Apakah Indonesia Masih Dijajah?

Apakah Indonesia Masih Dijajah?

746
0
SHARE
Menteri PPN Bambang Brodjonegoro di acara World Islamic Economic Forum (WIEF) 2016 di Jakarta. (Yoga Sukmana).

Kolom
Murniati Mukhlisin
Praktisi Ekonomi Syariah
Penulis buku dan konsultan keuangan keluarga syariah dengan payung Sakinah Finance. Meraih gelar Sarjana Akuntansi dari International Islamic University Malaysia, Kuala Lumpur, S2 Akuntansi dari Universitas Indonesia serta mendapatkan gelar Doktor Akuntansi dari University of Glasgow, UK. Ibu dari tiga anak ini sementara tinggal di Colchester, Inggris.

Garut News ( Senin, 14/11 – 2016 ).

Menteri PPN Bambang Brodjonegoro di acara World Islamic Economic Forum (WIEF) 2016 di Jakarta. (Yoga Sukmana).
Menteri PPN Bambang Brodjonegoro di acara World Islamic Economic Forum (WIEF) 2016 di Jakarta. (Yoga Sukmana).

– Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa kondisiekonomi Indonesia sekarang mirip pada masa penjajahan Belanda dahulu.

Masyarakat awam tentu saja bertanya–tanya, apa benar dan bagaimana cara dijajahnya? Sepertinya tidak mungkin, karena perekonomian Indonesia nampak makin baik dari tahun ke tahun, misalnya dari segi pendapatan keluarga.

Berapa pendapatan keluarga Indonesia?

Sebut saja Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang menurut Badan Pusat Statistik adalah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu negara dalam suatu periode tertentu baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan.

Atas dasar harga berlaku PDB per kapita per tahun adalah Rp 6,8 juta pada tahun 2000 naik menjadi Rp 12.5 juta pada tahun 2005, kemudian menjadi Rp 27 juta pada tahun 2010 dan Rp 36,5 juta.

Peningkatan PDB per kapita itu bisa kita lihat dari kemampuan keluarga Indonesia dalam memenuhi kebutuhannya seperti ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahun dan teknologi.

Dari segi ekonomi kita bisa melihat kehidupan keluarga terutama di perkotaan yang makin modern, tinggal di rumah yang lebih dari layak, dibalut dengan perhiasan teknologi dan mode terkini serta gaya hidup kelas atas lainnya, sehingga kita mengatakan bahwa mereka sejahtera.

Tapi ternyata di balik itu, persoalan keluarga terjerat hutang makin tinggi dari waktu ke waktu, salah satu puncaknya adalah penggunaan kartu kredit yang tidak terkontrol baik.

Hingga akhir tahun 2015, data Bank Indonesia menunjukan adanya 16,81 juta keping kartu kredit beredar dengan pemakaian rata–rata Rp 767 miliar per hari.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menerima 1.030 pengaduan sepanjang tahun 2015 yang lalu, yang jika diurut lima besar pengaduan adalah sebagai berikut: perbankan dengan dominasi kartu kredit 176 kasus (17 persen); perumahan 160 kasus (16 persen); telekomunikasi 83 kasus (8 persen); belanja online 77 kasus (7 persen); dan leasing 66 kasus (6 persen).

Apakah model kesejateraan seperti ini yang kita inginkan? Bagaimana dengan fakta bahwa Indonesia adalah negara kaya sumber daya alamnya? Yang seharusnya dapat menyumbangkan kesejahteraan buat rakyatnya tanpa rakyatnya harus mendapatkannya dengan berutang.

Lawan kata kesejahteraan

Di sisi lain, kita melihat ketimpangan kesejahteraan pada keluarga Indonesia. Menurut BPS per Agustus 2016, pertumbungan ekonomi Indonesia saat ini adalah 5,2 persen, angka pengangguran terbuka 5,61 persen serta angkat kemiskinan 10,86 persen atau 28 juta orang.

Jika melihat angka kemiskinan versi Bank Dunia, ternyata ada 40 persen atau sekitar 100 juta rakyat Indonesia yang sebenarnya sangat rentan untuk jatuh miskin jika pendapatan dipatok 1,9 dollar AS per hari atau 87 dolar per bulan (lebih tinggi dari tolak ukur BPS yaitu 22,6 dollar AS per bulan).

Faktor penyulut kenaikan angka kemiskinan salah satunya adalah kenaikan harga BBM dan imbas dari perlambatan ekonomi yang menekan indikator kesejahteraan di sektor riil.

Sangat ironi jika melihat fakta ini, Indonesia yang kaya akan sumber daya alam seperti bahan bakar minyak tapi tidak bisa mengendalikan harga minyak.

Siapakah yang “menjajah”? Jadi tepat sekali apa yang dikatakan oleh Bambang bahwa sumber daya alam Indonesia selama ini tidak sepenuhnya dinikmati oleh Indonesia. Bahkan ujung – ujungnya para keluarga Indonesia menggunakan barang jadi yang awalnya adalah barang mentah dari tanah sendiri.

Sebut saja minyak, tambang, gas, emas dan perak; Indonesia hanya pandai menggali dan mengeluarkan dari perut bumi tetapi tidak pandai atau dihambat untuk membuatnya menjadi barang jadi.

Pada akhirnya, aktifitas ekonomi ini dinikmati oleh pihak – pihak asing, seolah – olah kita masih berada di zaman penjajahan Belanda. Tentu saja kita sudah berada di alam kemerdekaan, sudah kita lalui jaman penjajahan (koloniaslime) namun sekarang telah beralih menjadi jaman penjajahan dalam bentuk lain (imperialisme).

Seperti yang dikatakan oleh Joe Painter dari Universitas Durham dan Alex Jeffrey dari Universitas Cambridge di dalam bukunya, Political Geography ,

“Although imperialism and colonialism focus on the suppression of an other, if colonialism refers to the process of a country taking physical control of another, imperialism refers to the political and monetary dominance, either formally or informally.”

Kebijakan ekonomi yang keliru adalah salah satu sebab yang memberikan peluang bagi pihak asing untuk leluasa membeli dan menggunakan sumber daya alam Indonesia.

Menurut Didin Damanhuri dalam tulisannya di Harian Republika 1 Oktober 2015, hingga akhir ini, ada sekitar 112 undang undang yang kurang sesuai denganUUD 1945, yang banyak berpihak kepada keuntungan pihak – pihak asing.

Sikap keluarga Indonesia? Al-Quran menerangkan bahwa segala yang ada di langit dan di bumi (di dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa bentuknya adalah bintang – bintang, gunung – gunung, lautan, sungai – sungai, dan semua yang dapat dimanfaatkan) adalah milik Allah SWT sebagai rahmat kepada kita semua.

“Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sungguh, dalam hal demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir” (QS. Al-Jaatsiyah (45): 13].

Ternyata Allah SWT menuntut adanya kaum yang berfikir yaitu para intelektual selaku pemimpin (khalifah) di muka bumi yang paham akan adanya tanda – tanda, tahu bagaimana menggunakan sebaik-baiknya semua milik Allah tersebut karena semuanya hanya dititipkan sementara (amanah) dan sebagai ujian yang kelak akan dipertanggung-jawabkan.

Di ayat yang lain, para kaum berfikir ini juga dituntut untuk menggunakan semua nikmat Allah SWT dengan berlaku adil, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebijakan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS An-Nahl (16): 90).

Kesimpulannya adalah mari pastikan setiap anggota keluarga kita menjadi bagian kaum yang berfikir. Kaum yang berperan sebagai khalifah di muka bumi ini sehingga dapat menggunakan segala rahmat Allah SWT pada tempatnya, senantiasa berlaku adil atas sesama, belajar dari kejadian – kejadian masa lampau untuk dijadikan pelajaran serta menegakkan kebenaran dan memerangi kemungkaran.

Wallahu a’lam bis-shawaab. Salam Sakinah!

*******

Editor : Bambang Priyo Jatmiko/Kompas.com

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY