Bangsa Indonesia Buta Huruf “Aksara” Milik Sendiri

Bangsa Indonesia Buta Huruf “Aksara” Milik Sendiri

1639
0
SHARE

“Deddy Effendie Gagas Penyelenggaraan Kongres Aksara Nusantara”

Esay/Fotografer : John Doddy Hidayat

Garut News ( Rabu, 09/12 – 2015 ).

Deddy Effendie juga Menuntaskan Novel "Alumnus Saritem".
Deddy Effendie juga Menuntaskan Novel “Alumnus Saritem”.

Budayawan Deddy Effendie, selama ini dikenal pelukis pertama lukisan terkecil di dunia juga novelis menyatakan, hingga hari ini Bangsa Indonesia masih buta huruf “aksara” miliknya sendiri.

Lantaran disadari atawa tidak, pada 1930 an kita masih menggunakan aksara latin seharusnya aksara Arab Pegon. Sehingga hanya melek huruf aksara latin, sedangkan Bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Melayu Riau.

Malahan pada 1960-an Presiden Pertama RI Ir Soekarno menggelar pula “pemberantasan” buta huruf latin.

Sehingga dia berpendapat, “Kongres Aksara Nusantara” mendesak perlu segera dilaksanakan dengan tujuan utama menentukan satu aksara yang dapat dipergunakan untuk menuliskan Bahasa Indonesia yang bisa mewakili resapan dari pelbagai bahasa daerah di Indonesia maupun bahasa asing, yang telah diklaim sebagai Bahasa Indonesia.

“Terutama keseragaman dalam membaca ‘lambang suara’,” imbuh Deddy Effendie menyerukan ketika didesak pertanyaan Garut News di kediamannya, Rabu (09/12-2015).

Bersama Istri.
Bersama Istri.

Dikemukakan, pada dekade 1930-1940-an pernah muncul penolakan terhadap dipromosikannya “Aksara Latin”, bahwa aksara tersebut oleh kelompok pergerakan di pesantren-pesantren dikatakan sebagai “Aksara Kafir”…..”tulisan latin-kafir!”.

Sebab pada saat itu kita telah menggunakan Bahasa Arab yang dikenal sebagai Aksara Arab maupun dikenal sebagai Aksara Pegon atau Arab Melayu, katanya.

Menyusul terdapat sedikitnya 21 varian pada 16 daerah lintas Provinsi Jawa Kerajaan, termasuk Aksara Kawi (Aksara Jawa Kuna), Kemudian Aksara Malesung (Aksara Minahasa Kuna), Aksara Sunda Cacarakan dan Kaganga, Aksara Batak (Surat Batak).

Pemberantasan Buta Huruf di Kalimantan Pada 1960-an.
Pemberantasan Buta Huruf di Kalimantan Pada 1960-an.

Juga ada Aksara Toba, Aksara Karo, Aksara Dairi, Aksara Simalungun, Aksara Mandailing, disusul Aksara Lampung (Had Lappung) atau Aksara Ulu, Aksara Jawa (Aksara Jawa Baru/Cacarakan/Hanacaraka), Aksara Bali (untuk Bahasa Bali, dan Sasak).

Aksara Lontara, untuk Bahasa Makasar, Bahasa Luwu dan Bahasa Bima, Aksara Jangang-jangang : untuk Bahasa Makasar, Aksara Bilang-bilang : untuk Bahasa Bugis, Aksara Rejang (aksara Kaganga) : untuk bahasa di Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Kapahiang, Kabupaten Bengkulu Utara, dan Kabupaten Bengkulu Tengah.

Aksara Kerinci (Surat Incung) : untuk bahasa di Jambi, Aksara Proto Sumatera, serta Aksara Pegon/Arab Melayu.

Dikatakan, aksara-aksara tersebut setelah kita menggunakan aksara latin, nyaris tak kita kenal lagi. Bahkan kita buta huruf terhadap peninggalan nenek moyang kita itu.

