– Munawir Aziz, peneliti dan penulis buku
Jakarta, Garut News ( Kamis, 20/03 – 2014 ).
Isu kepemimpinan menjadi bagian penting dalam ritme pemilihan umum.
Orang-orang di negeri tengah demam pemimpin.
Demam ini tampak di televisi, koran, majalah, hingga warung-warung kopi.
Dari Jakarta hingga ke pelosok-pelosok desa.
Wajah calon pemimpin memaksa mata untuk melotot atau sekadar melirik mereka.
Hasilnya?
Pelbagai karakter kepemimpinan tampak tersebar, siap disajikan, dan dikonsumsi publik.
Tentu saja, laiknya masakan yang dihidangkan: ada yang ditelan, ada yang dimuntahkan.
Inilah gambaran pertarungan politik menjelang pemilihan umum legislatif maupun presiden.
Dari peta pertarungan politik-survei lembaga, catatan media, atau indeks media sosial-yang tampak menonjol adalah sosok Jokowi.
Sosok ini sudah ditetapkan sebagai calon presiden dari PDIP, setelah mendapat mandat tertulis dari sang ratu: Megawati Soekarnoputri.
Pembacaan dari pelbagai sisi menjadi menarik untuk menafsirkan Jokowi.
Apa yang menjadikan Jokowi tampil sebagai figur yang kuat dalam kepemimpinan?
Tentu saja, setting politik, strategi media, dan kampanye simpatik yang dilakukan Jokowi selama ini menjadi instrumen utama.
Tapi, akar kepemimpinan menjadi penting di tengah pertarungan dengan tokoh-tokoh lainnya.
Jokowi memahami benar konteks dan teks.
Ia mampu membahasakan teks dengan bersandar pada konteks.
Ketika di Solo, ia menggunakan strategi priayi Jawa yang menebar kharisma.
Hubungan dengan Keraton Solo dijaga rapi, lalu menyiapkan akar kekuasaan dan komunikasi terbuka dengan masyarakatnya.
Kemudian, ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta, ia tampil sebagai figur yang terbuka, dengan segala strategi komunikasi dan blusukan politiknya.
Inilah yang menandai akar kepemimpinan Jokowi.
Jokowi mampu mentransformasikan nilai, akar kepemimpinan, dan lobi-lobi kekuasaan yang menjadi bagian dari strategi sang pemimpin.
Ia mampu berbicara dengan bahasa petani, bahasa pedagang, bahasa wong cilik, sekaligus mengikuti logika bahasa politis, bahasa cukong, bahasa wartawan luar negeri, hingga diplomat internasional.
Strategi komunikasi inilah yang tidak dimiliki oleh calon-calon presiden yang lain: kuatnya akar kepemimpinan.
Dengan penggunaan bahasa yang tepat sasaran inilah Jokowi mampu menciptakan kondisi bahwa dirinya adalah berita.
Gaya kepemimpinan, formulasi bahasa, dan visi kebijakan inilah yang mendorongnya tampil sebagai petarung yang menguasai medan, tanpa lupa menyapa lawan.
Jangan lupa, hadirnya Jokowi di panggung-panggung politik juga menggunakan simbolisasi pemimpin.
Ketika di Solo, Jokowi menghadirkan dirinya sebagai Joko Tingkir, sang penguasa kerajaan Pajang.
Simbolisasi ini penting untuk menguatkan akar kepemimpinan.
Saat ini, simbol Jenderal Soedirman-sang pahlawan revolusi-menjadi strategi untuk menguatkan akar kepemimpinan Jokowi.
Simbolisasi pemimpin menjadi energi yang digerakkan untuk menguatkan visi dan mengeksekusi misi.
Di ronde awal pertarungan, Jokowi sudah memiliki amunisi kuat dan energi segar: ia memiliki akar kepemimpinan kuat.
Inilah yang tidak dimiliki oleh petarung-petarung lain di tengah ambruknya makna politik pencitraan yang menjadi strategi penguasa dalam satu dekade terakhir. *
*****
Kolom/artikel Tempo.co