Kamis , 17 August 2017, 12:00 WIB
Red: Agus Yulianto
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Rudi Agung *)
Fotografer : John Doddy Hidayat.
Belum usai kontroversi Full Day School, muncul vaksinasi MR. Tulisan ini lumayan panjang. Siapkan kopi dulu…
Vaksin ini alternatif pengganti vaksin MMR atau Mumps Measles Rubella, yang stoknya sudah lama kosong. Imunisasi MR 2017 begitu gencar.
Boleh jadi, ini kampanye imunisasi terbesar dan terpanjang dalam sejarah kesehatan Indonesia, 1 Agustus-30 September 2017.
Lebih dari Rp 460 miliar APBN terserap untuk kampanye vaksinasi kali ini. Malah, Harian Nasional, 15/1/2017, melansir berita berjudul: Rp 1,84 triliun untuk Imunisasi 2017.
Laman Bisnis dotcom, 29/11/2016, merilis, PT Biofarma menjajaki kerja sama produksi vaksin dengan India seiring rencana pengadaan vaksin measles rubella oleh Kementerian Kesehatan, Agustus 2017. Nilai pengadaan ditaksir sekitar Rp 2,7 triliun.
Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan Elizabeth Jane Soepardi mengatakan, instansinya mendapat dana hibah dari lembaga vaksin asal India, Gavi, The Vaccine Alliance. “Jadi kelompok umur 0-15 tahun dijumlahkan sekitar 17 juta anak. Lalu dikali harga vaksin Rp 160 ribu. Itu baru dana vaksinnya, belum termasuk operasionalnya. Kalau operasional dari APBN. Vaksinnya dari Serum Institute of India,” ujarnya.
Selama ini pemerintah belum mewajibkan pemberian vaksin tersebut salah satunya karena harganya yang lebih mahal enam kali lipat dari vaksin biasa. Harga vaksin MR sekitar Rp 160 ribu, vaksin biasa Rp 28 ribu per dosis. Demikian potongan berita tersebut.
Pertanyaannya kemudian: belum mewajibkan karena mahal, lantas saat ada hibah, kampanye gencar? Jadi, apa kompensasi dari hibah itu? Masih ada makan siang gratis?
Bukan lagi rahasia pembicaraan praktik bisnis di dunia farmasi dan kedokteran. Tak heran, setiap kebijakan vaksin kerap kali memantik kontroversi. Bahkan, banyak sekolah menolak: Jakarta, Bekasi, sampai Jogja. Alasannya lantaran begitu mendadak, gencar, dan efek samping. Jokowi dan Menkes pun turun tangan.
Pemerintah menegaskan vaksin mubah. Mengacu Fatwa MUI 2016. Padahal, per 1 Agustus 2017, hari pertama vaksin dimulai:
Direktur Utama PT Bio Farma, Juliman, mengakui belum melakukan sertifikasi halal ke MUI. “Kalau halal, memang belum disertifikasi.” (TribunJogja, 1/8/2017).
Tapi, pihaknya telah menyiapkan 47,7 juta dosis vaksin. Kenapa tergesa-gesa memulainya?
Di hari sama, 1 Agustus 2017, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni’am Sholeh, menegaskan, belum ada pengajuan sertifikasi halalnya. Vaksin yang belum disertifikasi maka tidak boleh digunakan. Jika tetap memaksa, harus penuhi tiga syarat.
Salah satunya kondisi darurat. Dengan demikian, kondisi apa yang membuat vaksin ini darurat? Kampanyenya luar biasa sekali. Bahkan, sampai digelar temu blogger: Kampanye dan Introduksi MR 2017.
Agenda itu dihelat Kemenkes RI di Hotel Park Lane Jakarta Selatan, 21 Juli. Benar-benar luar biasa kampanyenya. Sebegitu daruratnya kah kondisi campak di Indonesia?
Mari simak datanya. Menurut data WHO, kematian akibat campak di seluruh dunia mengalami penurunan sebesar 78 persen pada beberapa tahun terakhir, yakni dari 526 ribu kasus kematian pada tahun 2000 menjadi 122 ribu kasus kematian di tahun 2012.
Indonesia berhasil menurunkan kematian sebesar 90 persen akibat campak pada 2010 dibandingkan 2000.
Mengutip Tirtodotcoid: Di Indonesia sendiri, menurut catatan Kementerian Kesehatan RI 2016, dilaporkan terdapat 8.185 kasus campak pada tahun 2015.
Jumlah ini lebih rendah dibanding tahun 2014, sebesar 12.943 kasus. Jumlah kasus meninggal sebanyak 1 kasus, terjadi di Provinsi Jambi. Sulawesi Tengah, Jambi dan Papua merupakan provinsi dengan jumlah penderita campak tertinggi. (Tirto, 24/7/2017).
Sekarang kita cek data dan informasi: Profil Kesehatan Indonesia 2016, yang diterbitkan Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI, 2017.
Kasus campak malah hanya menjadi 6.890 kasus. Ini data terbaru per 15 Januari 2017.
Terbanyak, Aceh (1.243), Jambi (1.156), Sumsel (791). Sedangkan Sulteng malah turun jadi 83 kasus dan Papua 66 kasus. Untuk frekuensi KLB, total kasusnya hanya 115. Terbanyak Sumbar 28 kasus.
Lantas, apa yang membuat darurat? Bandingkan dengan kasus gizi buruk, misalnya. Data Kementerian kesehatan 2017, terdapat 37,2 persen atau sekitar 9 juta anak mengalami stunting alias gizi buruk kronis. Bukankah kasusnya lebih besar ini?
Kenapa kampanyenya tak segencar vaksin? Bahkan, rerata angka kekurangan gizi di Indonesia sebesar 18 persen. Padahal, angka yang diminta WHO, 10 persen.