Dijelaskan pula, pada dasarnya aksara-aksara nusantara berakar pada Aksara Palawa (Aksara India Selatan), Aksara Devanagari (Aksara India Utara), serta Aksara Arab.

Bangsa-bangsa di dunia yang memiliki aksara/tulisan sendiri yang “terpelihara” baik, sesungguhnya tak banyak; antara lain Jepang, Cina, India, Thailand, Korea, Rusia, Arab. Selain aksara latin yang digunakan untuk menuliskan bahasa, dan angka.

oke12Aksara-aksara yang ada di Indonesia, Filipina, serta Malaya nyaris menghilang atawa tak dikenal lagi oleh sebagian masyarakat “pemilik”nya.

“Menjadi Perekat Kualitas Persatuan Berbingkaikan NKRI”

Telisik Tulisan tokoh pergerakan nasional Indonesia E.F.E. Douwes Dekker yang dikenal pula dengan nama Danudirja Setiabudi.
Telisik Tulisan Tokoh Pergerakan Nasional Indonesia E.F.E. Douwes Dekker Dikenal Dengan Nama Danudirja Setiabudi.

Masih menurut Deddy Effendie, merujuk pada Soempah Pemoeda : Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa Indonesia, terwujud menjadi milik kebersamaan.

Maka Satu Aksara Indonesia, akan lebih memerkokoh kualitas rasa persatuan dan persatuan berbingkaikan NKRI. Kiranya ke- Aksara-an asli milik kebudayaan Indonesia pun mendapat tempatnya dalam “kesepakatan” menjadikan Indonesia lebih bermartabat, dan lebih memiliki karakter, serta memiliki jatidiri yang membanggakan.

Sedangkan aksara latin tetap dipergunakan sebagai aksara Internasional, dalam pergaulan kita di tengah-tengah dunia.

Atas dasar pemikiran itulah, kiranya perlu segera dilaksanakannya “Kongres Aksara Nusantara”, imbuh Deddy Effendie.

Dimaksudkan, menentukan satu Aksara Indonesia yang diambil dari aksara asli suku-suku bangsa di Indonesia dalam rangka membentuk kepribadian Bangsa dan Negara dalam kancah Internasional.

Juga menjadi ciri atau jatidiri Bangsa yang akan membedakan Bangsa Indonesia dibanding Bangsa-bangsa lainnya, termasuk dengan Bangsa yang serumpun.

oke13Menjadi alat komunikasi Nasional terhadap dunia Internasional, termasuk dalam hal pengkodean, dan sandi Negara.

Selain itu, lebih memerkokoh kebersamaan dalam naungan NKRI, serta memertegas Bhineka Tunggal Ika (beraneka aksara nusantara tunggal dalam Aksara Nasional), imbuhnya.

Helatan ini, diagendakan berlangsung dua hari pada Februari 2016 mendatang di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, diikuti pelbagai kalangan keilmuan serta komponen dan elemen masyarakat umum dari seluruh nusantara, termasuk jurnalis media online.

Dia antara lain menambahkan pula, pernyataan J.R Logan Inggris secara geografis Nusantara disebut Indonesia pada 1860.

Salah Satu Sudut Studio Proklamasi Garut.
Salah Satu Sudut Studio Proklamasi Garut.

Kemudian pada 1884 seorang A. Bastian (Jerman) menguatkan kata Indonesia. Sehingga secara etnologis sebutan Sunda Besar – Sunda Kecil untuk Wilayah Nusantara (Hindia Belanda) perlahan sirna.

Kembali didesak pertanyaan Garut News mengenai lokasi penyelenggaraan di Kabupaten Purwakarta, penggagas Kongres Aksara Nusantara tersebut katakan, lantaran Pemkab Purwakarta sangat merespon dengan baik, tandasnya, singkat.

 

*********

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY