Senin 03 September 2018 07:49 WIB
Red: Elba Damhuri
“Edogan membawa ekonomi Turki gemilang meski sekarang menghadapi serangan serius”
REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Ikhwanul Kiram

(Foto: Republika/Daan).
Inilah drama masa kini. Lakonnya ‘perang dagang’. Aktor utamanya Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan. Dalam drama itu, kedua pemimpin menjadikan dua warga negara masing-masing sebagai alat negosiasi.
Erdogan menuntut kepada Trump agar menyerahkan Fathullah Gulen, ulama Turki yang bermukim di AS (Pennsylvania ). Gulen dituduh Otoritas Turki telah mendalangi keduta gagal dua tahun lalu.
Di sisi lain, Trump juga menuntut agar warga negaranya, Pendeta Andrew Bronson, dibebaskan dari tahanan Turki. Bronson ditangkap aparat keamanan Turki dengan sederet tuduhan: terlibat terorisme, spionase, membantu pemberontak Kurdi dan upaya kedeta. Ancaman hukumannya 35 tahun penjara.
Kedua pemimpin sejauh ini kokoh pada sikapnya. Trump tidak akan mendeportasi Gulen dan Erdogan tak akan mebebaskan Bronson. Sikap keras kedua pemimpin ini pun berkembang memanas ketika Trump menerapkan sanksi ekonomi dan perdagangan kepada Turki.
Sanksi itu antara lain dalam bentuk penerapan tarif yang tinggi pada impor baja dan aluminium Turki. Juga pembekuan terhadap semua aset dan properti dua menteri Turki -Menteri Dalam Negeri Suleyman Soylu dan Menteri Kehakiman Abdulhamit Gul – yang ada di AS. Masyarakat AS dilarang pula untuk bertransaksi dengan kedua menteri itu dalam bentuk apa pun.
Meskipun sanksi itu sangat terbatas, namun dampaknya sangat dahsyat. Lira – mata uang Turki – langsung terjun bebas, kehilangan hampir sepertiga dari nilainya dalam waktu sebulan. Trump pun mengancam akan terus menjatuhkan sanksi yang lebih berat terhadap Ankara bila tidak melepaskan Bronson.
Ancaman itu ternyata tidak meluluhkan Erdogan. Kini perang kata-kata antara Erdogan dan Trump masih terus berlanjut. Bahkan Erdogan telah menyerukan kepada rakyat Turki untuk memboikot barang-barang dari AS. Kita belum tahu bagaimana akhir dari drama yang dimainkan Presiden Erdogan dan Trump ini.
Lalu siapakan Erdogan yang berani melawan pemimpin negara Adikuasa itu? Para pengikutnya menyatakan Erdogan adalah jaminan mutu. Ia seorang politisi piawai, mantan Walikota Istambul yang sukses. Sejak 2002 ia berhasil membawa Partai Keadailan dan Pembangunan (AKP) — yang ia dirikan dan pimpin — ke tampuk kekuasaan Turki hingga sekarang.
Kemenangan AKP telah mengantarkan Erdogan jadi perdana menteri (PM) selama 11 tahun (14 Maret 2003 – 28 Agustus 2014 ) dan kemudian sebagai presiden sejak 28 Agustus 2014 sampai kini.
Selama menjadi PM, Erdogan, seorang Muslim moderat, telah berhasil menjadikan Turki sebagai negara modern yang berkesejahteraan. Hanya dalam tempo 10 tahun, Turki yang disebut sebagai ‘negara sakit’ telah menjelma menjadi kekuatan ekonomi ke-10 di Eropa.
Di sektor pariwisata, jumlah turis asing yang sebelumnya hanya 4 juta orang melonjak jadi lebih dari 40 juta orang per tahun. Penghasilan per kapita yang tadinya di bawah 4.000 dolar naik menjadi di atas 12 ribu dolar per tahun.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat itu tentu tak terlepas dari kepiawaian Erdogan menjaga stabilitas politik dan keamanan di tengah kawasan Timur Tengah yang bergejolak. Salah satunya adalah kebijakan ‘membangun komunikasi dengan semua pihak dan menjauhkan diri dari konfrontasi langsung’.
Ini terutama dilakukan dengan negara-negara tetangganya di Timur Tengah. Ahmat Davutoglu, mantan Menlu dan PM Turki, menyebutnya sebagai ‘zero problems with neighboring countries’ alias ‘nol persolan dengan negara-negara tetangga’.
Kebijakan ‘nol persoalan’ ini diperlukan lantaran posisi dan geografis Turki yang berada di Eropa, Asia, Balkan, Kaukasia, Timur Tengah, dan juga kawasan negara-negara Mediterania. Posisi yang menjadikan Turki sebagai zona transit antarkawasan.
Banyak pihak yang kemudian menyebut Erdogan telah mengembalikan Turki pada kejayaan Daulah Usmaniyah.
Kebijakan ‘zero problems’ itu telah mengantarkan Turki menjadi satu-satunya negara Islam (berpenduduk mayoritas Muslim) sebagai anggota NATO (North Atlantic Treaty Organization/Pakta Pertahanan Atlantik Utara). Bahkan mereka juga dalam proses menjadi anggota Uni Eropa. Namun, di sisi lain, Turki juga berhubungan baik dengan Rusia dan Iran – dua negara yang selama ini dianggap bersebarangan dengan NATO dan Uni Eropa.
Selanjutnya, Turki juga merupakan sedikit negara Islam yang mempunyai hubungan diplomatik dengan negara Zionis, meskipun Erdogan selalu mendukung Hamas dan sering mengritik keras kebijakan para pemimpin Israel.
Dengan semua keberhasilannya itu, terutama di bidang ekonomi, Erdogan pun berambisi melanjutkan kepemimpinannya di Turki.
Sistem parlementer yang membatasi seseorang menjabat sebagai PM pun ia ubah menjadi sistem presidensial yang mempunyai kewenangan sebagai eksekutif dan sekaligus kepala negara. Dan, dialah yang terpilih dalam pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kalinya itu.
Namun, berbarengan dengan itu, rentetan peristiwa di Timur Tengah, terutama konflik berkepanjangan di Suriah dan munculnya ISIS, ternyata telah menyeret Turki ke dalam berbagai persoalan pelik. Apalagi yang menjadi Presiden AS sejak satu setengah tahun lalu adalah Donald Trump, seorang pebisnis yang mengelola negara adi kuasa laiknya perusahaan.
Trump presiden yang ‘tidak lazim’, tak mau terikat pada protokuler kepresidenan, blak-blakan, tidak jaim (jaga image), sangat populis, dan tahu bagaimana mengambil hati para konstituennya. Trump juga dikenal suka menghadapi persoalan secara langsung, tidak njelimet, meskipun ia tahu akan banyak risikonya.
Kebijakan ‘zero problems’ Erdogan pun ternyata menjadi persoalan bagi Trump. Yang terakhir ini menentang keras kebijakan Turki yang berhubungan baik dengan Rusia dan Iran. Apalagi sebagai anggota NATO, Turki justeru membeli berbagai persenjataan dari Rusia. Sebalinya, dukungan Trump kepada kelompok Kurdi Suriah untuk menumpas ISIS juga menjadi persoalan buat Turki. Selama ini, Erdogan menganggap kelompok pemberontak Kurdi Turki sering dilingdungi oleh sesama orang Kurdi di Suriah.
Lalu bagaimana akhir perseteruan Erdogan-Trump ini? Trump tampaknya tidak akan mengorbankan Turki yang selama ini menjadi mitra strategis di Timur Tengah. Tuntutan pembebasan Pendeta Evangelis Bronson hanyalah sebagai alat kampanye menjelang pemilu anggota DPR dan Senat AS November mendatang.
Jika ia berhasil membebaskan pendeta Evangelis itu, maka ia akan mendapat simpati. Sebaliknya, bila sang pendeta tidak dibebaskan, masyarakat AS pun tahu bahwa Trump telah berjuang.
Sebaliknya, Erdogan pun tahu kunci sukses dia adalah pada ekonomi. Kemajuan ekonomi Turki selama ini lebih banyak mengandalkan pada perdagangan dengan Barat, termasuk dengan Amerika.
Tidak dengan negara-negara Arab dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Negara-negara kuat seperti Jerman dan Cina saja memilih bernegosiasi daripada perang kata-kata dan konflik terbuka.
Jadi kita tunggu saja bagaimana akhir dari drama perseteruan Erdogan-Trump ini, yang semoga tidak membawa pengaruh negatif pada perekonomian dunia, termasuk Indonesia.
*******
Republika.co.id