Yes to Love, no to Hate!

Yes to Love, no to Hate!

907
0
SHARE
Imam Islamic Cultural Center of New York Shamsi Ali. (ROL).

Ahad , 27 August 2017, 04:30 WIB

Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Shamsi Ali *)

Imam Islamic Cultural Center of New York Shamsi Ali. (ROL).
Imam Islamic Cultural Center of New York Shamsi Ali. (ROL).

Hari Rabu kemarin, 23 Agustus 2017, di kota New York berlangsung sebuah perhelatan besar dengan tema “yes to love, no to hate”. Tema ini merupakan respon langsung terhadap peristiwa kebencian dan kekerasan (hate & violence) yang terjadi di Charlottesville dua minggu lalu. Peristiwa itu menelan nyawa manusia serta luka ke beberapa lainnya. Ada dua komunitas yang menjadi target langsung di tragedi tersebut; Yahudi dan Afro Amerika (warga kulit hitam).

Peristiwa di salah satu kota Virginia itu hanyalah satu dari kasus-kasus kebencian (hate) dan kekerasan (violence) yang dipicu oleh isu ras, dan dibakar oleh tetorika politik Donald Trump yang anti semua kecuali putih. Hampir semua kelompok minoritas menjadi bulan-bulanan rasisme dan kebencian oleh pendukung loyal Donald Trump.

Sejak kampanye hingga terpilihnya, bahkan di saat mulai merancang peraturan-aturan atau perundang-undangan Donald Trump sangat jelas memperlihatkan kecenderungan rasis, minimal kecenderungan mendukung prilaku rasis para pendukungnya.

Mungkin satu bukti nyata dari itu adalah statemen yang dikeluarkan pasca terjadinya kekerasan ras maupun agama di Charlottesville. Memang sempat prilaku kebencian dan kekerasan ras itu. Bahkan Donald Trump menyebut secara khusus kelompok-kelompok teroris putih itu, termasuk KKK, White Nationalist, dan Neo Naziz. Tapi semua itu kemudian menjadi hambar ketika Donald Trump kembali menyerang pihak-pihak yang menjadi korban (minoritas) juga sebagai penyebab.

Bahkan lebih jauh mengatakan bahwa pada kelompok-kelompok radikal putih itu juga banyak orang-orang yang baik. Pernyataan ini jelas membuka watak asli dan kemana posisi Donald Trump dalam menyikapi kebencian dan kekerasan rasisme di negara ini.

Semua pertimbangan di atas itulah yang mendasari sehingga pimpinan agama-agama New York, merasa perlu mengadakan acara pertemuan solidaritas antar pemeluk agama sekota New York. Acara yang diadakan persis depan Central Park itu disponsori oleh lebih 70 organisasi keagamaan. Salah satunya adalah Nusantara Foundation yang sekaligus masuk dalam organisasi pelaksana.

Saya kebetulan sejak awal diminta menjadi pembicara mewakili komunitas Muslim. Salah satu pertimbangannya adalah karena saya yang menjadi pelaksana utama sebuah rally yang dikenal dengan rally “Today I am a Muslim too”.

Juga karena beberapa kegiatan saya yang bersifat lintas agama akhir-akhir ini menjadi rujukan aktifis, khususnya ketika berkenaan dengan tema “building bridges” atau membangun jembatan komunikasi dan kerjasama antar komunitas.

Berhubung karena banyaknya wakil-wakil agama-agama maupun pemerintahan setempat yang harus diakomodir, saya menyampaikan ceramah singkat dengan penekanan bahaya rasisme dalam kehidupan global. Bahwa rasisme adalah musuh dari segala “nilai kemanusiaan” (human values) bahkan ajaran agama-agama (religious teachings).

Pertama, rasisme adalah penyakit bersejarah manusia (makhluk) sejak awal penciptaannya. Kita diingatkan ketika Allah memerintahkan para malaikat untuk melakukan sujud penghormatan kepada Adam. Perintah ini selain sebagai pengakuan Tuhan akan kemuliaan manusia, juga sebagai ujian ketaatan kepada mereka.

Salah satu makhluk yang terikut dengan ujian ketaatan itu adalah Iblis, yang saat itu menjadi makhluk termulia. Betapa tidak, dia bukan malaikat. Tapi dari kalangan jin (kaana minal jinn). Akan tetapi secara kemuliaan dan ketaatannya saat itu dia berada di tingkatan para malaikat. Di sinilah dasarnya kenapa dia ikut terseret dalam ujian besar itu. Dan karena posisi kedekatan dan kemuliaan seperti malaikat itu sang Iblis menolak perintah Tuhan.

Tapi yang menarik adalah ternyata pertimbangan Iblis menolak perintah itu bukan karena pertimbangan ketaatan (al-Qurbah). Tapi lebih kepada perasaan lebih tinggi, terhormat, lebih hebat karena pertimbangan wujud fisik. Dalam bahasa yang dipakai “saya lebih baik baik dari dia (Adam). Engkan menciptakan dia dari tanah, sedangkan saya Engkau ciptakan dari api”. Penilaian diri atas dasar fisik, materi duniawi inilah yang disebut “rasisme”.

Manusia bahkan di abad modern, abad 21 sekarang inipun, jika masih menilai orang lain dengan pertimbangan fisik dan materi duniawi sesungguhnya adalah penganut paham iblisme, musuh nyata manusia, sang penantang kebenaran.

Dua, rasisme adalah antitesis dari akidah monoteisme (tauhid) yang kita yakini. Keyakinan kepada tauhid (laa ilaaha illallah) ini sekaligus bermakna meniadakan superioritas apapun dalam hidup kecuali superiroritas Pemilik Langit dan bumi. Oleh karenanya pekikan Allahu Akbar itu sekaligus reaffirmasi dari keyakinan terhadap superioritas dan supremasi tunggal. Hanya Dia Allah yang memiliki supremasi itu.

Maka dalam keyakinan monoteisme yang benar sekaligus meniadakan supremasi siapapun dan apapun selain Allah. Islam menolak tegas supremasi putih atas hitam, atau sebaliknya supremasi hitam atas kaum putih. Semua manusia memiliki supremasi yang sama sesuai pemberian yang memiliki “supreme supremacy” (Allah SWT).

Inilah yang ditegaskan oleh Rasul Allah 15 abad silam, jaum sebelum Komisi HAM dideklarasikan di Eropa. Bahwa semua manusia itu sama.

“Sungguh kalian punya satu bapak, Adam. Dan Adam itu tercipta dari tanah. Tiada kelebihan orang Arab di atas non Arab. Juga tiada kelebihan non Arab atas orang Arab kecuali karena ketakwaan”.

Tiga, rasisme jelas meruntuhkan konsep keluarga universal manusia yang satu (human family), sekaligus merendahkan diri sendiri. Ayat-ayat Alquran menegaskan bahwa semua manusia datang dari satu keturunan yang sama. Semua manusia diciptakan dari satu asal usul penciptaan (nafs wahidah). Dan semua manusia memiliki sepasang orang tua yang sama: min dzakar wa untsa (Adam dan Hawa).

Oleh karenanya penilaian kepada manusia berdasar warna kulit, ras atau etnis, jelas pengingkaran kepada keluarga sekaligus penghinaan pada diri sendiri. Tentu sebuah paradoks nyata dalam hidup. Memuji diri sendiri seraya merendahkan sesama adalah prilaku paradoks. Karena manusia itu adalah satu keluarga besar.

Empat, rasisme adalah kebodohan yang nyata. Betapa tidak ketika orang-orang rasis itu hanya mampu menilia orang berdasar warna kulit. Sebuah penilalaian yang sempit dan penuh keterbatasan. Kalau saja orang-orang itu punya akal besar dan pemikiran yang luas dan dalam maka mereka tidak akan membatasi penilaian mereka sebatas kulit. Karena sungguh di balik kulit itu, semua manusia memiliki hal yang sama. Darah daging dan tulang belulang semuanya sama.

Kebodohan seperti itulah yang secara halus disebutkan dalam Alquran bahwa yang mampu menangkap kebesaran dan hikmah Allah dalam penciptaan langit dan bumi, serta perbedaan warna kulit dan bahasa hanya orang-orang yang berilmu (alimiin). Dengan kata lain, yang tidak menangkap rahasia itu, bahkan menolaknya adalah bentuk kebodohan yang nyata.

Lima, rasisme itu sejatinya penentangan kepada Tuhan. Betapa tidak, Tuhan sendiri sejak awal memberikan “kemuliaan” kepada setiap anak cucu Adam. “Dan sungguh Kami telah memuliakan anak cucu Adam”, demikian firman-Nya. Oleh karenanya merendahkan siapa saja dari kalangan manusia, apapun alasannya, adalah perampokan yang nyata terhadap pemberian Tuhan kepadanya.

Inilah yang menjadi ungkapan Umar ketika memarahi salah seorang Gubernur Muslim saat itu karena anaknya menyakiti seorang non Muslim di daerahnya. Sebuah teguran keras kepada hamba-Nya yang “Al-farouq”.

Terakhir, rasisme jelas bertentangan dengan semua posisi dan praktek Rasulullah terhadap semua orang di sekitarnya. Bagaimana beliau menempatkan semua sahabatnya secara merata, dengan equalitas yang sama. Bilal diperlakukan sama dengan Abu Bakar, Salman dengan Umar, Ali dengan Ammar, dan seterusnya.

Memang membingunkan, bahkan kita hidup dalam sebuah paradoks yang nyata. Di abad yang dianggap berkemajuan (advance), di abad yang berperadaban (civilized) tapi prilaku manusia semakin jauh dari nilai-nilai yang dibanggakan itu.

Bandingkan pemimpin sebuah bangsa di Afrika di abad keenam saat itu, jauh lebih beradab ketimbang banyak pemimpin dunia di abad modern saat ini. Pemimpin Habasyah di Afrika atau modern Ethiopia saat ini jauh lebih berkarakter dan beradab ketimbang sebagian pemimpin yang justeru sebaliknya memperlihatkan karakter rasis saat ini. Sedih, tapi itulah realitanya!

New York, 25 Agustus 2017

*) Presiden Nusantara Foundation

*******

Republika.co.id

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY