Jumat , 19 May 2017, 15:47 WIB
Red: Agung Sasongko
Oleh: Muharom Ahmad*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — ‘’Jangan pernah lupakan Serbenica!’’ Ucapan ini dikatakan berulangkali oleh peminat sejarah asal Belanda sesampainya bus yang membawa rombongan ‘Tour Klasik Himppuh ke Balcan’ sampai di Serbenica.
Hasan yang mengaku sempat tinggal di kawasan Serbenica pada masa konflik yang membunuh 250 ribu orang itu, berkata dengan penuh emosional. Perkataannya yang semula lancar kini tersendat. Kerongkongannya terasa tersumbat dan kedua matanya berurai air mata. Dia mengaku hatinya hancur kembali ketika mengingat kembali kebrutalan tentara Serbia terhadap warga Muslim Bosnia.
‘’Tak hanya Hasan, Pak Baluki (Ahmad Baluki/Ketua Umum Himpuh) yang semula duduk di dekat Hasan memilih pindah duduk di bagian belakang karena tak kuasa menahan haru. Hasan menceritakan pembantaian itu seperti memberikan narasi adaegan film. Melalui intonasi dan pilihan kata serta sembari memerlihatkan detil suasana semua penderitaan itu seperti hadir secara nyata. Akibatnya, semua orang yang ada di dalam bus itu pun menangis haru,’’ kata Wakil Ketua Himpuh, Ahad Muharom, ketika menceritakan kembali perjalannya kepada Republika.co.id, Jumat (19/5).
Di antara seluruh peristiwa pembantaian warga Bosnia, wilayah Serbenica merupakan yang paling tragis terkena pembantaian. Apalagi wilayah itu sejak April 1995 sudah dinyatakan sebagai ‘safe zone (wilayah aman) oleh pihak Persatuan Bangsa Bangsa (PBB). Wilayah itu pun sudah dijaga langsung oleh 400 pasukan pasukan perdamaian yang berasal dari Belanda.
Namun faktanya, meski sudah dinyatakan sebagai ‘safe zone’ mereka tak kuasa menahan serbuan tentara Serbia yang datang dan dipimpin Ratcko Mladik. Tanpa melalui pertempuran dan hanya dengan gertakan dari Mladik yang membawa ribuan pasukan dan bersenjata lengkap, nasib ribuan pengungsi diserahkan kepadanya. Komandan pasukan Belanda yang menjaga kamp itu pasrah dengan tekanan Mladik agar semua ‘urusan diserahkan kepadanya’.
Setelah di serahkan kepada tentara Serbia, maka para pengungsi dipisahkan. Para pengunsi pria dewasa dan anak-anak laki-laki yang berusia di atas 8 tahun di bawa dengan truk pergi ke area perbukitan yang ada di sekeliling wilayah Serbenica untuk dibantai. Sementara perempuannya, terutama yang masih tertinggal di rumah-rumah, mereka perkosa tanpa kecuali.
Maka dalam waktu singkat, yakni selama tiga hari, mulai dari 11 hingga 13 Juli 1995, tercatat 837 warga Muslim Bosnia dibantai oleh tentara Serbia pimpinan Jendral Ratko Mladaik. Sebanyak 800 orang perempunnya saat itu diperkosa.
Di lokasi pembantaian, dekat sungai Drina, korban berbaris tiap empat orang sebelum ditembak mati. Mayat-mayat korban kemudian dimakamkan secara massal, dengan proses kasar. Maka ketika kuburan masal itu digali oleh para pelaku tak lama setelah perang usai munculnya pemandangan yang mengerikan.
Sisa-sisa pakaian dan tubuh yang telah rusak ditemukan terpisah-pisah. Jasad mereka lalu dipindahkan dalam sebuah area pemakaman masal.
Kebrutalan pembantaian warga Muslim Bosnia itu diceritakan Hasan Hasanović yang saat itu baru menginjak usia dewasa. Dia tinggal di desa Sulice, Bosnia, 35 kilometer selatan Srebrenica. ‘’Pembantaian yang tiada katanya. Semuanya sudah saya tulis di buku saya: Surviving Bosnia,’’ kata Hasan.
Menurut Hasan, ketika Perang Bosnia dimulai pada bulan Maret 1992, kota-kota di timur negara tersebut mendapat serangan dari pasukan Serbia Bosnia. Pada bulan Mei, keluarga Hasan terpaksa pindah ke daerah kantong Muslim yang berada di sekitar kota Srebrenica, yang menjadi “Kawasan Aman” pertama yang disebut Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan April 1993.
Pada saat itu, lanjut Hasan, daerah kantong Srebrenica dikepung, terputus dari wilayah yang bersahabat ke barat dan dipenuhi oleh sekitar 60.000 orang, terutama pengungsi Muslim seperti Hasan dari daerah sekitarnya. Tidak ada listrik, makanan yang sangat sedikit, dan orang-orang dibunuh setiap hari oleh tembakan artileri Serbia.
Daerah kantong Srebrenica jatuh ke pasukan Serbia Bosnia pada tanggal 11 Juli 1995. Tanpa terhalang oleh kehadiran penjaga perdamaian PBB Belanda, orang-orang Serbia memulai pembantaian lebih dari 8.000 pria dan anak-anak Muslim Bosnia, pembantaian terburuk di Eropa sejak Holocaust.
Hasan tahu keadaan itu saat mendengarkan laporan dari garis depan di mana para pengungsi mengharapkan masyarakat internasional untuk masuk dan melindungi mereka. Tapi dia pun terkejut ketika juga mendengar bahwa pasukan PBB mundur tanpa memberikan perlawanan.
Maka, Hasan, bersama ayahnya Aziz dan saudara kembar Husein, memutuskan untuk melarikan diri melintasi pegunungan bersama rombongan pengungsi lainnya yang saat itu sudah mencapai 10.000 hingga 15.000 orang. Mereka melarikan dengan berjalan 100 kilometer menuju kota Tuzala yang saat itu masih dikuasai tentara Muslim Bosnia.
‘’Banyak pengungsi di antara kami yang non Muslim Tapi tentara Serbia hanya menargetkan kami yang Muslim. Kami melarikan diri untuk menyelamatkan hidup. Mereka (Serbia) memang mengingkan kami mati,’’ kata Hasan.
Setelah berjalan secara menyelinap selama lima hari enam malam, Hasan bersama para rombongan pengungsi sampai sebuah wilayah yang benar-benar sudah dikasai pasukan Muslim Bosnia. Tentu saja Kedatangan mereka disambut suka cita.
“Makanan dan air minum mereka terima.. Para pengungsi dengan menggunakan bus di bawa menuju ke sebuah tempat perlindungan sementara yang menggunakan gedung sekolah rusak. Setelah semalam tidur, keesokan paginya para para pengungsi dibawa ke Tuzla. Kami pun selamat dari pembantain,’’ kata Hasan.
Setelah perang usai, penderitaan Muslim Bosnia kian nyata. Bahkan banyak di antara mereka mengalami masa trauma psikis yang berkepanjangan. Semua massa hidup mereka sebenarnya sudah berhenti pada tanggal terjadinya pembantaian yakni 12 Juli 1945.
‘’Pascaperang, ada relawanan psikiater Spanyol yang datang membantu. Mereka mencoba melakukan penyembuhan terhadap jiwa para pengungsi yang dirusak oleh perang dan pembantaian. Selain membantu memulihkan jiwa, para psikiater melakukan penelitian. Hasilnya, mereka menyimpulkan derita yang dialami mereka sangatlah luar biasa. Namun hebatnya, bila orang lain pada bunuh diri, para pengungsi itu begitu tabah menerimanya,’’ kata Hasan.
Dari kisah relawan lainnya, tak hanya soal kematian dan pembantaian yang mendatangkan derita hidup, imbas persoalan perkosaan kini terus menjadi masalah. Banyak sekali perempuan yang diperkosa kemudian hamil dan melahirkan anak. Celakanya, ketika anak itu lahir mereka kerap mendapat perlakuan pejoratif sebagai ‘anak yang tidak diharapkan kelahirannya.
Terkait hal ini, Baluki Ahmad mengatakan banyak warga Muslim dari berbagai negara yang kemudian ingin membantunya dengan mengadopsi anak tersebut. Namun, ini susah dilakukan karena khawatir anak-anak itu akan diperdagangkan.
‘’Saya pernah meminta melalui OKI dan PBB untuk dapat mengadopsi anak-anak tersebut. Tapi tidak pernah berhasil atau mendapatkan izin. Jadi memang penderitaan Muslim di perang Bosnia, khususnya Serbenica, sangatlah luar biasa. Maka janganlah sekali kali lupakan kisah pembantaian ini yang oleh Muslim Bosnia kerap disebut dilakukan oleh ‘Nazi Serbia’,’’ kata Baluki.
*Muharom Ahad, penulis dan Wakil Ketua Himpuh.
********
Republika.co.id