Garut News ( Kamis, 30/07 – 2015 ).

Kebersihan adalah bagian dari iman. Dalam perwujudannya, penanda-penanda keagamaan kerap memakai warna putih sebagai simbol kebersihan dan kesucian. Pada masa kolonial, konsep bersih tidak semata mewujud dalam benda-benda fisik, tapi juga menjadi strategi kebudayaan.
Bandung Mawardi (2013) mencatat bahwa novel-novel terbitan Balai Pustaka merepresentasikan kebijakan kolonial dalam konteks politik bahasa. Pada 1920-an, pembakuan dan penggunaan bahasa Indonesia dalam karya-karya sastra harus mengalami “koreksi” atau “sensor” demi warisan “kebersihan”, “ketertiban”, dan “kerapian” sebelum diterbitkan.
Konsep bersih sebagai semboyan politik digunakan Orde Baru dengan menginstruksikan penduduk desa untuk membersihkan lingkungan secara keseluruhan. Terwujudnya kebersihan fisik rumah, lingkungan, desa, hingga perkotaan menjadi prasyarat kondisi yang sehat, nyaman, aman, dan tertib dalam berbagai aspek.
Konsep ini difasilitasi (baca: ditanamkan) pemerintah melalui kompetisi tahunan untuk mendapatkan penghargaan Adipura Kencana. Untuk itu, penduduk dimobilisasi untuk membersihkan dan menghias lingkungan dengan membersihkan sampah dan benda-benda yang tidak sedap dipandang.
Seturut Sekimoto (2005), strategi politik ini memiliki efek abadi dalam kehidupan wilayah lewat bentuk arsitektur, lanskap kota, dan bentang darat dengan keteraturan yang tidak dapat diubah.
Semua kota pemenang Adipura memiliki kemiripan dalam pembuatan taman di sisi jalan, pagar-pagar yang panjang, gapura-gapura dengan hiasan pepohonan dan bunga-bungaan.
Lebih lanjut dikatakan bahwa kebijakan politik pemerintah yang bersifat seremonial dan dekoratif ini bukan sekadar pembersihan fisik. Masyarakat yang mementingkan kebersihan lingkungan menjadi tolok ukur kualitas hidup yang lebih tinggi dibanding masyarakat yang belum mementingkan kebersihan.
Konstruksi ideologis itu bergerak dalam sistem kekuasaan yang terkadang irasional. Untuk itu, apa pun yang mengganggu atau heterogen harus dihilangkan: perkampungan miskin dan kotor kerap dibakar oleh api-api misterius dan dengan cepat digantikan oleh bangunan-bangunan modern.
Konsep “bersih” juga menjadi ukuran nilai penting dalam hidup seorang penduduk Indonesia. Atas nama nasionalisme, kata ini digunakan pemerintah (Orde Baru) untuk mendefinisikan seseorang yang “bebas dari pengaruh komunis” atau “bersih lingkungan”.
Jika seseorang dikatakan tidak bersih, berarti secara tersirat telah terindikasikan latar belakang politiknya. Asumsi ini masih terus berlanjut sampai kini.
Menurut Nordholt (2005), kotor berarti ketidakteraturan dan bahaya. Perhatian yang berlebihan terhadap kebersihan, sebagai suatu perwujudan disiplin dari penguasa, mewakili ketakutan terhadap ketidakteraturan yang tidak terkontrol yang suatu kali mungkin mengancam eksistensi negara.
Kebersihan menjadi bingkai dalam kekuatan protektif, memberi andil terhadap penampilan dan karakter kekuasaan negara. Kebersihan menjadi tolok ukur keberhasilan proyek “pemberadaban” masyarakat yang berhubungan dengan upaya agar proyek-proyek kekuasaan tetap terkendali.
Kebersihan adalah penanda politisasi massa. Melalui kebersihan, politik berbaur dengan imaji estetis sebuah konstruk identitas yang dibangun atas nama kekuasaan. Maka benar adanya bahwa bersih pangkal kuasa! *
********
Kolom/artikel Tempo.co