Putu Setia,
@mpujayaprema
Garut News ( Selasa, 06/05 – 2014 ).

Joko Widodo sibuk blusukan, bahkan ke wilayah yang bukan menjadi tanggung jawabnya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Jokowi, begitu nama popnya, sedang mencari pendamping dalam statusnya sebagai calon presiden.
Kenapa repot?
Sebab, ia belum punya pengalaman cukup untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini.
Pendapat umum yang diucapkan banyak orang: pendamping Jokowi haruslah tokoh yang berpengalaman untuk menambal kekurangannya.
Untungnya, PDI Perjuangan yang mengusung Jokowi telah selesai dalam urusan koalisi.
Partai ini sudah berhasil menggaet Partasi NasDem tanpa syarat apa pun.
Dengan koalisi dua partai, mereka sudah bisa mengusung pasangan capres dan cawapres.
Partai lain semuanya belum aman dan perlu koalisi, perlu saling tawar-menawar posisi, karena tak ada yang seperti Nasdem, mau koalisi tanpa syarat.
Dalam bahasa sederhana, sebenarnya Jokowi sedang mencari pendamping yang harus lebih berpengalaman daripada dirinya.
Sejatinya, yang dicari “cawapres dengan rasa capres”.
Dan pencariannya ini, astaga, membuat partai lain bak menari dalam irama gendang Jokowi.
Jokowi mengincar Jusuf Kalla karena disodori asumsi, hanya Kalla tokoh yang berpengalaman sebagai wapres.
(Dalam catatan saya, yang berpengalaman sebagai wapres dan masih sehat lainnya adalah Hamzah Haz, Try Soetrisno, B.J. Habibie, dan, oya, Megawati).
Media mengumbar, kepiawaian JK, baik mengenai politik internasional maupun ekonomi makro, akan membantu Jokowi yang lemah dalam bidang itu.
Apalagi Kalla bisa menggaet suara Indonesia timur.
Tapi pasti Jokowi mikir, Kalla terlalu senior, masak sih wakil?
Lagi pula usianya lanjut dan konon Kalla sangat dominan dalam mengambil langkah.
Untuk itu, atas desakan opini yang lain, bahwa yang dihadapi negeri ini sesungguhnya lemahnya hukum, Jokowi mendekati Mahfud MD.
Nah, tokoh satu ini “milik” Partai Kebangkitan Bangsa.
Jika Mahfud diambil, PKB tentu diajak, bagaimana kalau PKB dalam berkoalisi menentukan “syarat dan ketentuan berlaku”?
Lagi pula Mahfud berasal dari Madura, Jawa Timur, yang masih dekat dengan Solo.
Horee⦠ada tokoh alternatif!
Abraham Samad, Ketua KPK.
Dilirik yuk, mungkin begitu pikiran Jokowi.
Samad anak muda, berani, paham hukum, dan berasal dari Indonesia timur seperti Kalla.
Tapi ketika Jokowi sowan ke Tebu Ireng untuk bertemu Salahuddin Wahid, Si Gus memberi bisikan: “paham hukum dengan pengalaman sepuluh tahun”.
Si Samad baru beberapa tahun namanya berada dalam radar “tokoh nasional”.
Jokowi mengaku sudah mengantongi nama cawapres, tapi pasti nama itu lebih dari satu.
Ia sedang mengkalkulasi, kalau ambil ini, pengikut yang itu pasti kecewa.
Ya, harus diiming-imingi harapan, misalnya, jadi juru bicara.
Kalau ambil yang itu, pengikut yang ini kesal, ya, minimal diberi menteri atau kalau ngotot lebih, menko kesra.
Utak-atik nama boleh diperpanjang, tapi larinya sudah pasti soal bagi-bagi kursi, betapa pun akal Jokowi menutupinya.
Sebab, pangkal masalahnya, yang dicari “cawapres rasa capres”.
Kalau saja Jokowi “sudah merasa capres” dan percaya diri memimpin negeri ini, soalnya jadi lain.
Yang mengherankan, partai tengah-di luar tiga besar-pada ikut “menari”, bukan memukul gendang dengan menciptakan tari sendiri.
Kenapa tidak menghimpun diri dan lupakan “tarian Jokowi”?
Juga lupakan dua partai besar lainnya, termasuk capres yang sudah dikoarkan.
Lalu usung, misalnya, JK-Mahfud atau Mahfud-Hatta Rajasa atau Hatta dengan pemenang konvensi Demokrat.
Hal ini lebih memberi gairah masyarakat untuk ikut mencoblos, karena Jokowi punya lawan tanding. *
*******
Kolom/Artikel : Tempo.co