Arkeologi Maritim Masih Terabaikan

Arkeologi Maritim Masih Terabaikan

712
0
SHARE

Garut News ( Ahad, 10/05 – 2015 ).

Warga berupaya mengeringkan air yang menggenangi situs Air Sugihan di Desa Kerta Mukti, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Jumat (9/10). Situs Air Sugihan berupa tiang rumah panggung dari kayu nibung, yang berasal dari masa sebelum Sriwijaya, yaitu sebelum abad VII Masehi. Di tempat itu juga ditemukan pecahan keramik, manik-manik, dan lain-lain. KOMPAS/WISNU AJI DEWABRATA
Warga berupaya mengeringkan air yang menggenangi situs Air Sugihan di Desa Kerta Mukti, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Jumat (9/10). Situs Air Sugihan berupa tiang rumah panggung dari kayu nibung, yang berasal dari masa sebelum Sriwijaya, yaitu sebelum abad VII Masehi. Di tempat itu juga ditemukan pecahan keramik, manik-manik, dan lain-lain. KOMPAS/WISNU AJI DEWABRATA

– Sejarah Indonesia adalah kisah tentang negeri maritim dengan ribuan pulau yang dihubungkan lautan. Meski begitu, penelitian sejarah di bidang arkeologi kemaritiman hingga sekarang masih belum banyak mendapat perhatian pemerintah.

Bayangkan, dengan luas perairan mencapai dua pertiga dari daratan yang ada, berapa banyak potensi peninggalan arkeologi dari sisa kebudayaan maritim yang pernah berjaya di Nusantara. Bukti adanya kebudayaan di masa lalu itu tidak hanya berupa kapal karam di laut, tetapi juga di wilayah perairan sungai dan danau.

“Selama ini kita lebih banyak meneliti di daerah bawah laut. Belum pernah merambah hingga ke sungai dan danau,” ujar Bambang Budi Utomo, peneliti senior di Pusat Arkeologi Nasional (Pusarnas), Rabu (6/5).

Kata Bambang, arkeologi bawah laut itu hanya merupakan bagian dari bidang arkeologi kemaritiman secara menyeluruh.

Menurut Bambang, masih banyak aspek kemaritiman yang bisa diteliti untuk merunut jejak sejarah dan kebudayaan masyarakat kita. Misalnya saja penelitian tentang teknologi permukiman kuno di lahan basah, pesisir pantai, penelitian di pelabuhan, menara api, jaringan pelayaran perdagangan Nusantara, benteng laut, dan galangan kapal.

“Banyak potensi di tempat-tempat tersebut, tetapi tenaga kita tidak ada,” ujar Bambang yang mulai menggerakkan penelitian arkeologi kemaritiman sejak tahun 2007.

Penelitian di daerah lahan basah, misalnya, mampu mengungkap pola bermukim serta teknologi yang digunakan masyarakat kuno untuk beradaptasi dengan alam di lingkungan tempat tinggal mereka.

Balai Arkeologi Palembang, misalnya, tengah menggiatkan penelitian di daerah hulu dan hilir Sungai Musi sejak tahun 1988.

Di bagian hilir Musi, yaitu di Situs Air Sugihan di Kabupaten Banyuasin dan Ogan Komering Ilir serta Situs Karangagung Tengah di Kabupaten Musi Banyuasin, arkeolog menemukan banyak sisa permukiman masa pra-Sriwijaya dari abad ke-5 dan ke-6 Masehi.

Selain pecahan tembikar dan keramik alat rumah tangga, arkeolog menemukan tonggak kayu bekas rumah.

Temuan lain berupa kemudi perahu, barang tembikar, manik-manik kaca dan batu, artefak logam, bandul jaring, batu asah gelang kaca dan logam. Pemukim kuno membangun rumah agar bisa beradaptasi dengan alam.

Rumah panggung dengan tiang-tiang tinggi dibangun tanpa mengubah fungsi rawa sebagai daerah pasang surut air sungai.

“Ketika air pasang, rumah-rumah itu tidak kebanjiran,” kata Nurhadi Rangkuti, arkeolog yang memimpin penelitian tersebut.

Sebagai “jalan” penghubung antar-rumah dibangun jerambah (jembatan kayu). Sarana transportasi menggunakan perahu jukung melalui anak-anak sungai yang kini ditimbun atau mengalami pendangkalan.

Terkait penelitian arkeologi kemaritiman, Indonesia hingga saat ini belum meratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air tahun 2001. Konvensi ini mengatur tentang perlindungan warisan budaya bawah air untuk kepentingan umat manusia sekaligus mencegah eksploitasi secara komersial.

Jika konvensi tersebut diratifikasi, tentu pemerintah harus menyediakan anggaran untuk pelaksanaan kegiatan penelitian dan perlindungan.

“Dan itu jumlahnya tidak kecil. Penelitian arkeologi maritim membutuhkan dana lebih besar dari penelitian di daratan karena tingkat kesulitannya tinggi untuk peninggalan bawah air,” tutur Bambang. (LUSIANA INDRIASARI).

********

Editor : Hindra Liauw
Sumber : Harian Kompas/Kompas.com

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY