Wajah Ibu Pertiwi

Wajah Ibu Pertiwi

1186
0
SHARE
Asma Nadia. (Daan Yahya/Republika).

Sabtu , 15 April 2017, 06:00 WIB

Red: Maman Sudiaman

Oleh : Asma Nadia

 Daan Yahya/Republika

Asma Nadia. (Daan Yahya/Republika).

REPUBLIKA.CO.ID, Kulihat ibu pertiwi – Sedang bersusah hati – Air matanya berlinang…

Kupandangi raut Ibu Pertiwi dalam-dalam.

Menyaksikan kemuramannya, aku pun mengajukan pertanyaan. Apa yang membuatnya tampak begitu terpukul? Dengan kedukaan pekat, ia mulai bercerita.

Sebuah kisah bermula di tahun 2001.

Putra bangsa, anaknya, pulang ke rumah menyodorkan nilai 1,9 pada ujian mata pelajaran bebas korupsi. Dengan kata lain, dari 10 soal, permata hatinya hanya bisa menjawab kurang dari dua pertanyaan saja. Sedangkan 8,1 sisanya salah.

Salah siapa? Salah guru? Salah sekolah? Salah sistem pendidikan? Salah peradaban?

Jika salah guru atau sistem, tentu semua siswa memperoleh nilai buruk. Tapi ternyata enam teman di sekolah internasional mengantongi nilai sembilan ke atas. Mereka Finlandia (9,9), Denmark (9,5), Selandia Baru (9,4), Islandia (9,2), Singapura (9,2), dan Swedia (9,0).

Tujuh kawan meraih nilai di atas delapan, yaitu Kanada (8,9), Belanda (8,8), Luxemburg (8,7), Norwegia (8,6), Australia (8,5), Swiss (8,4), dan Inggris (8,3).

Sembilan lainnya Hong Kong, Austria, Israel, USA, Chili, Irlandia, Jerman, Jepang, dan Spanyol meraup angka di atas tujuh. Sedangkan Perancis, Belgia, Portugal, serta Botswana mendapat di atas enam. Berarti ada dua puluh enam siswa yang memperoleh nilai bersih.

Sisanya, enam puluh teman mendapat nilai merah, tapi masih di atas dua. Hanya empat anak mengantongi di bawah dua, termasuk Indonesia.

Sang putra bangsa berada di posisi keempat terbawah dari sekitar sembilan puluh siswa.

Artinya bukan tatanan masyarakat yang salah, tapi putranya sendiri yang bermasalah. Panjang lebar cerita Ibu Pertiwi. Diselingi helaan napas berat, ia pun melanjutkan. Pada tahun 2002 ia membuat KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) agar nilai anaknya meningkat di bidang kebersihan korupsi.

Sayang, hasilnya, jauh dari harapan.

Sepuluh tahun berlalu, pada 2012 nilai rata-rata anak bangsa meningkat sedikit sekali menjadi 3,2, tahun 2012 tetap 3,2, tahun berikutnya meningkat menjadi 3,4, 3,6 dan tahun 2016 mencapai rata-rata 3,7 saja. Air mata Ibu Pertiwi yang merinai, membuatku terus mengikuti penuturannya.

Menurutnya setelah 15 tahun, putra bangsa masih terjerumus di dalam rapor merah, walau jauh lebih baik dibanding tahun 1995 saat Indonesia menempati posisi negara terkorup di dunia.

Wajar sang Ibu Pertiwi bersedih akibat korupsi tak berhenti menggerogoti dirinya.

Setelah perlahan kaki dan tangan sang Ibu masih mampu sedikit bergerak untuk mendidik putranya supaya hidup bersih dari korupsi, mendadak sebuah serangan terjadi.

Seorang anggota KPK bernama Novel Baswedan, yang menyidik berbagai masalah korupsi besar, disiram air keras oleh orang tidak dikenal yang diduga sudah cukup lama mengintai. Penyerangan terhadap penyidik KPK itu berlangsung justru pada momen ibadah, sepulang shalat Subuh berjamaah. Dan ini bukan pertama kali. Tahun 2016 penyidik KPK tersebut pernah ditabrak dengan sengaja ketika sedang mengendarai motor hingga terluka.

Peristiwa ini mengingatkan kembali ancaman demi ancaman yang menimpa penyidik KPK lainnya. Pada 2015, mobil penyidik KPK Afief J. Miftah juga pernah disiram air keras dan ban mobilnya ditusuk hingga bolong. Sebelumnya, tahun 2011 seorang penyidik KPK Dwi Samayo ditabrak saat mengendarai sepeda motor hingga kakinya retak.

Selain itu ancaman bom juga pernah menimpa KPK di tahun 2008, termasuk ancaman langsung terhadap ketua KPK Antasari Azhar. Tapi satu yang paling memperlambat kinerja KPK adalah ketika petinggi KPK diperkarakan dalam kasus yang masih abu-abu.

Terlalu banyak luka, untuk membuat bangsa ini menjadi lebih baik. Aku mengerti kenapa Ibu Pertiwi bersedih.

Lima belas tahun bukan waktu sebentar.

Tapi belum banyak yang berubah.

Ingin rasanya mengajak seluruh anak bangsa bergegas membersihkan diri agar Ibu Pertiwi tak lagi bersusah hati.

Sayangnya, lagu ini masih terdengar miris sama seperti saat diciptakan berpuluh tahun lalu.

Hutan, gunung, sawah, lautan – simpanan kekayaan… kini pun menjadi milik asing!

Terlalu banyak kisah muram. Mustahil memadamkan pendar kesedihan Ibu Pertiwi yang terus terdengar bahkan saat malam tiba. Akankah suatu hari dendangnya berubah?

… Kini ibu sedang lara – Merintih dan berdoa…

********

Republika.co.id

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY