Ilustrasi Fotografer : John Doddy Hidayat.
Garut News ( Rabu, 19/05 – 2015 ).

Memotret Keangkuhan Komunitas “Moge” Merajai Jalanan, Juga Dikawal Polisi, Serinenya Memekakkan Telinga.
Tindakan Elanto Wijoyono menghadang iring-iringan motor besar di Yogyakarta, Sabtu lalu, merupakan letupan kekesalan publik terhadap perilaku komunitas itu.
Sudah lama kegiatan para pemilik sepeda motor mahal itu menimbulkan keresahan karena sering melanggar aturan lalu lintas dan merampas hak pengguna jalan lain.

Aksi penghadangan itu bisa juga dianggap sebagai bentuk protes terhadap perlakuan istimewa aparat kepolisian yang memberikan jasa pengawalan atau voorijder. Perbedaan perlakuan itu sudah sampai pada tahap mengganggu rasa keadilan masyarakat.
Publik jengah oleh konvoi motor besar yang sepertinya menempatkan diri sebagai warga kelas satu sehingga “boleh” menabrak aturan di depan mata petugas kepolisian.

Komunitas penyuka motor gede umumnya orang-orang berduit, juga para pensiunan petinggi lembaga penegak hukum. Tetapi hal itu tak bisa menjadi alasan bagi kepolisian untuk memberikan keistimewaan.
Tidak ada dalil yang membolehkan para penunggang motor besar itu, bisa melanggar rambu-rambu lalu lintas.

Pernyataan Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti, yang menyebutkan para penunggang motor besar pada acara Jogja Bike Rendezvous tidak melanggar aturan, sepatutnya dipertanyakan.
Dalih Haiti bahwa para pengemudi motor gede itu dibolehkan melanggar rambu-rambu lalu lintas karena sebelumnya meminta diberi prioritas tidak sepenuhnya benar.
Pasal 134 huruf (g) Undang-Undang Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menggariskan, pengguna jalan yang memperoleh hak utama didahulukan adalah konvoi atau kendaraan untuk kepentingan tertentu.
Dalam penjelasan pasal itu, “kepentingan tertentu” yang dimaksudkan adalah kepentingan yang memerlukan penanganan segera, seperti kendaraan untuk penanganan ancaman bom atau bencana alam.

Konvoi di Yogya itu jelas tidak termasuk “kepentingan tertentu” dalam pasal undang-undang lalu lintas tersebut. Seandainya pun kepolisian memiliki diskresi khusus dalam menafsirkan pasal itu, diskresi ini layak diperdebatkan.
Dalam kasus Yogya, konvoi yang digelar komunitas motor gede itu terlalu dipaksakan untuk disebut sebagai “kepentingan tertentu” yang boleh mendapat lampu hijau menabrak undang-undang.
Apalagi santer terdengar bahwa kegiatan pengawalan polisi itu tak diberikan secara cuma-cuma. Artinya, sangat mungkin ada motif ekonomi petugas yang memberikan izin pengawalan tersebut.
Belum lagi jika mengacu ke Pasal 31 Undang-Undang Nomor 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang mengatur tentang penggunaan diskresi aparat negara.

Menurut pasal ini, penggunaan diskresi yang tidak sesuai dengan tujuan wewenang dan bertentangan dengan asas umum pemerintahan yang baik dapat dikategorikan sebagai kebijakan yang mencampuradukkan wewenang. Tindakan itu secara hukum dapat dibatalkan.
Insiden Yogyakarta mesti dijadikan momentum bagi aparat kepolisian untuk menertibkan proses pemberian pengawalan perjalanan lalu lintas, khususnya bagi komunitas motor besar.
Izin pengawalan tak boleh lagi diberikan serampangan, dengan mengabaikan ketentuan –apalagi dengan motif mencari “ceperan”.
*********
Opini Tempo.co