Garut News ( Senin, 26/01 – 2015 ).
Menteri Tedjo Edhy Purdijatno semestinya berhati-hati bicara soal konflik Polri versus Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan ini tidak membuat masalah menjadi jernih, melainkan malah bertambah keruh.
Ia mengatakan pimpinan KPK ingkar janji atas kesepakatannya dengan petinggi Kepolisian RI saat dipanggil oleh Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Jumat pekan lalu.
Tedjo, yang berbicara sehari kemudian, menyesalkan pergerakan massa di KPK. Yang dimaksudkan oleh Pak Menteri adalah tentu para aktivis antikorupsi yang berorasi di kantor KPK setelah wakil ketua lembaga ini, Bambang Widjojanto, ditangkap polisi.
Tedjo, antara lain, berucap, “Jangan membakar massa. ‘Ayo rakyat, kita harus begini-begitu’.” Ia juga berkata: “KPK akan kuat bila didukung oleh konstitusi yang berlaku, bukan dukungan rakyat yang enggak jelas itu.”
Betapa besar dampak ucapan tersebut karena ia mewakili pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla. Publik akan menafsirkan kisruh yang muncul sekarang bukan sekadar konflik Polri versus KPK.
Pemerintah Jokowi akan semakin menimbulkan kesan berada di belakang polisi dan ingin melumpuhkan komisi antikorupsi.
Apalagi, sejak awal, pemerintah juga memaksakan pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Polri, kendati ia sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap oleh KPK.
Sebagai Menteri Koordinator Politik sekaligus Ketua Komisi Kepolisian Nasional? lembaga yang menyeleksi awal calon Kepala Polri-Tedjo juga ikut bertanggung jawab atas kisruh sekarang.
Tedjo seharusnya memberi masukan yang cermat kepada Presiden Jokowi kendati Budi Gunawan disokong penuh oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, partai penyokong utama pemerintah.
Ia semestinya menjadi orang pertama yang memberikan saran kepada Presiden bahwa pencalonan bekas ajudan Presiden Megawati itu berisiko besar.
Kalaupun ingin mempertahankan keputusan awal pemerintah, Tedjo tak perlu secara membabi-buta menyerang para aktivis antikorupsi.
Langkah ini blunder karena memancing amarah masyarakat yang sebagian besar justru merupakan para penyokong Presiden Jokowi.
Sebagian publik sudah lama kecewa karena Jokowi mengisi pos-pos penting, seperti Jaksa Agung dan Menteri Hukum, dengan orang-orang partai.
Kini, pemerintah juga tidak bisa memberikan figur yang bersih dan bermutu untuk Kepala Polri.
Bukan zamannya lagi menteri seenaknya berbicara walaupun tidak masuk akal. Pada era demokrasi dan keterbukaan informasi seperti saat ini, menteri harus pandai mendengarkan keinginan publik agar ia mampu memberikan pernyataan yang tidak merugikan pemerintah.
Presiden Jokowi seharusnya pula lebih cermat terhadap masukan orang-orang sekitarnya, termasuk dari Menteri Tedjo, agar bisa memutuskan segala hal secara lebih bijak.
Presiden harus berani mengevaluasi kinerja menteri yang disodorkan oleh Partai NasDem ini. Jika masih melakukan blunder lagi, ia sebaiknya diganti.
********
Opini/Tempo.co