Kamis , 15 June 2017, 06:33 WIB
Red: Muhammad Subarkah
Oleh: Lukman Hakiem*
Di antara kewajiban yang harus ditunaikan oleh umat Islam, ialah mengeluarkan zakat. Di dalam al-Quran, perintah menunaikan zakat, hampir selalu digandengkan dengan perintah menegakkan shalat.
Zakat sendiri terdiri dari zakat harta (mal) yang harus dikeluarkan jika sudah jatuh tempo dan mencapai jumlah tertentu. Zakat yang lain ialah zakat fitrah yang harus dikeluarkan di akhir bulan Ramadhan.
Meskipun setiap tahun umat Islam selalu mengeluarkan zakat fitrah, tiap tahun selalu saja ada yang bertanya mengenai teknis pelaksanaannya, dan para ulama tidak pernah bosan menjawab pertanyaan umat atau memberi keterangan perihal tersebut.
Keterangan Ketua Besar Masyumi
Hadratus Syaikh KH M Hasjim Asj’ari (KH Hasyim Asy’ari, ejaan masa kini), termasuk ulama yang tidak pernah bosan memberi bimbingan ibadah kepada umat.
Di majalah Soeara Moeslimin Indonesia Edisi Lebaran No. 18 Tahoen II, 27 Ramadhan 1363/15 September 2604 (=1944), halaman 4 dan 5, kita dapat membaca “Keterangan Ketoea Besar MASJOEMI Paduka Toean K. H. Hasjim Asj’ari tentang Zakat Fitrah”.
Majalah Soeara Moeslimin Indonesia diterbitkan oleh Madjlis Sjoero Moeslimin Indonesia tiap-tiap tanggal 1 dan 15, dipimpin oleh H. Abd. Moethi.
Di zaman fasisme Jepang, majalah itu dapat terbit sesudah diperiksa oleh Goen-Kenetsoe-Han, dengan seizin Hoodoohaan.Keterangan Hadratus Syaikh K. H. Hasjim Asj’ari yang dimuat di Soeara Moeslimin Indonesia adalah versi yang telah diringkaskan oleh Wakil Ketoea Masjoemi K. H. A. Moe’thi.
Berikut ini keterangan lengkap K. H. Hasjim Asj’ari, dengan penyesuaian ejaan:
1. Bahwa hukumnya Zakat-Fithrah itu WAJIB.
2. Untuk mempastikan wajibnya Zakat-Fithrah bagi seseorang, harus ada dua syarat, yaitu:
I. Harus orang Islam.
II. Harus orang merdeka (bukan budak belian).
III. Ketika matahari terbenam pada penghabisan bulan Puasa (Ramadhan), ia mempunyai bahan mentah dari makanan yang pokok (padi dan sebagainya buat negeri Jawa) lebih daripada persediaan makan buat diri sendiri dan tanggungan-tanggungannya untuk sehari semalam Hari Raya itu.
3. Apabila syarat-syarat di atas tidak penuh bagi seseorang (tentu saja karena sesuatu sebab atau beberapa macam sebab), maka bebaslah ia dari kewajiban Zakat-Fithrah.
4. Jika pada hari wajib berfithrah itu seseorang mempunyai kelebihan bahan makanan mentah hanya sedikit tidak cukup untuk fithrahnya satu orang, maka yang sedikit itulah yang harus difithrahkan untuk dirinya sendiri, demikianlah seterusnya di mana ada kelebihan, yaitu berturut-turut buat istrinya, lalu buat anaknya yang kecil-kecil, lantas buat bapak-bapaknya, ibu-ibunya, sehingga buat anak-anaknya yang telah besar (dewasa) yang memang menjadi tanggungannya.
5. Selainnya madzhab Hanafie, adalah sama-sama menetapkan, bahwa Zakat-Fithrah itu tidak boleh diganti dengan uang harganya itu bahan fithrah.
6. Adapun banyaknya Zakat-Fithrah untuk satu orang ialah 3,145 liter atau 2,719 kilogram beras dan sebagainya.
Daripada Keutamaannya Zakat-Fithrah
a. Untuk meratakan pokok makanan pada itu Hari Raya buat semua orang supaya sama dapat merasakan gembiranya orang berhari raya.
b. Sebagai tebusan buat dosa-dosa kecil yang terbit karena kekecewaan-kekecewaan dari jalannya berpuasa sebulan lamanya itu.
c. Sebagai penyempurnakan kekurangannya per’ibadatan yang bersangkutan dengan puasa.
Mudah-mudahanlah syari’at Islam itu selalu terjaga dan terpelihara dengan baiknya.
Bukan Partai Masyumi
Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) di zaman Jepang adalah pengganti Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI) di zaman Belanda yang tidak boleh lagi eksis di zaman fasisme Jepang.
Masyumi di zaman Jepang ini adalah gabungan empat organisasi Islam, yaitu Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII), dan Perikatan Umat Islam (PUI). Masyumi di zaman Jepang, bukan partai politik.
Sesudah Indonesia merdeka, melalui Kongres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta, dibentuklah sebuah partai politik sebagai wadah perjuangan umat Islam Indonesia untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan.
Untuk nama partai yang akan dibentuk, Dr Abu Hanifah mengusulkan nama “Partai Rakyat Islam Indonesia”. Peserta kongres yang lain, mengusulkan nama “Masyumi”. Alasannya, nama ini –meskipun agak berbau Jepang–sudah akrab di telinga umat.
Melalui pemungutan suara, nama Masyumi lebih banyak mendapat dukungan. Maka partai baru itupun diberi nama Partai Politik Islam Masyumi. Dengan catatan, nama itu bukan lagi singkatan dari Majelis Syuro Muslimin Indonesia.
Jika di dalam Masyumi zaman Jepang, KH M Hasjim Asj’ari memegang amanah sebagai Ketua Besar, di Partai Masyumi Hadratus Syaikh memegang amanah sebagai Ketua Majelis Syuro mendampingi Dr Soekiman Wirjosandjojo sebagai Ketua Umum.
Hadratus Syaikh mengemban jabatan itu, bersama jabatannya sebagai Rois Akbar Nahdlatul Ulama, sampai akhir hayatnya.
*Lukman Hakiem, peminta sejarah, mantan sfat ahli Wapres Hamzah Haz dan M Natsir.
*********
Republika.co.id