mustahil dan ia bersama teman-temannya menuntut uang itu dikembalikan, Dimas pun merasa terganggu. Dan Ismail, yang diberi pangkat Sultan Agung, dihabisi Dimas Kanjeng.”

“Apa itu Sultan Agung?” tanya saya. Romo menjelaskan, “Sebutan semacam pangkat tertinggi di padepokan itu karena Dimas Kanjeng menyebut dirinya raja. Padepokan yang konon punya lebih dari 3.000 santri itu ternyata tidak mengajarkan ilmu agama. Kegiatannya hanya terpusat pada penggandaan uang yang diberi pernik-pernik zikir dan salawat. Bahkan menurut Ketua Majelis Ulama Jawa Timur, Abdusshomad Buchori, salah satu salawatnya disebut salawat fulus. Lebih ajaib lagi banyak orang percaya hal itu, dari pengusaha, pegawai negeri, apalagi petani. Beratus-ratus juta rupiah disetorkan untuk digandakan. Tragisnya, cendekiawan muslim bekas anggota DPR, Ibu Marwah Daud Ibrahim, juga menjadi bagian dari padepokan itu, malahan menjabat ketua yayasan. Ini bangsa lagi sakit apa?” Romo mengeluh panjang.

Saya yang justru lebih tenang. “Padepokan ini berdiri sudah lama, 2005, dan banyak tokoh penting berkunjung ke sana. Sudah tercium pula keanehan itu sejak lama. Tapi tak ada yang bereaksi, malahan padepokan ini memanfaatkan perangkat modern untuk mempromosikan dirinya. Ada video yang diunggah ke YouTube, ada media sosial untuk menampung aktivitasnya. Lalu ada kaum cerdik pandai yang bergabung. Promosi itu membuat orang ramai-ramai menyetor uangnya untuk digandakan. Sesuatu yang sangat irasional, tapi sepuluh tahun lebih tak ada yang melakukan apa-apa. Romo, saya kira ini musibah yang dahsyat, sepertinya banyak orang ikut mengajarkan kebodohan.”

*******

Romo makin nelangsa. PUTU SETIA

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here