Apa yang Kau Cari Pak Menag?

Apa yang Kau Cari Pak Menag?

862
0
SHARE

Ahad 20 Mei 2018 08:35 WIB
Red: Agus Yulianto

“Rekomendasi tersebut malah membuat suasana menjadi gaduh”

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syukri Wahid, Pegiat Sosial Poltik

Syukri Wahid, pegiat Sosial Politik. (Foto: dok. Pribadi).

Sepertinya semakin dekat dengan pertarungan politik nasional 2019, kontraksi politik kian memanas. Tapi sikap yang diambil Istana semakin masuk dalam pembelahan ideologi publik, justru kian dalam.

Pelajaran pilkada DKI kemarin sejatinya harus diambil semua elemen elit dan publik, khususnya pihak Istana yang sedang berkuasa, sebab itu menjadi laboratorium politik ke depan.

Seperti pihak kontra gerakan 212 menggiring opini menyeret dan membawa pada pertarungan identitas yang lebih luas, yaitu menjadi Islam vs Kebangsaan, Agama vs NKRI, Bhineka Tunggal Ika vs Solidaritas Agama, Pancasilais vs Islamis, mulailah agama dibenturkan dengan Negara.

Menurut saya itu tindakan fatal Istana, gagal mendiagnosa kebutuhan umat. Saat putaran kedua, framming awal tersebut malah menjadi bumerang bagi pengusung Ahok, sebab mereka justru butuh suara umat Islam.

Mulailah meminta dukungan partai-partai Islam seperti PKB dan PPP bahkan ormas Islampun tak ayal dijadikan lebelisasi untuk suara umat Islam bisa mendukung pasangan Ahok Djarot kemarin.

Tak berhenti di situ, pasca-Pilkada DKI pihak Istana sepertinya terus lakukan tindakan-tindakan kontraprudiktif seperti memaksa terbitnya Perppu Ormas.

Kali ini menteri Agama menjadi sedikit seksi akibat pengumuman yang dibuatnya. Apa sih untungnya merelease daftar 200 Ulama atau Ustaz yang direkomendasikan kepada publik?

Apa yang telah dilakukan negara sampai mengeluarkan rekomendasi tersebut malah membuat suasana menjadi gaduh baik di level elit apalagi di masyarakat.

Di era digital, dimana akses person kesemua lini kehidupan menjadi terbuka lebar, tanpa terkecuali terkait dengan persoalan kebutuhan mereka akan pencerahan agama, sepeti akses ceramah para ustaz di media sosial, Youtube dan lain-lain.

Nama-nama ustaz seperti UAS, ust Adi Hidayat, Ust Bachtiar Nasir, ust Khalid Basalamah menjadi rujukan nitizen dan perlu dicatat mereka semua adalah ntiterorisme.

Kegaduhan ini jangan Anda salahkan ke publik Pak Menag. Publik malah akan menilai Menag justru mulai bermain-main dengan emosi umat. Publik menilai rekomendasi 200 Ustad itu seolah upaya pemetaan sekaligus pecah belah dai dan jamaahnya.

Pak Menag, bagaimana menurut Anda, jika ternyata masyarakat lebih menginginkan para ustad yang justru ada diluar 200 nama tersebut? Apakah Anda bisa mencegah jika ada sesama Muslim saling menuduh?

Kenapa Anda undang ustaz di luar nama tersebut, akhirnya mereka ribut karena stempel negara tentang nama-nama tersebut seakan-akan di luar itu tidak direkomendasikan, seperti UAS contohnya.

Padahal UAS baru saja diberi penghargaan nasional dan ceramahnya dimanapun sesak dengan pengunjung bahkan TV Nasional sudah mengontrak beliau untuk waktu lama, lalu ada pula sebuah BUMN juga mengundang ustaz di luar nama tersebut, apa Anda mau tertibkan?

Pak Menag, kalau hanya 200 orang ustaz memangnya bapak bisa menjangkau kebutuhan ratusan juta kaum Muslimin di seluruh Nusantara? Apakah Negara yang membiayai transportasi dan akomodasi para ustad yang mereka undang? Jadi apa sebetulnya manfaat merilis rekomendasi itu, selain menciptakan kegaduhan dan upaya perpecahan.

Berhentilah berspekulasi dengan kebijakan yang justru memperkeruh suasana umat di bawah. Belajarlah dari peristiwa kemarin, jangan pernah membenturkan umat Islam dengan Negara. Sebab membenturkan dan mengkotak-kotakkan umat Islam itu adalah warisan Belanda.

*******

Republika.co.id.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY