Selasa , 29 Agustus 2017, 11:55 WIB
Red: Agung Sasongko
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Oleh: Mahmud Yunus
Secara formal, ibadah haji yang telah ada sejak Nabi Ibrahim AS, diwajibkan kepada Nabi Muhammad SAW pada 6 Hijriyah. Namun, beliau dan sahabat-sahabatnya belum bisa melaksanakannya karena Makkah masih dikuasai kaum musyrik.
Kesempatan untuk melaksanakan ibadah haji baru didapatkan setelah beliau menguasai atau menaklukkan Makkah (Fath Makkah) pada 8 Hijriyah. Kenyataannya, beliau dan sahabatnya belum bisa melaksanakannya pada 8 Hijriyah bahkan, 9 Hijriyah pun belum bisa.
Pada 10 Hijriyah, barulah beliau dan sahabat-sahabatnya dapat melaksanakan ibadah haji. Selang tiga bulan berikutnya, beliau meninggal dunia. Peristiwa ibadah haji beliau dan sahabat-sahabatnya tersebut populer dengan sebutan hajji wada’ (haji perpisahan).
Dengan demikian, sebagaimana diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, beliau hanya melaksanakan ibadah haji satu kali, kendati kesempatan untuk melaksanakannya datang tiga kali.
Nabi Muhammad SAW juga hanya melaksanakan umrah empat kali; satu kali umrah wajib bersama haji dan tiga kali umrah sunah, kendati kesempatan untuk melaksanakannya datang ratusan atau ribuan kali.
Menurut Ali Mustafa Ya’qub, ibadah haji termasuk kategori ibadah qashirah, yaitu ibadah individual yang manfaatnya hanyadirasakan oleh diri sendiri. Andaikata ibadah haji dan umrah berulang-ulang itu baik dan bahkan dianjurkan oleh agama, niscaya sebagai teladan (uswah hasanah) sejati beliau telah lebih dahulu mencontohkannya.
Lebih lanjut dikatakannya, ternyata beliau tidak melaksanakan haji berulang-ulang. Beliau justru lebih gemar melaksanakan ibadah muta’addiyah, yaitu ibadah sosial yang manfaatnya dirasakan oleh pihak lain, seperti menyantuni anak yatim/piatu, membantu saudaranya yang kesulitan, dan seterusnya.
Dalam salah satu riwayat Muslim dikemukakan, menemui Allah tidak serta-merta dengan mengunjungi Baitullah berkalikali. Lantaran Allah dapat ditemui juga di sisi orang yang sakit, orang yang kelaparan, orang yang terpinggirkan, dan lain-lain. Realitasnya, tidak sedikit orang yang pergi ke Baitullah bukan semata-mata untuk mencari keridhaan Allah, melainkan justru membawa motivasi keduniaan.
Nabi Muhammad SAW mengisyaratkan, Akan datang suatu masa bagi manusia, orang yang elite (kaya) dari umatku pergi haji untuk wisata/rekreasi, yang menengah untuk dagang/bisnis, yang ulama untuk pamer atau popularitas, dan yang fakir untuk meminta-minta.(HR Al-Khatib al-Baghdadi dan Ad-Dailami).
Saat Wukuf di Arafah, beliau menyampaikan khutbah yang isinya antara lain, pertama, agar bertakwa kepada Allah dan menaati-Nya. Kedua, agar memperhatikan haramnya darah dan harta kaum Muslim sehingga mereka menjumpai Tuhannya.
Ketiga, agar menyampaikan amanah kepada mereka yang berhak. Keempat, agar memperhatikan hak istri dan hak suami. Kelima, agar berpedoman kepada Alquran dan Sunah sehingga tidak tersesat. Keenam, agar tidak kembali kepada kekufuran.
Ketujuh, agar membagikan harta warisan sesuai dengan ketentuan dari Allah. Semoga wasiat terakhir Rasulullah tersebut dapat kita jadikan pelajaran berharga.
********
Republika.co.id