Selasa , 09 Mei 2017, 13:00 WIB
Demonologi Ide Khilafah
Red: Agus Yulianto
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ipank Fatin A *)
Istilah demonologi barangkali masih terasa asing di telinga kita, ia bukan istilah populer sebagaimana terorisme, radikal, dan sebaginya. Terlebih ketika penulis menggunakan istilah demonologi dilekatkan bersama perjuangan khilafah.
Dalam kamus Inggris-Indonesia karya John M Echols dan Hassan Shandily, kata demon yang berarti (1) setan, iblis, jin, dan (2) orang yang keranjingan tentang sesuatu. Sedangkan Istilah demonologi dapat kita temui pada Merriam Webster’s Collagiate Dictionary yang menyebutkan bahwa demonologi berarti (1) the study of demons or evil spirit (studi tentang setan atau semangat kejahatan), (2) belief in demons: a doctrine of evil spirit (kepercayaan kepada setan: doktrin tentang semangat kejahatan), (3) a catalog of enemy (daftar musuh).
Menarik apa yang dinyatakan oleh Noam Choamsky, bahwa demonologi merupakan perekayasaan sistematis untuk menempatkan sesuatu agar ia dipandang sebagai ancaman yang sangat menakutkan, dan karenanya ia harus dimusuhi, dijauhi, dan bahkan dibasmi.
Dalam teori komunikasi, “demonologi” dapat dikategorikan ke dalam wacana “labeling theory” (teori penjulukan). Dalam teori tersebut, korban-korban misinterpretasi ini tidak dapat menahan pengaruh dari proses penjulukan yang dilakukan dengan sedemikian hebat.
Dalam hal demonologi khilafah, kita dapat pahami bahwa hal tersebut merupakan upaya penyetanan ide khilafah atau penghantuan ide khilafah, yakni penggambaran atau pencitraan khilafah sebagai demon (setan, iblis atau hantu) yang jahat (evil) dan kejam (cruel). Atau dengan kata lain merupakan perekayasaan sistematis untuk menempatkan ide khilafah dan para pejuangnya agar dipandang sebagai ancaman yang sangat menakutkan.
Tentu demonologi ini, sasarannya bukan saja non-Muslim dengan makin kuatnya islamofobia, melainkan juga kaum Muslim sendiri, dengan maksud agar mereka menjauhi ide khilafah yang merupakan bagian dari ajaran Islam, sehingga upaya sekularisasi kaum muslim dapat terus terwujud dengan lancar.
Beberapa pencitraan negatif tentang khilafah dan para pengembannya terjadi melalui penjulukan-penjulukan “Anti Kebinekaan”, “Benih Radikalisme”, “Meresahkan Masyarakat” dan “Pemecah-belah”, yang popular dipromosikan oleh media massa dan para tokoh yang antiIslam.
Maka, dengan hal tersebut, citra khilafah sebagai ajaran Islam dan solusi problematika yang akan mewujudkan rahmatan lil-‘alamin tenggelam berganti menjadi permusuhan terhadap ide khilafah dan pejuangnya serta menumbuhkan khilafahfobia, sekaligus membabat gerakan perjuangan khilafah.
Follow-up dari grand design serangan barat terhadap Islam
Pasca-tumbangnya komunisme Soviet, AS dan Sekutunya melihat kekuatan Islam dengan maraknya gerakan Islam di berbagai belahan dunia sebagai ancaman bagi kepentingan mereka, maka muncul istilah di permukaan yakni The Green Menace (bahaya hijau) yang menggantikan The Red Menace (bahaya merah)-nya komunisme Soviet.
Persepsi ancaman inilah yang menyebabkan Barat memusuhi dan memerangi Islam dan kaum Muslim, terlebih para pejuang khilafah. Perkara ini sesungguhnya bukan hal baru. Sejak terjadinya Perang Salib, masyarakat Barat melihat betapa kekhilafahan Islam merupakan kekuatan dahsyat yang dapat menguasai dunia sekaligus mengancam kepentingan mereka.
Karena itu, Barat senantiasa merancang dan melaksanakan berbagai upaya untuk melemahkan kekuatan Islam dan para pembelanya, antara lain melalui invasi pemikiran dan kebudayaan serta demonologi ide-ide Islam hingga akhirnya mereka berhasil meruntuhkan khilafah Islam.
Ketika memasuki zaman millennium ketiga Masehi, banyak pengamat dan pemikir melontarkan pernyataan tentang keniscayaan terjadinya benturan kepentingan yang kian keras antara Barat dan dunia Islam. Seorang antroplog Muslim asal Pakistan, Akbar S Ahmed misalnya, mengatakan bahwa “para pengamat telah melihat konfrontasi ini sebagai suatu malapetaka dan menyebutnya perang suci terakhir”.
Tentu saja, hal tersebut senada dengan tesis Samuel P Huntington yang menghebohkan dan diekspos berbagai media, yakni tentang “Clash of Civilizations” (Benturan Peradaban).
Upaya pencitra-burukan Islam dan ide khilafah adalah bagian dari upaya Barat–hususnya AS–dalam menata dunia menurut kepentingan dan cara pandang ideologi mereka. Barat mengklaim diri sebagai pemegang supremasi kebenaran, sedangkan semua yang mengancam kepentingannya–dalam hal ini Islam atau Gerakan Islam–atau bahkan tidak bersepakat dengannya dianggap berada di jalan yang sesat.
