“Tampil Beda, dan Sangat Memikat”
Esay/ Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Sabtu, 20/02 – 2016 ).

Foto berita akhir pekan ini, Sabtu (20/02-2016).
Garut News memotret ajakan persuasif dan “humanis” dari setiap seluruh 15 pengelola UPTD Disperindagpas Kabupaten Garut.
“Aku Cinta Pasar Rakyat, Berbelanjalah Di Pasar Rakyat”
Seruan simpatik tersebut, diwujudkan melalui wahana mobil hias berkemasan apik nan menarik.
Dengan menampilkan ragam komoditi asli, juga segar yang selama ini tersedia pada setiap pasar rakyat di seluruh kabupaten setempat.

Sehingga ajakan bermedium mobil hias, diagendakan tampil berkeliling Kota, Ahad (21/02-2016) itu, dipastikan bisa memaknai momentum rangkaian peringatan hari jadi ke-203 kabupaten tersebut.
Demikian antara lain diungkapkan Kepala UPTD Pasar pada Disperindagpas Kabupaten Garut H. Dayat, S.Sos didampingi Kepala UPTD Disperindagpas Wilayah Bayongbong, Sadar Suganda.
Mereka juga mengemukakan, Sabtu (20/02-2016), Segenap Keluarga Besar Seluruh 15 UPTD Disperindagpas Mengucapkan. Selamat dan Dirgahayu Hari Jadi Ke-203 Garut. (16 Pebruari 1813 – 16 Pebruari 2016).

“Dengan Semangat Hari Jadi Garut Ke-203 Tahun 2016, Kita Tingkatkan Pembangunan Infrastruktur Wilayah dan Kualitas Pelayanan Dasar Menuju Masyarakat Garut yang Sejahtera”
Dirgahayu Hari Jadi Garut, Bermartabat dan Menjadi Kabupaten Unggulan.
Menyambut Hari Jadi Ke-203 Garut 2016.
Momentum penting peringatan Ke-2013 Tahun Garut ini. Menjadikan setiap seluruh Jajaran Keluarga Besar Keluarga Besar 15 UPTD Pasar di Kabupaten Garut.
Senantiasa konsisten dengan komitmen kuatnya, meretas “asa” juga sekaligus mengaplikasikan kemasan karya nyata Mewujudkan “Garut Bermartabat”
Amien, ya rabbal alamien.
**********
Pasar Kuno
Heri Priyatmoko, Dosen Sejarah di Univeritas Sanata Dharma, Yogyakarta
Pilkada serentak digelar Desember. Para calon bertarung di sirkuit politik. Lahan basah yang acap menjadi sasaran kampanye adalah pasar tradisional. Selain dihuni ratusan bakul dan pembeli, pasar merupakan simbol kerakyatan.

Di arena ini, aktor politik menebar janji demi menjaring massa. Mengakrabi komunitas pasar saat kampanye termasuk merupakan strategi politik.
Tanpa memahami riwayat dan roh pasar kuno, politikus yang kelak menjadi “raja kecil” mudah mengobrak-abrik jaringan pasar dan melumpuhkan spirit wirausaha pedagang. Mereka akan mengadopsi konsep pasar modern (mal) dalam proyek renovasi pasar.
Sebelum semakin banyak pasar ilang kumandange (hilang), penting dibentangkan gambaran historis pasar asli Tanah Air.
Tercatat pada zaman Mataram Kuno abad VIII telah ditemukan berita sekilas tentang ruang yang mewadahi proses jual-beli komoditas. Bukti konkretnya adalah terminologi yang terpahat dalam prasasti, misalnya peken (pasar) dan pegawai yang mengurusi pasar seperti apakan, apekan, dan mapakan.
Terminologi peken memuat arti tempat berkumpul yang tidak berkaitan dengan upacara atau ritual suci. Hanya butuh tanah lapang untuk menampung banyak orang berkerumun, bengak-bengok (berteriak) menawarkan dagangan, dan leluasa bertransaksi.

Kemudian, istilah bukak dasar menjelaskan pola para bakul menggelar dagangan cukup ditaruh di tanah atau lantai, tidak dipajang dalam tempat almari. Mereka duduk nglesot menghadap dagangan, menunggu pembeli.
Agar tidak kotor menyentuh tanah, dagangan dilambari karung atau diletakkan di atas empyak (ranjang kecil) setinggi dada bakul kala duduk.
Seiring dengan kemajuan zaman, kegiatan ekonomi ini membutuhkan fasilitas memadai. Contohnya, dibangun los agar tertata rapi. Atapnya diberi nam-naman (anyaman) daun kelapa atau genting supaya tubuh terlindungi dari terik mentari dan guyuran air hujan.
Dibuat pula grobok (lemari) untuk menyimpan barang yang tidak dibawa pulang. Wajah pasar demikian ini masih dapat kita jumpai di pelosok Wonogiri, misalnya Giriwoyo.

Dari optik sejarah budaya, ungkapan gumrenggeng menggambarkan keramaian suasana pasar berkat relasi sosial yang terbangun apik di sana. Penjual berteriak memanggil teman atau pembeli yang sudah akrab adalah panorama yang lumrah.
Coba perilaku semacam ini diterapkan di pasar modern, pasti kita akan dianggap sinting.
Ternyata, pasar di Nusantara bukan hanya medan ekonomi, tapi juga ruang ideal mengais informasi. Fakta kultural yang melukiskan kenyataan itu adalah kulak warta adol prungon. Kita berburu berita bisa lewat ngobrol atau nguping pembicaraan orang, untuk kita wartakan di tempat lain.

Proses transaksinya berlangsung gayeng, melibatkan makelar dan tukang entul (pemancing). Ragam keunikan di atas adalah identitas pasar tradisional yang mustahil dijumpai di pasar modern alias pasar bisu, lantaran memasang harga pas, tak ada negosiasi.
Pada musim kampanye para politikus blusukan ke pasar, sebaiknya para bakul membuat kontrak politik agar mereka tidak mengutak-atik ekosistem pasar yang telah mapan.
Sebagai peringatan pula bagi politikus bahwa bila berani “membunuh” masyarakat pasar tradisional, bersiaplah dibayangi dosa sejarah seumur hidup. Camkan, doa ribuan orang susah itu mujarab dan malati! *
********
Kolom/Artikel : Tempo/co