Garut News ( Selasa, 27/01 – 2015 ).

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tak perlu menggubris protes atas kebijakan pelarangan iklan rokok dan tembakau di media luar ruang.
Kebijakan Pemerintah DKI Jakarta itu mulai berlaku pada 13 Januari lalu.
Protes berdatangan dari berbagai pihak. Salah satunya dari Ketua Asosiasi Perusahaan Media Luar Ruang Indonesia, Nuke Mayasaphira.
Akhir pekan lalu, ia meminta larangan itu dikecualikan di beberapa wilayah, misalnya di lokasi-lokasi yang ditetapkan sebagai wilayah hiburan untuk orang dewasa.
Pemerintah DKI memang bakal kehilangan Rp862 miliar per tahun dari pemasangan 270 ribu iklan rokok di seantero Ibu Kota.
Namun kebijakan ini jelas akan memberikan manfaat jangka panjang, terutama kepada pelajar dan kaum muda.
Seperti disebutkan dalam peraturan gubernur itu, larangan ini bertujuan melindungi kesehatan perseorangan, keluarga, dan masyarakat dari pengaruh reklame rokok.
Perlindungan ini krusial karena Indonesiaâ ”tak cuma di Jakartaâ” bisa dikatakan sudah masuk keadaan darurat rokok.
Larangan ini juga secara khusus dimaksudkan untuk melindungi anak-anak dari bahaya pengaruh rokok yang bersifat adiktif.
Bila permintaan Asosiasi dikabulkan, siapa bisa melarang anak-anak melintas di lokasi hiburan khusus orang dewasa?
Apalagi reklame rokok dikenal jorjoran dalam hal ukuran dan sangat atraktif.
Angka pelajar yang merokok di DKI Jakarta juga sudah sangat mengkhawatirkan. Dalam sebuah survei disebutkan bahwa 43 persen dari 2.000 responden pelajar berusia 15-20 tahun di Ibu Kota mengaku pernah merokok.
Dari persentase tersebut, 63 persennya merupakan pelajar laki-laki.
Nafsiah Mboi, saat menjadi Menteri Kesehatan, pernah menyatakan kecenderungan merokok di kalangan remaja berumur 15-19 tahun meningkat pesat, dari 7,1 persen pada 1995 menjadi 43,3 persen pada 2010.
Yang lebih memprihatinkan lagi, persentase anak yang mulai merokok pada usia 10-14 tahun sebesar 17,5 persen.
Pemerintah DKI juga tak perlu menggubris pernyataan bahwa iklan rokok luar ruang akan menggenjot pendapatan asli daerah.
Pada akhirnya keuntungan sesaat dari reklame rokok bakal tergerus habis oleh dampak buruknya. Misalnya, kematian akibat penyakit tak menular yang bisa disebabkan oleh rokok pada 2010 mencapai 64 persen dari semua kematian di Indonesia atau naik 14 persen dari 1995.
Berdasar data dari Global Youth Tobacco Survey 2006, disebutkan bahwa 93 persen anak berusia 13-15 tahun melihat iklan rokok di billboard dan 83 persen di majalah serta koran.
Sedangkan di Jakarta, 99,7 persen melihat di televisi dan 86,7 persen melihat di media luar ruang. Dampaknya, hampir 70 persen remaja memiliki kesan positif terhadap iklan rokok.
Karena itu, Gubernur tak perlu ragu menerapkan peraturan ini dengan seketat-ketatnya. Seyogianya pula, peraturan serupa diterapkan di daerah lain.
Jika perlu, Indonesia bisa mencontoh 20 negara lain, seperti Vietnam dan Brasil, yang melarang iklan rokok dalam bentuk apa pun dan di mana pun.
*******
Opini Tempo.co