Garut News ( Kamis, 16/01 – 2014 ).
Banjir di Ibu Kota sekali lagi membuktikan betapa amburadulnya koordinasi antara pemerintah pusat, dan pemerintah DKI Jakarta.
Berbilang tahun proyek penanganan banjir di Jakarta tak kunjung rampung.
Pemerintah pusat, dan Gubernur Joko Widodo seharusnya menindak tegas bawahan tak sigap menangani banjir.
Selama ini, setiap kali banjir tiba, orang ramai-ramai menyalahkan Gubernur DKI Jakarta, siapa pun gubernurnya.
Itu jelas bukan sikap tepat.
Lantaran, urusan banjir tak semata-mata berada pada pundak gubernur, tetapi juga terdapat di tangan pemerintah pusat.
Dalam urusan 13 sungai besar berhulu di provinsi lain dan melintasi Jakarta, wewenang pengelolaan ada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum.
Sedangkan Pemerintah Provinsi Jakarta hanya memiliki kewenangan pada sungai kecil, saluran penghubung, dan saluran mikro.
Dengan pembagian jelas seperti itu, secara teori semestinya penanganan banjir di Ibu Kota bisa lebih cepat, dan lebih baik lagi.
Namun pelaksanaan kewenangan itu berjalan timpang.
Buntutnya, saban tahun banjir menenggelamkan Jakarta.
Respons kurang cepat pemerintah pusat itu menjadikan pemerintah Jakarta geregetan, dan mengambil alih kewenangan pemerintah pusat.
Contoh terbaru perbaikan ruas Jalan T.B. Simatupang, ambles akibat banjir lantaran hujan mengguyur Jakarta sejak Ahad hingga Senin malam lalu.
Jokowi segera memerintahkan bawahan melebarkan gorong-gorong sempit, dan meninggikan ruas jalan tersebut.
Pengerukan Waduk Pluit, Jakarta Utara, contoh lain kewenangan pusat diambil Jakarta.
Jokowi bukan tak punya salah.
Setahun memimpin Jakarta, belum banyak dilakukan mengatasi banjir.
Waduk Pluit memang dikeruk.
Namun normalisasi sungai, gorong-gorong, dan waduk-waduk lain mesti dikebut.
Drainase kota berusia nyaris setengah abad tak semua rampung dibenahi.
Akibatnya, saat hujan mengguyur deras hanya selama dua jam, saluran air “kalah”.
Genangan banjir terdapat di pelbagai tempat.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat, tahun ini terdapat 35 titik genangan membuat 5.152 jiwa mengungsi.
Luas genangan itu memang lebih kecil ketimbang banjir di zaman Gubernur Fauzi Bowo, mencapai 62 titik.
Namun tetap saja masih banyak perlu dibenahi..
Masalah banjir tak sepatutnya dipolitisasi.
Semua pihak kudu bekerja sama mencegah banjir di Jakarta, sekaligus melakukan beragam tindakan jika banjir masih terjadi.
Apalagi ancaman banjir besar masih membayang di depan mata.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memprediksi puncak musim hujan terjadi pada dua pekan terakhir Januari hingga dua pekan awal Februari.
Pemerintah pusat dan Gubernur Jakarta seharusnya duduk bersama, dan segera merampungkan pembenahan Kota Jakarta.
Kedua belah pihak juga mesti berpikir jangka panjang, dan komprehensif melibatkan daerah sekitar Jakarta, seperti Bogor dan Tangerang.
Hanya dengan cara itu, Jakarta baru bisa bebas dari banjir.(*)
**** Opini/Tempo.co