Al-Farabi, Dari Musik Hingga Politik

Al-Farabi, Dari Musik Hingga Politik

820
0
SHARE
Ilmuwan Muslim berhasil memberikan penemuan yang sangat bermanfaat bagi kehidupan penerus saat ini. (Foto: Photobucket.com/ca).

Ahad 16 Jun 2019 16:00 WIB
Red: Agung Sasongko

Ilmuwan Muslim berhasil memberikan penemuan yang sangat bermanfaat bagi kehidupan penerus saat ini. (Foto: Photobucket.com/ca).

“Al-Farabi sangat piawai dalam bidang musik dan politik”

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Istana Suriah tengah menggelar pertunjukan musik. Sang amir, Safy Ad Daulah mengundang para musisi ternama untuk menghibur warga istana dan para tamu. Tampak Al Farabi ada di deretan para tamu. Tapi, ia tak puas dengan pertunjukan tersebut. Ia pun meminta izin amir untuk memainkan alat musik.

Para tamu pun dibuat terbuai oleh Al Farabi. Pertama, ia memainkan sebuah komposisi musik, lalu semua hadirin tiba-tiba tertawa. Kemudian, ia mengubah komposisinya, tiba-tiba menangislah seluruh hadirin. Lagi, Al Farabi mengganti komposisi lagunya, lalu semua hadirin pun tertidur. Al Farabi benar-benar menghipnotis istana dengan alunan musik yang ia mainkan.

Bukan hanya seorang filsuf yang pandai bermain akal, Al Farabi juga terkenal sebagai musikus andal. Ia bahkan bukan lain adalah penemu not musik. Penemuan not musik tersebut dijabarkan Al Farabi dalam karyanya al Musiqa al kabir (The Great Book of Music). Buku itu pun menjadi rujukan utama para musisi klasik Barat. Ilmu dasar musik tercantum dalam karya fenomenalnya tersebut.

Musik dalam pandangan Al Farabi dapat menciptakan ketenangan dan mampu mengendalikan emosi. Ia pun meneliti musik sebagai terapi penyakit psikologis. Al Farabi kemudian menciptakan prinsip-prinsip filosofis tentang musik, baik kualitas kosmik dan pengaruhnya. Ia kemudian menangani akal dengan terapi musik dan mendapati adanya efek terapi musik di jiwa.

Selain di bidang musik, Al Farabi juga sangat pawai dalam ilmu politik. Bahkan, dari sekian ilmu yang ia geluti, politik termasuk keahliannya yang utama. Sebagai seorang filsuf, ia pun menghubungkan antara filsafat dan wahyu sebagai dasar pemikirannya tentang politik.

Menurut Antony Black, proyek Al Farabi adalah menggabungkan dua wacana, yakni Yahudi-Islam dan Platonik-Hellenis. Ia tidak mempertanyakan apakah Tuhan, rakyat, dan imam merupakan fondasi alam semesta dan tonggak eksistensi manusia. Filsafat Neo-Platonis menyatakan Tuhan, manusia, serta lingkungan spiritual dan material saling berhubungan dan saling memengaruhi satu sama lain. Sementara, Al Farabi memandang hal itu sebagai sarana untuk memahami dan menafsirkan pesan-pesan nabi.

Al Farabi, menurut Black, adalah orang pertama yang memisahkan filsafat dari teologi. Dia jauh lebih memperhatikan teori politik dibandingkan dengan filsuf Islam. Ia percaya, dalam Mahatinggi yang telah menciptakan dunia melalui pelaksanaan intelijen seimbang. Ia juga menegaskan, ini merupakan fakultas rasional yang sama untuk menjadi satu-satunya bagian dari manusia yang abadi.

Dalam muslimphilosophy disebutkan, di jantung filsafat politik Al Farabi adalah konsep kebahagiaan (Sa’ada). Berbudi luhur masyarakat (al ijtima ‘al fadil) didefinisikan sebagai kerja sama untuk mendapatkan kebahagiaan. Kota saleh (al madinah al fadila) adalah salah satu di mana ada kerja sama dalam mencapai kebahagiaan. Berbudi luhur dunia (al ma’mura al fadila) hanya akan terjadi ketika semua penyusun bangsa berkolaborasi untuk mencapai kebahagiaan .

Dalam pandangan Plato dan Aristoteles, kebahagiaan tertinggi hanya bisa diperoleh oleh mereka yang philosophized dengan cara yang benar. Al Farabi mengikuti paradigma Yunani, dan menurutnya pangkat tertinggi kebahagiaan dialokasikan untuk berdaulat ideal yang jiwanya adalah “bersatu seolah-olah dengan intelek aktif”.

Oleh karena itu, menurut Black, Farabi menjabat sebagai sumber yang luar biasa dalam aspirasi intelektual dari abad pertengahan dan membuat kontribusi besar terhadap pengetahuan pada zamannya. Ia membuka jalan bagi filsuf setelahnya dan para pemikir dunia Muslim. “Sulit untuk menemukan seorang filsuf, baik di dunia Muslim dan Kristen dari abad pertengahan dan seterusnya yang belum dipengaruhi oleh pandangannya,” ujar Black.

Sebagian karya Al Farabi juga membahas permasalahan politik. Di antaranya, ihsha’ al-ulum dan tahsil al-sa’adah. Ia juga menyusun Ringkasan-Ringkasan Hukum Plato. Di usia yang tidak lagi muda, Al Farabi diundang ke istana imamiyyah dari Dinasti Hamdaniyah di Aleppo. Sejak itu ia pun masuk dalam kehiduapan istana. Kemudian, dari 942 hingga 950 ia menyusun karya besarnya tentang politik: (1) “Al Madinah Al Fadhilah” (Pandangan Utama Penduduk Kota Utama), (2) “Al Siyasah Al Madaniyyah” (Pemerintahan Negara), (3) “Fushul Al Madani” (Aforisme-Aforisme Negarawan) yang disusun setelah membaca buku Negarawan karya plato.

Sumber : Islam Digest Republika

*******

Republika.co.id

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY