UU Pemilu Baru Belum Mampu Hadirkan Pemerintahan Efektif

UU Pemilu Baru Belum Mampu Hadirkan Pemerintahan Efektif

761
0
SHARE
Ubedilah Badrun. (istimewa).

Selasa , 01 Agustus 2017, 05:03 WIB

Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Ubedilah Badrun *)

Ubedilah Badrun. (istimewa).
Ubedilah Badrun. (istimewa).

DPR telah mengesahkan RUU Pemilu menjadi UU Pemilu pada Jumat (21/7) lalu. Di antara lima isu, ada dua isu penting yang ada dalam undang-undang tersebut yang berpengaruh terhadap hadir dan tidak hadirnya pemerintahan yang demokratis dan efektif. Dua isu penting yang saya maksud adalah Presidential Threshold dan Parliamentary Threshold.

Presidential Threshold dalam undang-undang tersebut disebutkan sebesar 20 persen atau 25 persen. Maknanya calon Presiden dapat diusung oleh partai atau koalisi partai yang memiliki 20 persen perolehan kursi di DPR, atau 25 persen perolehan suara pemilu legislatif tingkat nasional.

Menurut sejumlah pernyataan anggota koalisi pendukung pemerintah, ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold ini penting untuk mendapatkan calon presiden berkualitas dan membentuk pemerintahan yang efektif. Benarkah?

Jika undang-undang pemilu ini yang berlaku, maka presidential threshold untuk Pemilu 2019 yang akan datang mengacu pada hasil Pemilu 2014 (ini aneh dan memungkinkan digugat ke MK), maka tidak ada satu pun partai yang bisa mengajukan calon presiden sendirian, karena berdasarkan hasil pemilu 2014 tidak ada satupun partai yang mendapat kursi 20 persen atau suara nasional 25 persen. Mereka harus melakukan koalisi, dan koalisi ini dipastikan adalah koalisi pragmatis transaksional.

Faktanya, pemerintahan saat ini (Jokowi-JK) proses pencalonanya pada 2014 lalu menggunakan presidential threshold yang sama dan hasilnya lebih dari dua tahun pemerintahanya justru berjalan tidak efektif. Terus-menerus dirundung masalah konflik kepentingan, diwarnai reshufle kabinet beberapa kali, dan situasi ekonomi yang belum juga pulih, bahkan indeks kedalaman kemiskinan pada 2017 ini mencapai 1,83.

Naik dibanding tahun lalu yang hanya 1,74. Kalau indeks kedalaman (kemiskinan) naik, maka tingkat kemiskinan semakin dalam.Tahun 2017 ini gini rasio Indonesia mencapai 0,393 dan jumlah penduduk miskin mencapai angka 27,7 juta jiwa (sumber: BPS,2017).

Dalam hazanah ilmu politik, ketika pemilu (legislatif eksekutif) dilaksanakan serentak dan berniat untuk menghadirkan pemerintahan yang demokratis, berkualitas dan efektif kuncinya justru bukan di Presidential threshold tetapi ada pada parliamentary threshold (ambang batas parlemen).

Sebab, ambang batas parlemen inilah yang akan menentukan berapa jumlah partai yang akan lolos ke parlemen, termasuk berapa warna ideologi dan kepentingan yang ada di parlemen. Semakin sedikit jumlah partai yang lolos di parlemen maka semakin sedikit warna ideologi dan kepentingan di parlemen. Ini akan mempengaruhi efektivitas pemerintahan karena terkait dukungan mayoritas di parlemen.

Untuk sampai pada wajah parlemen (DPR) yang suara mayoritasnya memberikan dukungan pada pemerintah sehingga pemerintah dapat bekerja efektif mencapai tujuan pemerintahanya maka angka parliamentary threshold (ambang batas parlemen) yang pas untuk negara yang heterogen seperti Indonesia idealnya minimal 6 sampai 7 persen.

Dengan angka ini maka kemungkinan partai yang mendapat kursi di DPR antara 4 sampai 5 partai saja. Ini cukup untuk menghadirkan dukungan parlemen yang memperkuat pemerintahan yang mampu bekerja efektif.

Jika pemilu dilaksanakan serentak dengan parliamentary threshold 6-7 persen maka kemungkinan besar kita akan mendapatkan Presiden dengan dukungan rakyat mayoritas dan parlemen mayoritas. Dengan hasil ini maka pemerintahan akan berjalan efektif dan minimnya hambatan parlemen. Politik akan stabil, ekonomi akan membaik. Ini cara demokratis untuk menghadirkan pemerintahan efektif.

Problemnya, mengapa elit politik negeri ini ngotot presidential threshold 20-25 persen dan hanya mensepakati parliamentary threshold 4 persen? Jawabanya adalah karena elit politik negeri ini masih pragmatis takut kehilangan kursi kekuasaan, tidak berfikir untuk menempatkan kepentingan nasional (national interest) sebagai agenda utama membangun bangsa.

Ini juga membenarkan kesimpulan bahwa wajah politik yang kita tonton bukan wajah negarawan, tapi wajah politisi yang gemar mempertontonkan Simulacra politik!

*) Analis Sosial Politik UNJ.

********

Republika.co.id

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY