Garut News ( Jum’at, 27/02 – 2014 ).
Lebih dari satu dekade negeri ini menjadi “produsen” asap kebakaran hutan, tetapi tak pernah ada tindakan menyeluruh mengatasinya.
Korporasi-korporasi penyebab kebakaran dibiarkan melenggang.
Alih-alih menjatuhkan sanksi, pemerintah pusat dan daerah malahan sibuk berdebat soal kapan status darurat asap kebakaran itu ditetapkan.
Padahal status darurat itu–notabene dipakai memercepat pencairan dana–hanyalah soal teknis.
Ada persoalan esensial, menyeret korporasi pembakar hutan ke meja hijau.
Itu pula terjadi pada dua pekan terakhir, saat beberapa daerah seperti Riau dibekap kabut asap selama berhari-hari.
Selama ini, setiap kali terdapat kebakaran hutan, semua menimpakan kesalahan pada petani-petani kecil tinggal di dekat hutan-hutan di Sumatera atau Kalimantan.
Mereka dianggap sebagai musabab kebakaran.
Saat ini terdapat 24 orang ditangkap lantaran dianggap sebagai biang kebakaran hutan, namun tak ada satu pun dari mereka berasal dari perusahaan perkebunan besar.
Modus lempar batu sembunyi tangan ala pengusaha-pengusaha sawit raksasa itu selalu dilakukan setiap kali kemarau tiba, saat musim pembabatan hutan dimulai.
Perkebunan-perkebunan sawit besar lazim membayar sekelompok orang pembersihan lahan.
Sebab alasan biaya dan kepraktisan, orang-orang ini kemudian membakar hutan.
Korporasi-korporasi itu tutup mata terhadap tindakan tersebut, atawa malah diam-diam menganjurkan cara ini.
Organisasi nirlaba Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mengungkapkan kabut asap di Riau kali ini bermula dari pembukaan 500 hektare hutan sebuah perusahaan.
Badan usaha ini mengantongi izin konsesi seluas 21 ribu hektare di provinsi itu.
Titik api di hutan Riau, semula hanya 70 titik, bertambah menjadi 1.234 titik seluas sekitar 1.200 hektare lahan.
Area itu termasuk kawasan hutan tanaman sagu milik masyarakat.
Selain kehilangan mata pencaharian, penduduk desa terpaksa mengungsi.
Kebakaran itu juga membuat sejumlah penerbangan menuju Pekanbaru dialihkan ke Batam.
Pemerintah daerah setempat tak sigap memadamkan api.
Mereka malahan menyalahkan pemerintah pusat tak kunjung turun tangan.
Seharusnya polisi dan pemerintah memfokuskan diri menjerat korporasi besar pembakar hutan.
Sebab, merekalah penyumbang terbesar bencana asap.
Majalah Tempo pernah mengungkap peran perusahaan perkebunan raksasa dalam bencana asap pada laporan utama berjudul “Asap Inc.”, Juli setahun silam.
Sekarang bencana itu terulang lagi.
Perangkat hukum membidik sang pembakar hutan pun komplet.
Terdapat Undang-Undang Nomor 18/2004 tentang Perkebunan, dilengkapi Peraturan Pemerintah Nomor 45/2004 tentang Perlindungan Hutan.
Pembakar hutan, baik perorangan maupun perusahaan, bisa dihukum maksimal 10 tahun penjara dan didenda Rp 10-15 miliar.
Aturan ini, sayangnya, bak pistol mejan.
Tak pernah ada korporasi dijerat.
Para kepala daerah pun tetap gemar mengobral izin pembukaan hutan serampangan.
Walhasil, negeri ini sepertinya bakal menjadi pengekspor asap abadi.
*****
Kolom/Artikel Tempo.co