Putu Setia @mpujayaprema
Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Sabtu, 16/07 – 2016 ).

Arus balik tidak separah arus mudik. Tidak ada target waktu yang harus dikejar sebagaimana orang mudik yang ingin merayakan Idul Fitri di kampung halamannya. Apalagi masuk kantor bagi pegawai swasta tak seketat pegawai negeri.
Awal tahun ajaran baru pun untuk Jakarta, dan kota-kota lain di Jawa, diundur seminggu dibanding di luar Jawa. Urusan mudik dan balik praktis persoalan Pulau Jawa, bukan Nusantara.
Soal balik sesungguhnya masalah yang berat, jauh lebih berat dibanding mudik. Balik harus membuang kenangan manis di kampung halaman, berpisah dengan tanah kelahiran, emak, bapak, kakek, nenek, dan semua tetua di kampung.

Orang-orang yang mudik adalah orang yang membawa harapan untuk “dimuliakan” di kampungnya. Sebagian memamerkan mobil, tak peduli itu mobil sewaan. Sebagian lagi memamerkan apa yang mereka banggakan sebagai “budaya kota”, entah itu pakaiannya, gayanya, atau sekadar memperlihatkan handphone yang berisi berbagai jenis games.
Mereka ingin disebut orang-orang yang berhasil. Dan begitu bersalaman di kampung, mereka pun merasa sebagai pemenang dalam kehidupan. Di kampung halaman itu mereka di-wongke.
Dan kini mereka balik dengan kegelisahan baru. Menjebol tabungan untuk membayar sewa mobil bagi pemudik kelas menengah. Menanggalkan cap “manusia pemenang” yang sempat disandang beberapa hari di kampung bagi pemudik kelas bawah.

Golongan ini, yang jumlahnya banyak, memanfaatkan program mudik gratis, kembali menjadi “manusia pecundang” di Jakarta.
Ada yang bekerja sebagai asisten rumah tangga ”sebutan di masa lalu: babu” yang setiap hari dihinakan oleh majikannya secara sengaja ataupun tidak. Ada yang mengais rezeki di kaki lima yang setiap saat meraung-raung dalam tangis ketika Satuan Polisi Pamong Praja melucuti dagangannya atas nama keindahan kota.
Ada yang kembali ke rumah petak berdesak-desakan sembari menghitung hari, kapan mereka akan digusur. Kenangan salat Idul Fitri di kampung, kenangan ketika sungkem dan bersalaman dengan tetua, kenangan ketika makan ketupat dengan opor ayam seadanya, juga ucapan yang sering dilontarkan (“saya sekarang bekerja di Jakarta”), lenyap.
Tak ada yang tersisa, hidup berat dimulai kembali begitu ritual balik selesai. Ya, kembali, seperti sinonim kata balik itu sendiri.
Ada perumpamaan mudik ke kampung tak ubahnya ziarah men-charge baterai rohani. Tapi isi baterai tak cukup bertambah bagi orang yang stok baterainya lemah, mereka yang pulang dengan sepeda motor, ikut mobil gratis yang disediakan partai politik atau juragan jamu.
Akibatnya, ketika mudik berganti balik, perilaku kembali ke waktu silam. Kekerasan hidup kembali hadir: saling sikut mencari rezeki, menghalalkan hal-hal yang menyimpang, korupsi bagi pemudik menengah ke atas ”mana ada pemudik kere yang korupsi? Caci maki dan fitnah pun marak lagi di media sosial karena, konon, media ini bisa melahirkan “pembenci berbayar”.
Adakah upaya agar lingkaran yang berulang ini bisa diperkecil? Misalnya, dana desa yang miliaran rupiah itu bisa dipakai untuk membangun sesuatu yang bermanfaat bagi pengembangan ekonomi rakyat. Bukan hanya untuk proyek fisik yang menyebabkan balai desa yang masih kokoh harus dibongkar untuk dibangun kembali.
Urbanisasi harus direm dengan mengucurkan lebih banyak proyek ke desa. Kalau masyarakat hidup layak di desa, suatu ketika tak ada istilah mudik dan balik. Yang ada piknik. Jakarta akan macet di saat libur Lebaran dan sepi kembali pada saat arus balik datang; orang-orang balik ke desa.
**********
Tempo.co