“Keutuhan NKRI Terancam Penyalahgunaan Narkoba, dan HIV/AIDS”
Garut News ( Senin, 25/12 – 2017 ).
Oleh : John Doddy Hidayat

Sedikitnya terdapat 26 kalangan penduduk Provinsi Jawa Barat yang terinsfeksi 39.675 HIV/AIDS, dengan jumlah populasinya sejak 1989 hingga September 2017 mencapai 8.925 kasus AIDS, serta 30.770 kasus HIV.
Bahkan sejak Januari hingga September 2017, dari 1.973 anak Tes HIV terdapat 78 anak di antaranya HIV Positif, sehingga Positif Rate nya 0,03 persen.

Mereka terdiri 67,3 persen laki-laki, 32,2 persen perempuan, dan 0,35 persen masih belum diketahui.
Fenomena gunung es tersebut, diketahui berdasar data Dinkes Jabar menunjukan, dari 8.925 kasus AIDS ini terdiri kalangan Tidak Bekerja paling banyak terinsfeksi 1.814 kasus, Wiraswata (1.310 kasus), Ibu Rumah Tangga (1.167 kasus), Tidak Diketahui (1.157 kasus).
Kemudian TNP/Karyawan (1.154 kasus), Swasta (546 kasus), Wanita Pekerja Seks (509 kasus), Buruh (346 kasus), Mahasiswa/Siswa (256 kasus), Sopir (126 kasus), PNS (118 kasus), Narapidana (92 kasus), Petani (50 kasus), Lain-lain (14 kasus), TNI (30 kasus).
Sedangkan Tenaga Profesional/Non Medis terinsfeksi 29 kasus AIDS, Pedagang (23 kasus), Tenaga Non Profesional (22 kasus), Pelaut/ABK (21 kasus), TKI/TKW (19 kasus), Tenaga Profesional/Medis (16 kasus), Seniman (15 kasus), Pria Pekerja Seks (11 kasus).

Selanjutnya Pemilik/Pengelola Salon terinsfeksi 11 kasus AIDS, Skurity/Satpam (10 kasus), serta Polri terinsfeksi lima kasus AIDS.
Mereka berusia produktif masing – masing berkisar 20 – 29 tahun (42,5 persen), serta berkisar 30 – 39 tahun (37,6 persen).
Dengan kelompok risikonya meliputi Nafza Suntik (37,4 persen), Tatto (0,1 persen), Transfusi Darah (0,2 persen), Heterosex (45,1 persen), Perinatal/Anak (3,9 persen), Bisex/Homosex (8,6 persen), serta Tak Diketahui (4,6 persen).
“Bisa Merontokan Ekonomi”
Orientasi seksual antara lain berupa homoseksual dan biseksual selain dapat merontokan kondisi ekonomi keluarga berisiko terinsfeksi HIV/AIDS, juga bakal banyak menyedot anggaran negara dalam proses pengadaan obat Antiretroviral (ARV), yang ternyata hanya bisa menekan laju perkembangbiakan HIV di dalam darah.
Lantaran orientasi seksual itu, sangat berisiko terinsfeksi HIV/AIDS. Menyusul homoseksual (Gay ; Laki-laki ke laki-laki, dan perempuan ke perempuan yang banyak di antaranya memiliki faktor resiko akibat penggunaan jarum suntik/penasun).
Kemudian biseksual (laki-laki ke perempuan dan laki-laki ke laki-laki, serta perempuan ke laki-laki dan perempuan ke perempuan).

Sedangkan harga Obat ARV, pada Lini pertama Rp300.000 – Rp350.000 per bulan, disusul Lini kedua Rp1 juta – Rp1,2 juta per bulan, serta Lini ketiga 3.000 dollar AS (Rp 37,97 juta) per tahun.
Maka jika seorang ayah tertular HIV, kemudian sampai masa AIDS dan mengidap penyakit terkait HIV/AIDS: maka dampak yang dialami yaitu besarnya pengeluaran biaya pengobatan, serta perawatan.
Malahan pada kondisi kepala keluarga itu tidak bisa bekerja, dipastikan menjadikan istri beserta anak-anak dengan beratnya beban ekonomi keluarga, harus pula sekaligus mengurus ayah.
Karena itu pula, berpola hidup sehat termasuk tidak berperilaku yang berisiko terinsfeksi HIV/AIDS, merupakan upaya pencegahan lebih baik daripada pengobatan.
Orientasi seksual lainnya, heterokseks, Parafilia, Infantofilia, Paedofilia, Necrofilia, Bestialis, dan Fethihisme.
Sehingga Keutuhan NKRI juga bisa terancam penyalahgunaan peredaran gelap Narkoba, dan HIV/AIDS.
********
Sumber : Intisari presentasi pada pertemuan peningkatan kapasitas jurnalis dalam program “Pencegahan dan Penanggulangan HIV” (P2HIV) di Karang Setra Bandung, Kamis (21/12-2017).