Senin , 17 April 2017, 06:00 WIB
Red: Maman Sudiaman
Oleh : Ikhwanul Kiram Mashuri
REPUBLIKA.CO.ID, Rusia pada Rabu lalu kembali menggunakan hak vetonya untuk membela rezim Presiden Bashar Assad. Veto tersebut merupakan yang kedelapan kalinya dalam enam tahun sejak muncul krisis di Suriah. Kali ini veto Rusia itu untuk mementahkan rancangan resolusi guna mengecam serangan senjata kimia yang dilancarkan rezim Assad di Khan Syaykun, Idlib, Suriah, beberapa hari lalu. Senjata gas beracun itu telah menewaskan 87 warga, sebagian besar anak-anak dan perempuan.
Veto Rusia itu hanya mendapat dukungan dari satu negara anggota DK PBB lainnya, yaitu Bolivia. Sementara itu, Cina Etiopia, dan Kazakhstan memilih abstain. Sedangkan sepuluh anggota yang lain, termasuk Amerika Serikat (AS), Prancis, dan Inggris mendukung resolusi.
Dengan veto ini, maka status serangan gas beracun yang diduga dilancarkan rezim Suriah itu menjadi status quo. Dalam arti, Lembaga Pemeriksa Senjata Kimia PBB tidak bisa menginspeksi keterlibatan rezim Assad dalam serangan dengan gas beracun itu. Sementara itu, balasan AS yang meluncurkan 59 rudal Tomahawk ke Pangkalan Udara Shayrat di Provinsi Homs, Suriah, juga dinilai ilegal. Pangkalan ini diduga merupakan tempat serangan senjata kimia berasal.
Bagi Gedung Putih, ‘kegilaan’ rezim Assad harus dihentikan. Presiden Assad harus dilengserkan. Menurut Presiden Donald Trump, keberadaan rezim Assad telah menyebabkan konflik berkepanjangan. Hingga kini konflik Suriah telah menewaskan lebih dari 400 ribu warga dan menyebabkan separuh penduduk Suriah mengungsi.
Sebaliknya, veto Rusia hingga delapan kali hanya dalam enam tahun jelas menunjukkan rezim Assad adalah ‘segalanya’ buat Moskow. Mendukung rezim Assad dianggap pintu masuk Rusia untuk kembali mencengkeramkan pengaruhnya di kawasan Timur Tengah. Pengaruh yang telah lama hilang sejak Uni Sovyet bubar dan berganti dengan Federasi Rusia. Menurut Presiden Vladimir Putin, persoalan utama Suriah bukan dengan melengserkan Presiden Assad, tapi bagaimana menghabisi kelompok-kelompok oposisi bersenjata dan para teroris.
Urusan veto memveto, Rusia ternyata memang jagonya. Terhitung sejak diberlakukan hak veto pada 1945, Rusia telah menggunakannya sebanyak 123 kali. Namun, hak veto ini bukan terarti menopoli Rusia. AS telah menggunakakan hak veto hingga 76 kali, Inggris 32 kali, Prancis 18 kali, dan Cina tujuh kali. Rusia masih yang terbanyak memakai hak veto. Terutama ketika sedang berlangsung Perang Dingin dengan Blok Barat.
Menteri Luar Negeri Uni Sovyet saat itu sampai dikenal sebagai ‘Mr No’, lantaran seringnya menggunakan hak veto. Namun, setelah Uni Sovyet bubar dan berganti menjadi Federasi Rusia, negara itu hanya empat kali menggunakan hak veto hingga muncul krisis politik dan keamanan di Suriah.
Negara berikutnya yang sering menggunakan hak veto adalah AS, yakni 76 kali. Sejumlah 45 di antaranya digunakan untuk membela kepentingan Zionis Israel. Dari veto untuk menolak mengutuk kejahatan, kekerasan, dan pembunuhan yang dilancarkan Israel terhadap rakyat Palestina, menolak mengutuk kekerasan dan perusakan terhadap Masjidil Aqsa, veto yang mengecam dan menyerukan pemberhentian pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina, veto yang menuntut Israel menarik diri dari wilayah Palestina, hingga veto yang menolak mengutuk Israel dalam perang melawan Lebanon dan menyerang Gaza.
Dengan seringnya penggunaan hak veto — baik oleh Rusia maupun AS –, banyak pihak yang kemudian justeru pesimis dengan perdamaian dunia. Padalah hak veto itu diberikan kepada lima negara anggota tetap DK PBB dimaksudkan untuk menciptakan perdamaian dunia. Saking pesimisnya, nada-nada sumbang pun sering terlontar manakala DK PBB bersidang. ‘’Untuk apa ada sidang DK PBB? Paling akan ada veto lagi dan veto lagi. Capek deh…’’ Begitulah kira-kira istilah gaulnya.
Lihatlah, Israel yang merasa didukung AS kini semakin merajalela untuk mencengkeram wilayah-wilayah Palestina yang didudukinya. Pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina terus berlanjut. Juga perusakan-perusakan terhadap kompleks Masjidil Aqsa dan yahudisasi identitas Islam dan Arab di wilayah Palestina. Bahkan kemerdekaan bangsa Palestina dan perdamaian di Timur Tengah juga semakin jauh panggang dari api, dengan adanya hak veto lima negara anggota tetap DK PBB.
Setali tiga uang adalah yang terjadi di Suriah. Dengan seringnya penggunaan hak veto oleh Rusia, termasuk veto yang mengutuk serangan dengan senjata kimia, kekuasaan Presiden Assad pun tak tergoyahkan. Itu artinya penderitaan yang semakin panjang bagi rakyat Suriah.
Kata veto berasal dari bahasa Latin. Secara harfiah artinya ‘saya tidak setuju dengan’ atau ‘saya tidak setuju dan mengkritik’. Istilah ini mulai populer setelah Perang Dunia II berakhir dan terbentuk PBB. Dari sini kemudian lahir DK PBB yang berperan sebagai lembaga mekanisme pengambil keputusan penting dan menentukan di tubuh PBB untuk menciptakan perdamaian dunia.
Lima anggota tetap DK PBB pun ditentukan. Yaitu Rusia (dulu Uni Sovyet), Cina, Prancis, Inggris, dan AS. Keanggotaan mereka ‘abadi’. Merekalah yang mempunyai hak veto untuk mementahkan sebuah rancangan resolusi.
Selain lima negara anggota tetap,masih ada 10 negara anggota tidak tetap DK PBB. Sepuluh negara ini dipilih oleh sidang Majelis Umum PBB secara bergilir untuk masa dua tahun. Mereka mewakili beberapa kawasan regional. Negara anggota tidak tetap DK PBB ini tidak mempunyai hak veto. Alias elok-elok bawang. Hanya pelengkap penderita. Peran mereka hanya sebatas figuran.
Sebagai misal, bila sebuah rancangan resolusi disidangkan untuk mendapatkan persetujuan dari DK PBB, namun ada satu negara anggota tetap menolak, maka resolusi itu pun tidak berlaku. Alias batal demi hukum, meskipun 14 anggota DK PBB lainnya akur menyetujuinya.
Banyak pemimpin dunia yang menyerukan untuk mereformasi atau mengubah sistem dan keanggotaan di DK PBB. Mereka menilai sistem dan keanggotaan DK PBB sudah usang. Tidak sesuai dengan perkembangan zaman, tidak adil, dan tidak pantas untuk sebuah pengambil keputusan penting di lembaga seperti PBB.
Di antara tokoh tokoh yang menyerukan reformasi di tubuh PBB, terutama DK, adalah Presiden Soekarno pada tahun 1960-an, Dr Mahathir Mohammad, dan terakhir almarhum Raja Abdullah bin Abdul Aziz pada 2013. Bahkan Raja Saudi yang kini digantikan Raja Salman itu menolak keanggotan negaranya di DK PBB ‘sampai ada reformasi atau perbaikan yang memungkinkan lembaga internasional itu memikul kewajiban dan tanggung-jawabnya menjaga dan menciptakan perdamaian dan keamanan dunia’.
Masalah Palestina misalnya, sudah lebih dari 60 tahun tanpa ada solusi yang adil dan abadi. Akibatnya, bangsa Palestina terus menderita berkepanjangan dan mendapatkan perlakuan keji Zionis Israel. Yang terbaru, DK PBB juga dinilai gagal untuk menyelamatkan bangsa Suriah dari kesewenang-wenangan rezim Presiden Bashar Assad. Pun lembaga internasional itu dianggap gagal menumpas gerakan kelompok-kelompok teroris.
Sikap saudi saat itu mendapatkan dukungan dari banyak negara, namun lantaran lima negara anggota tetap DK PBB menolak, maka tuntutan reformasi di tubuh PBB pun gagal. Penyebabnya apalagi kalau bukan kepentingan lima negara itu untuk tetap mengangkangi berbagai kawasan dunia.
Jadi, selama belum ada reformasi dan perbaikan di tubuh PBB, terutama di DK, jangan harap akan tercipta perdamaian dan keamanan dunia. Setiap ada sidang DK PBB, akan semakin banyak pihak yang berkomentar negatif, ‘’Veto lagi veto lagi, capek deh…
*******
Republika.co.id