Garut News ( Jum’at, 07/11 – 2014 ).

Kesaksian Allan Nairn di hadapan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia kudu dilihat sebagai celah baru untuk mengusut pembunuhan Munir Said Thalib.
Wartawan investigasi dari Amerika Serikat itu mewawancarai Jenderal Abdullah Mahmud Hendropriyono dan mendapat pernyataan penting: Kepala Badan Intelijen Negara ketika aktivis hak asasi manusia itu dibunuh pada 2004 tersebut siap bersaksi di pengadilan.
Allan dipanggil ke Komnas HAM setelah ia menyiarkan hasil wawancaranya dengan Hendropriyono di Allannairn.org.
Kesediaan Hendropriyono itu, disebutnya sebagai “tanggung jawab komando”, cukup berarti karena pengusutan kasus tewasnya Munir berhenti pada eksekutor lapangan, yakni pilot pesawat Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto.
Polly-lah yang akhirnya dihukum 14 tahun penjara lantaran berperan menyusupkan racun arsenik ke makanan Munir di pesawat saat ia terbang untuk menempuh studi hukum di Utrecht Universiteit, Belanda.
Dari catatan persidangan, Polly adalah agen BIN. Ia ditugasi Garuda agar ikut terbang dalam pesawat ditumpangi Munir.
Dan surat tugas itu terbit karena didorong surat rekomendasi diterbitkan As’ad Ali, Wakil Kepala BIN. Maka sewajarnya, demi keadilan, para petinggi BIN diusut dan dimintai keterangan.
Deputi Penggalangan Muchdi Purwopranjono memang menjadi terdakwa, tetapi ia bebas karena polisi tak bisa membuktikan puluhan kali percakapannya dengan Polly sebagai perencanaan pembunuhan itu.
Hendropriyono juga sempat diperiksa, namun sebatas sebagai saksi di polisi hasilnya tak dipublikasikan. Nah, kini kasus Munir bisa dibuka lagi dengan memfokuskan pada peran bekas Kepala BIN ini.
Munir tewas menjelang peralihan politik dari Presiden Megawati Soekarnoputri ke Susilo Bambang Yudhoyono.
Dan praktis Munir bukan lagi sosok berbahaya seperti pada 1998, ketika ia secara terbuka menentang tentara untuk melindungi para aktivis yang diculik.
Pembunuhan Munir menjadi misterius ihwal alasan sebenarnya ia dilenyapkan.
Salah satu hal bisa dilakukan Komisi Hak Asasi memanggil Hendropriyono memverifikasi keterangan Allan Nairn.
Kesaksian itu bisa menjadi novum atau bukti baru bisa ditindaklanjuti polisi mengembangkan pernyataan tersebut.
Rekomendasi Komisi tak akan berbenturan dengan dalil nebis in idem, mengadili orang sama pada kasus sama, karena obyeknya bukan lagi Pollycarpus, melainkan petinggi BIN.
As’ad Ali bisa dimintai keterangan soal surat rekomendasi untuk Pollycarpus tersebut guna memastikan keterkaitannya dengan pembunuhan Munir.
Di pengadilan, hakim mengabaikan bukti penting itu. Juga percakapan telepon Polly dengan BIN di sekitar hari pembunuhan, 7 September 2004, juga tak didalami jaksa dan hakim.
Indonesia akan terus menanggung beban sejarah sebab tak tuntas membongkar dalang pembunuhan Munir.
Presiden Joko Widodo kudu menghapus beban tersebut dengan membuka kembali pengusutan kasus ini. *
******
Opini/Tempo.co