Garut News ( Kamis, 23/10 – 2014 ).

“Keriuhan” yang melanda sejumlah kota di Jawa Timur belakangan ini, akibat menyebarnya wabah difteri, menunjukkan betapa lalainya pemerintah.
Kantor dinas kesehatan setempat terkesan tak sigap menangani penyakit yang sebenarnya bisa diatasi dengan vaksinasi ini.
Sejak 2011, kota-kota seperti Malang, Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, dan Tulungagung, serta beberapa kabupaten di Madura, merupakan daerah langganan penyakit difteri.
Sejak 2011 sampai sekarang, di Jawa Timur 1.347 orang telah terinfeksi penyakit mematikan ini. Di Malang, contohnya, tahun ini difteri menyebar cepat dan menjangkiti sembilan siswa serta seorang guru di Sekolah Dasar Negeri Tanjungrejo 5, Sukun, Kota Malang.
Dinas kesehatan setempat pun sampai menetapkan wabah ini sebagai “kejadian luar biasa” (KLB).
Difteri, yang menyerang saluran pernapasan, sebenarnya tak sulit diatasi. Vaksinnya pun sudah lama dimasyarakatkan pemerintah, yakni vaksin DPT (difteri, pertusis atawa batuk rejan, dan tetanus).
Di pos-pos pelayanan terpadu (posyandu) di desa-desa, vaksin DPT biasa dibagikan gratis untuk bayi.
Jika program bagi-bagi vaksin DPT itu merupakan hal rutin, mengapa kini di Jawa Timur muncul wabah difteri? Apa yang salah?
Dinas kesehatan setempat seharusnya melakukan investigasi mendalam soal ini. Apakah program vaksinasi yang ada selama ini hanya slogan?
Atau, apakah program vaksinasi selama ini tak efektif karena kesalahan pelaksana ataukah ketidakpatuhan penduduk yang harus melakukan vaksin sebanyak lima kali?
Apakah imunisasi gagal membentuk antibodi untuk melawan kuman?
Semua pertanyaan itu bisa terjawab apabila pemerintah melakukan penyelidikan serius. Selain itu, pemerintah harus bertindak cepat.
Jika perlu, Kementerian Kesehatan menurunkan tim khusus untuk menyelidikinya. Jangan sampai jatuh korban lagi. Di Malang saja, 39 orang meninggal sejak 2011.
Difteri sejatinya bukan penyakit yang sulit dilawan. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria.
Gejalanya ditandai dengan demam serta nyeri saat menelan seperti sakit tenggorokan, pembengkakan pada kelenjar getah bening di leher, serta munculnya membran tebal yang menutupi saluran pernapasan dan amandel.
Apabila membran ini muncul, akibatnya bisa gawat: penderita akan sulit bernapas dan menggigil kedinginan. Umumnya, gejala timbul 1-4 hari setelah terinfeksi.
Adanya kejadian luar biasa seharusnya membuat pemerintah Jawa Timur dan Kementerian Kesehatan mencanangkan program khusus.
Program vaksinasi DPT harus dikawal agar pelaksanaannya tak melenceng. Sebanyak 95 persen anak harus sudah divaksinasi.
Jika perlu, pemerintah mengadakan semacam razia untuk bayi-bayi yang belum pernah mendapat vaksinasi DPT.
“Razia” bayi ini bisa dilakukan bekerja sama dengan para petugas posyandu di desa-desa, karena pemberian vaksin DPT merupakan imunisasi wajib.
Jika tak segera diatasi, difteri bisa menjadi bom waktu. Kejadian di Jawa Timur itu seharusnya menyadarkan pemerintah untuk kembali serius membina posyandu.
Sebab, merekalah garda terdepan untuk urusan kesehatan masyarakat.
*******
Opini/Tempo.co