Barat menggunakan media massa sebagai sarana pembentuk makna atau opini publik (public opinion) sebab kesan buruk mengenai Islam dan ide khilafah perlu diciptakan agar penindasan dan sekularisasi kepada kaum Muslim dapat dilakukan dengan persetujuan khalayak.
Hal tersebut akan memberikan legitimasi dan justifikasi bagi Barat dan antek-anteknya untuk membasmi siapa saja dan kelompok mana saja yang mengusung Islam dalam perjuangan politiknya.
Umumnya yang menjadi korban atau objek utama dari demologi tersebut adalah : Pertama, orang-orang atau kelompok / organisasi orang Muslim yang berjuang untuk menegakkan syiar Islam di bumi ini. Kedua, rezim atau pemerintahan Negara mana saja yang berani menentang hegemoni Barat dalam percaturan politik, ekonomi dan sosial. Ketiga, para aktivis Muslim yang berjuang, baik atas nama Islam atau komunitas Muslim, di pentas dunia dalam menentang kezhaliman Barat dan antek-anteknya.
Memanfaatkan isu antikebinekaan dan ideologi radikal
Drama War on Terorrism (WOT) terjadi secara massif pasca-peristiwa WTC 9/11/2001, diikuti oleh upaya AS membuat dunia dalam tatanan bipolar yakni bersama Amerika atau bersama teroris. Barat pun mendefinisikan secara subyektif dan bias tentang terorisme sebagai labelisasi kepada kelompok atau individu muslim yang secara fisik atau non fisik mengancam kepentingan global imperialisme Barat.
Akhirnya dunia pun “dipaksa” untuk mengikuti proyek dan strategi WOT yang sesuai dengan arahan dan paradigma Barat (khususnya AS). Begitu halnya juga, Indonesia.
“Ideologi radikal” pun dituduh sebagai dasar dan motivasi yang mendorong terjadinya aksi terorisme. Sejauh ini, secara sepihak pemerintah menggangap radikalisme sebagai gejala yang lahir dari tafsiran teologi yang menyimpang. Pemerintah abai terhadap realitas berupa meluasnya sikap apatisme dan frustasi sosial akibat kemiskinan, ketidakadilan, ketidakpastian masa depan dan tekanan hidup yang berat.
Semua hal tersebut korelatif dengan peran imperialisme global yang dipimpin oleh Amerika Serikat terhadap negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia.
Rencana deradikalisasi pun di-implementasikan dengan memberikan kosentrasi mengubah orientasi dan tafsiran keber-agama-an seseorang agar lebih moderat, toleran dan liberal. Sesungguhnya hal tersebut merupakan bahaya besar, karena akan menciptakan polarisasi dalam kehidupan masyarakat, khususnya umat Islam.
Akan terjadi praktik devide et impera yang akan memunculkan konflik horizontal di tengah Ummat. Umat dipecah belah dengan kategorisasi radikal-moderat, Islam garis keras-Islam toleran, dan sebagainya.
Selain itu, terjadi pula upaya membangun pemahaman konstruksi dalil dan argumentasi dengan lemah, yakni menyelaraskan nash-nash syariah untuk tunduk terhadap realitas sekuler termasuk dengannya dibangun upaya kriminalisasi dan monsterisasi terhadap ajaran Islam, yakni khilafah.
Termasuk yang terbaru adalah menyeruaknya tuduhan anti Kebhinekaan. Ketika ummat Islam dan gerakan Islam yang menolak kepemimpinan kafir, menuntut Keadilan atas pelecehan Alquran pun tidak luput dari tuduhan anti kebhinekaan, namun para penuduh diam atas hal yang menimpa ummat Islam.
Bahkan ketika ummat Islam secara kritis menolak penjajahan asing baik melalui pemikiran, politik dan ekonomi. Mereka justru menjadi pelayan bagi Negara-negara penjajah tersebut.
Di sini, jelas bahwa isu kebhinekaan dijadikan oleh pihak-pihak tertentu untuk menjegal Islam dan Umat Islam. Akibatnya, umat Islam, walaupun mayoritas di negeri ini, dibuat “tidak berdaya” saat ingin menyerukan aspirasi dan tuntutannya. Bahkan dibungkam perjuangannya dengan dalih merusak kebhinekaan.
Tentu hal ini menjadi bahaya bagi ummat Islam, yang kemudian akan berdampak pada penyumbatan langkah perjuangan dakwah Islam untuk membangun pemahaman dan sikap ber-Islam yang kaffah dalam seluruh aspek kehidupan pada diri ummat.
Bahkan lebih dari itu, ini akan membuat langgeng Imperialisme Barat atas negeri-negeri kaum muslim termasuk Indonesia atas nama Global War On Terorrism (GWOT), HAM, Demokrasi, Pasar Bebas dan sebagainya.
Jelas, bahwa demonologi Khilafah merupakan upaya sistematis untuk menumbuhkan khilafahphobia dan membasmi perjuangan ummat yang menyerukan untuk hidup di bawah naungan khilafah.
Bahkan lebih dari itu, hal ini akan melahirkan kelompok-kelompok pragmatis yang serakah dan menumbuhkan siklus perpecahan di tubuh ummat serta menjaga langgengnya cengkraman imperialisme Barat atas negeri-negeri mereka.
*) Direktur Eksekuti Muda Muslim Analyze Institute
*********
Republika.co