Ujian Kredibilitas BPK

Ujian Kredibilitas BPK

865
0
SHARE
Ilustrasi. Indonesia Kian Terancam menjadi Negeri Para Badut.

Fotografer : John Doddy Hidayat

Ilustrasi. Indonesia Kian Terancam menjadi Negeri Para Badut.
Ilustrasi. Indonesia Kian Terancam Menjadi Negeri Para Badut.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perlu berbenah total, menyusul penangkapan dua auditor oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam perkara suap. Kasus ini membuktikan bahwa mekanisme pengawasan internal di lembaga tinggi negara itu belum berjalan maksimal.

Dua auditor BPK, Rochmadi Saptogiri dan Ali Sadli, terjaring lewat operasi tangkap tangan KPK pada Jumat lalu. Mereka–bersama dua pejabat Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi–kemudian ditetapkan sebagai tersangka kasus suap pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian untuk laporan hasil pemeriksaan keuangan Kementerian.

Kasus ini secara telak memukul BPK. Kasus itu membenarkan kecurigaan lama masyarakat soal praktik jual-beli hasil audit lembaga ini. Yang lebih memprihatinkan, penyimpangan itu terungkap tak lama setelah BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2016, untuk pertama kali sejak 2004.

Bila terbukti, para auditor sudah sepantasnya dihukum berat. Tak hanya merusak citra lembaga tinggi negara tempatnya bekerja, mereka juga telah merusak kredibilitas sistem audit keuangan negara. Akibat ulah mereka, kini masyarakat menjadi ragu soal keabsahan opini Wajar Tanpa Pengecualian–yang terbaik dari empat kategori hasil audit BPK–yang diterima auditee.

BPK sepatutnya mengaudit ulang lembaga yang diperiksa dua pegawai yang bermasalah itu. Laporan keuangan Kementerian Desa hanya satu dari 12 laporan keuangan kementerian dan lembaga yang ditangani Rochmadi, yang merupakan auditor utama BPK. Untuk menghindarkan kecurigaan masyarakat, hasil kerja tim itu harus ditelaah dan dipastikan bebas dari penyimpangan. Proses audit ulang selayaknya melibatkan lembaga independen.

BPK juga perlu segera memperbaiki mekanisme pengawasan internalnya, sehingga kasus serupa tak terulang. Mereka sudah memiliki Majelis Kehormatan Kode Etik, yang menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 diisi oleh anggota BPK serta unsur profesi dan akademikus.

Namun munculnya kasus ini membuktikan bahwa mekanisme pengawasan internal tersebut masih memiliki kelemahan. Apalagi, menurut catatan Indonesia Corruption Watch, kasus suap audit Kementerian Desa itu menjadi yang ketujuh sejak 2005 yang melibatkan BPK dan lembaga yang diauditnya.

Dalam rangka peningkatan pengawasan ini, rencana penerapan e-Audit (audit elektronik) untuk Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2017 menjadi sangat penting. Pelaksanaannya diharapkan memberi andil besar pada proses perbaikan dalam mekanisme audit oleh BPK. Melalui audit online, proses akan lebih cepat dan pengawasan lebih mudah dilakukan.

********

Tempo.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY