Yang Mulia

Yang Mulia

724
0
SHARE

Putu Setia

Garut News ( Ahad, 11/05 – 2014 ).

Ilustrasi. (Foto: John Doddy Hidayat).
Ilustrasi. (Foto: John Doddy Hidayat).

Yang mengesankan dari kesaksian Wakil Presiden Boediono di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat lalu, adalah cara dia menyapa hakim dan jaksa.

Boediono, sebagaimana layaknya para terdakwa dan saksi dalam persidangan yang lain, menyebut “Yang Mulia”.

Berbeda dengan mantan wakil presiden Jusuf Kalla, yang cukup menyapa hakim dan jaksa dengan “Bapak” atau “Pak”.

Apakah Jusuf Kalla terpengaruh lagu dangdut: “Bapak hakim dan bapak jaksa, tolonglah….”

Bagaimana seharusnya menyapa para hakim dalam persidangan?

Saya pernah berbincang-bincang dengan seorang pakar hukum (dan teman itu, alhamdulillah, pernah menjadi Menteri Hukum dan HAM).

Dia menyebutkan, hakim dalam sidang harus disapa “Yang Mulia”.

Dengan pakaian kebesaran itu, hakim adalah “wakil Tuhan”.

Keputusan hakim selalu membawa-bawa nama Tuhan.

Semua orang harus hormat kepada hakim.

Kalau di luar sidang mau disapa “Mas”, “Bapak”, “Bung”, “Kakak”, terserah.

Diajak bercanda juga bisa.

Artinya, kita menghormati simbol.

Saya pernah ikut mengecam seorang teman ketika ia ditangkap karena membakar gambar Presiden Yudhoyono yang persis sebagai simbol kepala negara.

Sepanjang presiden itu masih sah, adalah penghinaan membakar fotonya.

Sebaliknya, saya pernah membela sebuah kelompok yang dituduh menginjak-injak bendera Merah Putih, padahal yang diinjak itu kain merah dan kain putih yang membentang semrawut.

Itu bukan bendera, karena bendera kebangsaan adalah simbol yang jelas perbandingan ukuran panjang dan lebar maupun porsi merah dan putihnya.

Kalau semua warna merah dan putih yang bersanding dianggap “bendera”, tim nasional PSSI tak boleh bercelana putih dan berbaju merah, karena “bendera” itu kadang dijatuhkan dan dilecehkan.

Dulu, sewaktu saya kecil, masyarakat sangat menghormati simbol.

Polisi yang berpakaian seragam pun dianggap simbol negara.

Saat itu ada polisi di desa yang bertengkar dan lawannya meminta, kalau mau tanding, buka dulu baju seragam.

Alasannya, berkelahi melawan polisi berseragam berarti melawan aparat negara, berarti memusuhi negara.

Kalau polisi berseragam saja dihormati, apalagi presiden.

Bukankah menyapa Presiden Soekarno tak boleh sembarangan?

Di kelas II SMP, ketika akan ikut menyambut kedatangan presiden, saya dimarahi guru karena menulis dalam poster “Selamat Datang Bapak Presiden Soekarno”.

Harus ada kata PJM di depan kata “bapak”.

Apa itu PJM?

Paduka Jang Mulia.

Foto resmi presiden ketika itu tertulis “PJM Soekarno, Presiden RI”.

Siapa yang tahu sejarahnya kenapa anggota DPR disapa “Yang Terhormat”?

Karena mereka mewakili rakyat.

Kalau mereka tak diberi predikat “terhormat”, seluruh rakyat jadinya tidak terhormat.

Sampai sekarang pun sebutan itu muncul dalam forum resmi, meski kita tahu sudah sekian banyak anggota DPR yang ditahan karena korupsi.

Presiden dan wakil presiden, walau tak lagi dengan sapaan Paduka Yang Mulia, tetaplah simbol negara.

Ke mana-mana dikawal secara kenegaraan.

Jangankan masih menjabat, baru jadi calon presiden saja dikawal.

Coba lihat sebentar lagi, Jokowi pasti dikawal, suka atau tak suka.

Berlebihan jika ada yang mengecam Boediono karena dikawal pasukan resmi ketika menjadi saksi di Pengadilan Tipikor.

Yang dikawal bukan Boediono sebagai orang Yogya, melainkan simbol kenegaraan.

Dan jika dalam sidang Boediono menyebut hakim dengan “Yang Mulia”, itu bukan merendahkan jabatan wakil presiden, melainkan karena hakim simbol pengadil di dunia ini, “mewakili” Pengadil Maha Tinggi.

Mari kita hormati simbol-simbol kenegaraan, untuk menghormati negara kita.

******

Tempo.co

SHARE
Previous articleKota-kota di Indonesia Memanas
Next articleCaraka

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY