Red: Muhammad Subarkah
Oleh: Lukman Hakiem, Peminat Sejarah*
Badannya kecil, tapi namanya panjang: Untung Sudijatmo Darono Kertorahardjo. Biasa dipanggil: “Untung”. Temannya satu penjara di Rumah Tahanan Milter (RTM) Jakarta, Soemarso Soemarsono, mengubah nama panggilan itu dengan akronim USDAK, mirip dengan doktrin politik saat itu: USDEK.
Ya, peristiwa ini memang terjadi pada masa kejayaan sekaligus menjelang senja pemerintahan Presiden Sukarno, sebagaimana dicatat oleh Soemarso Soemarsono dalam bukunya, “Pengalaman dari Tiga Pendjara” (Jakarta, Jajasan Bunga Revolusi, 1971). Soemarso sendiri, kelak dikenal sebagai Pemimpin Redaksi Harian Abadi, organ Partai Masyumi, sampai koran itu diberangus oleh rezim Orde Baru pada 1974.
Seperti dicatat oleh Adnan Buyung Nasution, pada senjakala kekuasaannya itu, Presiden Sukarno terlalu dihantui oleh syak wasangka yang kemungkinan besar akibat bisikan lingkar terdalam kelompok politiknya.
“Sukarno sampai meyakini bahwa para pemimpin Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) merencanakan kudeta!” Padahal, kejadian yang sebenarnya adalah, sekelompok sahabat berkumpul di Bali untuk memberi penghormatan terakhir kepada ayahanda Mr. Anak Agung Gde Agung dalam upacara ngaben pada bulan Agustus 1961.
Hebatnya, meskipun hidup di penjara, Usdak tetap baik hati. Dia suka menolong siapa saja. Agamanya Kristen, tetapi mempunyai istri lebih dari satu. Tentang hal ini, Usdak sanggup berdebat dengan siapa saja bahwa agama Kristen tidak melarang poligami. Apa yang menarik dari pegawai tinggi Kimia Farma ini?
Menurut penuturan Soemarso yang tokoh Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) itu, Usdak sengaja memancing-mancing supaya ditangkap dan dimasukkan ke penjara. Usdak yakin, hanya dengan cara itu dia dapat membeberkan cita-citanya kepada khalayak luas. Usdak jengkel lantaran semua cita-cita yang dia tulis secara runtut dan dia bagikan ke berbagai instansi pemerintah, tidak pernah ditanggapi.
Lalu apakah cita-cita Usdak? Cita-citanya hanya satu: menggantikan Presiden Sukarno! Secara juridis dan politis, cita-cita Usdak itu sukar disangkal. Usdak mempertahankan cita-citanya itu kepada siapapun yang memintanya supaya menanggalkan cita-cita luhurnya itu. Apa gerangan yang menyebabkan Usdak memiliki cita-cita luhur di zaman Manipol Usdek dengan Demokrasi Terpimpin itu?
Syahdan, sesudah ditetapkan oleh MPR Sementara menjadi Presiden Seumur Hidup, pada 15 Mei 1963 di sebuah lapangan terbuka di Bandung, Presiden Sukarno berpidato. Di antara pidatonya yang berapi-api, Bung Karno menantang dan menawarkan jabatan presiden kepada siapa saja yang sanggup mewujudkan sosialisme Indonesia dalam tempo sepuluh tahun.
Kepada orang yang sanggup mewujudkan sosialisme Indonesia itu, Sukarno akan menyerahkan jabatan Presiden Republik Indonesia. Presiden Sukarno akan dengan sukarela mengundurkan diri. Hanya Usdak yang berani menjawab tantangan Presiden Sukarno.
Usdak menyusun konsep perwujudan sosialisme Indonesia dalam tempo 10 tahun, lengkap dengan naskah serah terima jabatan presiden dari Bung Karno kepada dirinya. Konsep itu, dia kirim kepada Presiden Sukarno dan berbagai instansi pemerintah.
Nasmun, pancingan Usdak berhasil. Karena dianggap mengganggu jalannya revolusi Indonesia, Usdak ditangkap. Sewaktu diperiksa di Kejaksaan Agung, yang memeriksanya tidak tanggung-tanggung: Kepala Reskrim Kejagung, Brigadir Jenderal CPM R.M. Soenarjo Tirtonegoro.
Usdak yang lulusan Sekolah Guru Margoyudan, Solo, dan kuliah sampai tingkat doktoral di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diakui oleh Soemarso Soemarsono, otaknya cerdas. Maka, jenderal bintang satu yang memeriksa Usdak pun kewalahan, kalah berdebat, dan akhirnya dengan marah-marah menuduh Usdak gila.
Tidak terima dituduh gila, Usdak menantang Kejaksaan Agung supaya mendatangkan dokter ahli jiwa untuk memeriksanya. Tantangan itu dilayani oleh Kejaksaan Agung. Hasilnya: *Usdak tidak gila!*
* Lukman Hakiem, Peminat Sejarah
******
Republika.co.id