Atau tak segencar DBD, misalnya. Kasusnya juga lebih tinggi dari campak dan rubella. Menkes pun mengakui, rubela tidak akan sampai membahayakan nyawa. Namun, dampak yang ditimbulkan berupa kecacatan.
Dalam dokumen Juknis Kampanye MR 2017 diterbitkan Kemenkes RI, bab tempat dan waktu pelaksanaan, disebutkan: kampanye imunisasi MR dilaksanakan dalam waktu dua bulan penuh di masing-masing daerah, termasuk sweeping.
Dahsyat sekali pemaksaannya. Sampai sekolah yang menolak, di Bekasi, diancam bakal dicabut izinnya. Ada apa? Seiring berjalannya pun, ditemukan kasus-kasus. Walau akhirnya dibantah.
Seperti kasus Niken, yang lumpuh. Tapi orangtua diminta teken agar tak dipublikasikan. Lantas, dikemukakan bukan lumpih, bukan pula karena vaksin. Sebelum vaksin sudah sakit. Kasihan, sudah jatuh tertimpa tangga.
Masyarakat seolah dipaksa sekuatnya. Saat ada keluhan, malah disalahkan. Tapi kenapa sebelum vaksin tidak dilakukan screening dan medical chek up? Biar fair dan terbuka.
Kalau memang ada riwayat, kenapa juga Niken masih divaksin. Belum lagi kontroversi di netizen soal postingan korban lain.
Ada yang koma sampai wafat. Tapi, senyap. Tak segegap gempita kampanyenya. Bahkan, netizen yang memposting kondisi korban akhirnya menghapus. Lantaran ditekan. Duh.
Maha benar vaksin dengan segala anggarannya. Vaksin selalu benar. Bahkan, saat orangtua menolak, harus membuat surat perjanjian agar bertanggung jawab bila ada penularan.
Sebaliknya, petugas vaksin tak mau membuat perjanjian serupa: jika ada sesuatu yang merugikan pasien usai vaksin harus bertanggung jawab. Kenapa tak ada dan tak mau ada perjanjian itu? Kan lucu.
Pokoknya masyarakat harus percaya. Kalau kenapa-kenapa, jangan salahkan vaksin atau petugas medisnya. Counter attack keluhan korban segera digiring sedemikian rupa. Vaksin tidak salah.
Masyarakat benar-benar dipaksa. Sedangkan, bahan dasarnya tak terbuka. Siapa yang bisa menjamin, semua masyarakat bisa tahu bahan awal sampai jadinya vaksin tersebut?
Siapa pula yang membela masyarakat jika ada sesuatu? Sedangkan Komite Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi, per 15 Agustus, mendapat delapan laporan yang masuk pascavaksin MR: di Banten ada tiga, di Jawa Tengah ada satu, di Jakarta ada dua, dan Jawa Barat ada dua.
Tapi dalam kasus Niken, tetap saja Niken yang disalahkan karena dibilang ada riwayat penyakit. Jadi, bagaimana masyarakat bisa mendapat jawaban kejujuran? Siapa yang membela?
Petugas pun buru-buru menyimpulkan. Andai pun memang itu syok anafilaktik, vaksin tetap tak bakal salah. Yang salah anaknya kenapa alergi sama si vaksin. Kenapa punya riwayat penyakit. Sedangkan sebelum vaksin tidak dilakukan medical check up.
Mudah-mudahan seluruh elemen lebih serius membenahi soal vaksin. Kalau memang mencegah penyakit, kok dipaksa, seolah banyak yang ditutupi.
Pemerintah berdalih ingin memutus mata rantai virus. Tapi prosesnya malah menakutkan rakyat. Bahkan, dengan kondisi keuangan negara babak belur, utang meningkat. Sementara tak ada kondisi darurat campak yang mengancam begitu hebat. Tapi, dipaksakan.
Untuk apa tergesa-gesa melakuan vaksin massal MR? Sedang kasus kematiannya jauh lebih rendah dibanding gizi buruk, DBD, malaria, pneumonia.
Obat warung saja punya efek samping. Semisal ngantuk. Bagaimana dengan virus penyakit? Walau sudah dilemahkan, tapi diawetkan dengan zat kimia.
Omong-omong soal Gavi India, penyedia vaksin MR. Dilansir fiscuswannabe.web.id, 12/2015, GAVI sempat menyediakan vaksin pneumonia untuk negara berkembang. Awalnya murah, dibantu, lalu harganya dinaikan berlipat-lipat.
Indonesia dan Filipina pun tak mampu lagi melakukan vaksin untuk seluruh anak. Untuk tiga dosis lengkap dibandrol 150 dolar AS, dari awalnya 10 dolar AS.
Sementara hanya enam vaksin saja yang mendapat subsidi pemerintah: BCG, Polio, DPT, Hepatitis B, campak, dan yang terbaru adalah HiB. Vaksin MMR pun awalnya dilakukan swasta.
Jadi, ada apa dengan gencar dan tergesa-gesanya vaksin MR, ini? Dalam vaksin selalu menggiurkan pengadaan: sarung tangan, alat suntik, honor, akomodasi, dan pengadaan barang sarana pra sarana lainnya.
Masyarakat membutuhkan kejelasan dan kejujuran. Anak-anak bukan kelinci percobaan. Jangan sampai sekadar kepentingan korporasi atau segelintir pihak, malah menjatuhkan kepercayaan program kesehatan.
Masyarakat butuh kejelasan, kejujuran dan keadilan. Jangan sampai seperti bom waktu. Dan menyala saat vaksin disuntikkan…
Shalaallahu alaa Muhammad.
*) Pemerhati masalah sosial, tinggal di Jakarta
********
Republika.co.id