Agus Pakpahan, Ekonom Kelembagaan dan Sumber Daya Alam
Jakarta, Garut News ( Selasa, 13/05 – 2014 ).

Ilustrasi yang paling gamblang adalah bagaimana Jepang selama 10 tahun terakhir ini memilih kebijakan suku bunga bank sangat rendah, nol atau negatif.
Di sinilah tampak bahwa nasionalisme bisa tidak bertentangan dengan kapitalisme.
Tahun 2045, tahun di mana kita akan merayakan seabad Indonesia merdeka, tinggal 31 tahun lagi.
Apakah kita akan menjadi negara maju dalam tempo 31 tahun?
Kalau kecepatan pembangunan bisa seperti Korea Selatan selama 1970–2000, kita bisa mencapainya.
Dewasa ini, upah minimum di Korea Selatan adalah US$ 4,63 per jam, berbanding dengan upah minimum di Indonesia sekitar US$ 0,52 per jam.
Artinya, produktivitas tenaga kerja di Korea Selatan minimum 8,9 kali lebih besar daripada produktivitas tenaga kerja kita.
Jadi, kalau kita ingin pada 2045 mencapai posisi Korea Selatan dewasa ini, untuk gambaran kasar, paling tidak kita harus mampu meningkatkan produktivitas tenaga kerja kita 8,9 kali dari posisi sekarang.
Mewujudkan hal tersebut bukanlah perkara mudah. Mengapa?
Mari kita lihat gambaran kekuatan makro-ekonomi kita dalam konteks global, sebagaimana dicerminkan dalam neraca pembayaran (barang, jasa, dan modal) Indonesia.
Kita menyaksikan bahwa neraca jasa ini selalu defisit, kecuali untuk tenaga kerja Indonesia (TKI) dan turisme.
Persoalan jasa ini merupakan simbol kelemahan sumber daya manusia dan institusi kita, yang masih belum mampu mengangkatnya menjadi sektor riil yang strategis.
Lemahnya sektor jasa ini tentu berkaitan dengan lemahnya nilai devisa dari perdagangan, mengingat yang diperdagangkan di pasar dunia sebagian besar adalah bahan mentah atau produk hasil tenaga kerja murah.
Jadi, data pada tabel neraca pembayaran menunjukkan, walaupun kita banyak memiliki utang luar negeri, produk Indonesia yang dijual ke pasar dunia tergolong produk murah.
Kita perlu membangun strategi baru.
Belajar dari perkembangan faktor K-pengubah siklus dunia, sebagaimana digambarkan oleh George Modelski, mau-tidak mau, Indonesia harus bisa memanfaatkan perkembangan terakhir faktor K20, yaitu teknologi komputer, Internet (IT), dan bioteknologi.
Rancang bangun besar ekonomi Indonesia dewasa ini masih berdasarkan K13 model perkebunan yang dikembangkan pada 1640 dan struktur ekonomi dualistik masih berlaku.
Model ini sudah perlu diganti karena fenomena inilah yang berlaku bagi Indonesia sekarang.
Model penggantinya adalah industri berdasarkan inovasi.
Landasan teorinya bukanlah teori keunggulan komparatif (comparative advantage), melainkan teori kreatif seperti yang disampaikan Schumpeter.
Cara yang paling mudah adalah dengan meniru apa yang telah sukses di negara lain dan berhasil menjadi negara maju.
Meniru tidak sama dengan menyalin atau menyontek, melainkan melakukan inovasi yang disesuaikan dengan situasi-kondisi yang kita hadapi untuk 31 tahun mendatang.
Dari semua kasus yang sukses, baik di Barat maupun di Timur, ternyata terdapat kesamaan bersama (common denominator), yaitu lahirnya kepercayaan seluruh masyarakat bahwa kondisi sosial masyarakat bisa diperbaiki dengan diterimanya kaidah-kaidah ilmu pengetahuan sebagai faktor utama perubahan.
Kesadaran tersebut melahirkan komitmen antarkelompok penguasa, pengusaha, ilmuwan, teknolog, industri, dan masyarakat pada umumnya untuk melakukan perubahan-perubahan nyata dalam memperbaiki harkat dan derajat kehidupan.
Dapat dilihat bahwa yang paling sulit dalam perbuatan meniru ini adalah melahirkan kesadaran dan membangun komitmen tersebut.
Ilustrasi yang paling gamblang adalah bagaimana Jepang selama 10 tahun terakhir ini memilih kebijakan suku bunga bank sangat rendah, nol atau negatif.
Di sinilah tampak bahwa nasionalisme bisa tidak bertentangan dengan kapitalisme.
Artinya, demi murahnya modal untuk digunakan pihak yang memerlukannya, pemilik modal rela tidak menerima pendapatan dari bunga.
Inilah model patriotisme kaum kaya Jepang demi negaranya.
Dengan mengambil ilustrasi ini, tidak ada cara lain bagi Indonesia untuk dapat meningkatkan produktivitas ekonominya lebih dari 10 kali lipat atau lebih dari produktivitas sekarang, demi Indonesia 2045 yang lebih baik, kecuali dengan lahirnya para pemimpin, pengusaha kaya (konglomerat), ilmuwan, dan semua lapisan masyarakat Indonesia yang berkomitmen bersama demi Indonesia 2045 dan periode seterusnya yang lebih baik.
Hasil Pemilu 2014 merupakan jawaban konkret yang akan memberi gambaran apakah Indonesia akan mengarah ke sana atau tidak.
******
Kolom/Artikel : Tempo.co