Sabtu 15 Jun 2019 14:34 WIB
Red: Muhammad Subarkah
“Pada sidang sengketa Pilpres Nama Abdullah Hehamahua malah trending di mana-mana”
Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
‘’Ya kami akan datang besok Selasa depan ke Mahkamah Konstitusi. Ya akan berunjuk rasa lagi!’’ Kalau pernyataan itu dinyatakan oleh anak muda atau aktivis mahasiwa yang spesialis aktif berdemontrasi dalam isu apa saja, sungguh tak mengherankan. Namun ini menjadi lain, ketika pernyataan ini dikatakan orang tua yang sepuh sudah ubanan dan berusia lanjut, 70 tahun, itu sesuatu yang luar biasa. Dan orang itu adalah Abdullah Hehamahua.
Badannya ceking biasa. Dulu di tahun 1970-an pernah berkuliah di Universitas Hasanudin (Unhas), Makasar. Sejak muda dia memang aktif berorganisasi. Dan saking aktifnya semenjak muda dia sempat mencicipi rangsum makanan dan tidur di tahanan akibat aktif dalam unjuk rasa menyoal ketidakadilan.
‘’Saya tahun 1974-an ditahan di Makassar karena imbas kasus Malari yang ada di Jakarta. Kalau di Jakarta ada Hariman Siregar cs di tahan atas kasus itu, di Makassar saya adalah yang ditahan salah satunya. Untuk aksi unjuk rasa besok Selasa di Mahkamah Konstitusi surat pemberitahuannya sedang diurus ‘anak-anak’ ke polisi,’’ kata Abdullah Hehamahua yang dikalangan yuniornya dipanggil akrab dengan sebutan sederhana ‘Bang Dullah’.Perbincangan dengannya dilakukan siang ini, Sabtu (15/5), di Jakarta.
Mungkin banyak orang tak tahu, bila sosok dan simbol hidup’ ‘mantan penasihat Komisi Pemberantas Korupsi bolak-balik berurusan penjara dan unjuk rasa. Pada masa 1980-an di malah hidup di ‘pembuangan’ karena melawan rezim Orde Baru dengan menumpang di negeri jiran Malaysia dalam waktu cukup lama. Baru setelah masa akhri Orde Baru dia bisa pulang karena rezim mulai longgar kepada aktivis Islam seperti Bang Dullah ini.
Bang Dullah mengatakan, kali ini keikutsertaan dalam unjuk rasa pun sama dengan perasaanya di masa muda dahulu itu. Dia mengaku terketuk hatinya melihat kondisi bangsa dalam bahaya. Dullah ingin bangsa ini jujur, negara jujur, lembaganya pun jujur serta menjunjung keadilan.
‘’Saya resah saja, melihat keadaan sekarang. Kalau yang muda sudah tak mau berunjuk rasa biarlah yang tua seperti saya yang datang. Saya ingin mengenang panasnya jalanan dan makan nasi bungkus dengan melakkan aksi unjuk rasa di halamanan Mahkamah Konstitusi. Kami berharap dan berdoa lembaga ini adil dan hakimnya pun jujur serta ikhlas pada nurani,’’ tegasnya lagi.
Dan memang, bagi para aktvis politik kehadiran Bang Dullah di depan Gedung Mahkamah Konstitusi pada sidang sengketa Pilpres 2019, kemarin (Jumat 14/6), sangat mengagetkan. Para aktvis pun geleng-geleng kepala. Apalagi mereka tahu betul Bang Dullah tak lagi muda dan membuat mereka trenyuh ketika Bang Dullah berdiri berpidato di depan massa yang ada di MK.
Seorang aktivis kondang yang tak mau disebut namanya menceritakan Bang Dullah bersikap luar biasa dalam mentaati aksi tersebut. Dari pihak kepolisian ada ketentuan bahhwa aksi bisa berlangsung dari pukul 08.00 – 16.00, Bang Dullah sudah berada di depan gedung MK satu jam sebelumnya, yakni pada pukul 07.00 pagi.
”Saya terkejut saat dia mengaku sendirian di sana semenjak pagi-lagi benar. Saat itu belum ada orang. Padahal para pengunjuk rasa mulai berangsur berdatangan sekitar pukul 10.00 WIB. Di situ saya salut dan hormat kepadanya bahwa beliau memang tokoh dan teladan taat aturan,” kata aktivis ini yang mengaku baru datang ke depan MK pukul 10.00 WIB.
Selain itu, katanya, Bang Dullah juga mengurus pemberitahuan untuk melakukan unjuk rasa di MK itu secara langsung. Dia tak mau diwakilkan. Dan Bang Dullah menunggu proses keluarnya pemberitahuan itu dengan sabar menunggu.
”Lagi-lagi di situ saya salut. Sebab, kebanyakan para senior bila ingin melakukan unjuk itu lazimnya memakai orang lain. Bang Dullah beda dia mengurus langsung sampai ke luarnya surat pemberitahuan kepolisian itu,’‘ ujarnya lagi.
Dan benar saja, ketika tahu bang Dullah turun gung ikut berunjuk rasa, para jurnalis naik cetak, elektronik, hingga pewarta dadakan media sosial merubungnya untuk meminta komentar.
”Waduh saya dikejar wartawan lagi. Tak hanya dari dalam bahkan saya dicegat wartawan untuk berkomentar dari televisi luar negeri. Ada apa ini?,” kata Bang Dullah.
Alhasi, memang sepanjang Jumat kemarin nama Bang Dullah menjadi trending baik di media main stream hingga media sosial. Mulai pukul 11.00 siang nama Bang Dullah melambung di mana-mana. Perdebatan soal pilpres bagi banyak orang menjadi hal hambar serta tak menarik.
Dan memang, bagi para aktivis Bang Dullah menjadi ikon kesederhanaan dam lambang satunya kata dan perbuatan. Berbagai jabatan yang pernah diembannya tak membuat goyah menjadi sosok yang tak jujur. Saking jujurnya, dia dijuluki ‘sosok figur bersih’ ala khalifah Umar bin Khatab yang selalu berpantang menggunakan hak orang lain atau benda dan barang milik negara’ dalam urusan pribadinya.
”Pernah suatu masa, ada sebuah pertemuan di DPR. Saat itu bertemu biasa untuk urusan pirbadi. Bang Dullah tak mau meminum air putih kemasan dari DPR. Kata dia, ini milik negara saya tak berhak minum air itu. Dia lalu beli sendiri minuman itu,” ujar aktivis itu.
Adanya sikap Dullah seperti itu, sebagai yunior dalam gerakan yang kemudian bisa menjadi anggota DPR tentu saja agak kesal.”Melihat itu saya kemudian protes. Kalau abang enggan minum air yang dibeli oleh DPR, maka abang juga tak boleh berwudhu pakai air yang ada di DPR. Itu juga milik negara bukan,” katanya sembari tertawa lepas seraya mengakui setelah itu Bang Dullah gak mau ke DPR bila untuk soal pribadi. Dia terlihat benar-benar tak mau minum, bahkan berwudhu, pakai air milik negara.
Dan sikap konsiten atas jalur hidup jujur dan sederhana dari Bang Dullah, tercermin pada tulisan lama yang sempat dimuat beberapa waktu lalu di Republika. Tulisan yang bertajuk ‘Keserhanaan Hidup Abdullah Hehamahua’ bercerita begini:
Bukan perkara mudah bagi saya dan kawan-kawan menemukan kediaman mantan Penasihat KPK Abdullah Hehamahua. Kami harus menghentikan laju kendaraan beberapa kali untuk menanyakan alamat yang dia dikirimkan melalui pesan singkat. Pepatah “malu bertanya sesat di jalan” sungguh menjadi pegangan kami di pagi itu.
Rumah Abdullah memang tidak lazim. Setidaknya untuk ukuran mayoritas pejabat negara di republik ini. Lokasinya di pinggiran ibu kota Jakarta. Tepatnya di Kampung Rawadenok, Depok. Kita harus melalui banyak belokan dan gang penuh cabang untuk sampai tujuan.
Bentuk bangunannya pun sederhana, sama seperti kebanyakan rumah yang ada di perkampungan Jakarta. Tapi ia tampak bahagia. Dia justru punya banyak kelakar mengenai rumah sederhana yang dia tinggali sejak 2005 ini.
“Kalau wartawan yang militansinya cuma C saja tidak (akan) dapat berita (wawancara). Hahaha,” canda Abdullah akhir awal Oktober lalu.
Cerita tentang tamu yang kesasar sudah menjadi hal lumrah bagi Abdullah. Bahkan dia sendiri pernah mengalaminya. Suatu malam, sekira tiga hari setelah menempati rumahnya sekarang, ia pernah kebingungan mencari jalan pulang. Dia gagal menemukan rumah yang dibeli dari hasil tabungan istri dan cicilan selama setahun ini. Akhirnya Abdullah memberanikan diri bertanya.
“Pak rumah nomor ini di mana ya?” kata Pak Abdullah. “Rumahnya siapa ya?” “Rumah saya pak,” jawab Abdullah.
Jawaban polos Abdullah sontak menuai tawa dari orang yang ditanya. Barangkali baru kali ini dia menemukan orang kebingungan mencari alamat rumah tinggalnya sendiri. “Jadi jangan kan tamu. Saya sendiri saja waktu kali pertama sempat nyasar. Hahaha,” kata mantan Ketua Umum PB HMI 1979-1981 ini.
Luas bangunan rumah Abdullah sekitar 100 meter persegi. Tapi keseluruhan luas tanahnya mencapai 300 meter persegi. Dia menanami tanah kosongnya dengan aneka buah-buahan seperti rambutan, mangga, sawo, dan durian.
Abdullah bilang dia membeli rumah dan tanahnya secara bertahap dan mencicil. Pertama-tama rumah seharga Rp 45 juta itu dibayar dengan uang muka Rp 20 juta. Uang ini berasal dari hasil tabungan diam-diam sang istri selama tinggal mengontrak di bilangan Pondok Pinang, Jakarta Selatan. “Kemudian berangsur-angsur saya nyicil sampai beberapa tahun lunas,” kenang Pak Abdullah.
Selanjutnya, tambahan tanah seluas 200 meter juga dibeli Pak Abdullah dengan mencicil. Ketika itu dia mengaku khawatir jika tanah yang ada di belakang rumahnya dibangun rumah baru oleh pemiliknya. Sebab tanah itu merupakan satu-satunya jalan untuk memasukan mobil.
“Jadi kalau orang lihat, penasihat KPK kok tanahnya luas banget? Padahal itu kan nyicil sampai tiga tahun,” kata Wakil Ketua Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (PKPN) 2001-2004 ini.
Status sebagai pejabat negara (sekarang mantan,red) tidak lantas membuat Pak Abdullah hidup petantang-petenteng di tengah masyarakat. Berbagai acara dia datangi tanpa sopir pribadi. Bapak empat anak ini juga tidak segan berbaur dengan warga kampung untuk mengikuti kerja bakti.
Bahkan warga kampung baru mengetahui bahwa Abdullah Penasihat KPK setelah kasus Cicak Vs Buaya (KPK Vs Polri) meledak di media Juli 2009. Ketika itu jabatannya sebagai Ketua Komite Etik KPK membuat dia sering tampil di televisi.
“Saya beberapa tahun tinggal di sini orang tidak tahu bahwa saya orang KPK. Sengaja karena memang kode etiknya begitu,” ujar Abdullah.
Soal kode etik jabatan memang dipegang teguh lelaki kelahiran Ambon 66 tahun (sekarang 70 tahun,red) silam ini. Dia tidak mau menggunakan fasilitas mobil negara untuk urusan pribadi. Dia juga tidak pernah mau makan, minum, apalagi menerima bayaran atau bingkisan dari setiap acara yang dihadirinya. Menurut Abdullah, negara sudah menanggung segala biaya pekerjaannya.
Pada 2013 Abdullah memutuskan berhenti menjadi Penasihat KPK. Padahal para pimpinan KPK masih menghendaki dirinya bergabung di komisi anti-rasuah itu. Abdullah mengaku ingin berkonsentrasi menyelesaikan disertasinya. Dia juga yakin sistem, desain organisasi, dan kode etik di KPK telah terbangun dan bisa berjalan sendiri. “Ganti orang tidak masalah. Saya mau refreshing,” kata Abdullah santai.
Melihat cara dan prinsip hidup Abdullah, saya jadi membayangkan berapa triliun uang negara yang bisa dihemat jika seluruh pejabat mencontohnya. Saya juga mendadak rindu dengan sosok pejabat yang berani menolak menikmati apa yang bukan haknya.
Sungguh ada harapan di dalam diri saya ketika bertemu dan bersilahturahim ke rumahnya. Sebuah harapan dari saya bahwa tak semua elite di negeri ini gemar hidup berfoya-foya ketika sudah bersandar pada kekuasaan.
Kesederhaan hidup Abdullah seakan telah memberikan semacam oase di tengah negeri yang mengalami kerontang etika dan hedonisme hidup sebagian besar pejabat. Terimakasih teladanmu, Pak Abdullah, eh Bang Dullah!
********
Republika.co.id