Tuhan Akhir Zaman dan Upaya Membalik Logika Kesehatan

Tuhan Akhir Zaman dan Upaya Membalik Logika Kesehatan

864
0
SHARE
Kepala SMPN 1 Garut, H. Ahmad Gunawan Saksikan Langsung Pelaksanaan Imunisasi di lingkungan lembaga pendidikan yang dikelolanya.

Ahad , 20 August 2017, 11:39 WIB

Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rudi Agung *)

Fotografer : John Doddy Hidayat.

Kepala SMPN 1 Garut, H. Ahmad Gunawan Saksikan Langsung Pelaksanaan Imunisasi di lingkungan lembaga pendidikan yang dikelolanya.
Ilustrasi. Kepala SMPN 1 Garut, Jawa Barat, H. Ahmad Gunawan Saksikan Langsung Pelaksanaan Imunisasi di lingkungan lembaga pendidikan yang dikelolanya.

Oretan ini menanggapi naskah di kolom Wacana tanggal 19 Agustus 2017.

Kejujuran salah satu mahkota manusia. Itu yang memuliakannya. Sebaliknya, bila kejujuran tak lagi jadi panglima, tunggulah kehancurannya. Cepat atau lambat. Dunia atau akhirat. Ini pesan seorang Kiai.

Kita mengapresiasi kejujuran Biofarma, sebagai satu produsen vaksin terbesar di dunia. Seperti apa kejujurannya? Sebagai BUMN pemasok vaksin ke beberapa negara dan Indonesia, beberapa kejujurannya terekam di media.

Dalam jejak digital media, tahun 2008, Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT Bio Farma Drs Iskandar Apt MM mengatakan, enzim tripsin babi masih digunakan dalam pembuatan vaksin, khususnya vaksin polio. Tapi, dia menolak dikatakan haram. Enzimnya larut proses pencucian, pemurnian, dan penyaringan.

Kepala Divisi Produksi Vaksin Virus PT Bio Farma Drs Dori Ugiyadi turut mengakui produksi vaksin masih menggunakan pelbagai macam sel yang berasal dari hewan maupun manusia. Pihaknya pernah digugat LSM Lingkungan Pro Fauna, atas penangkapan ribuan kera ekor panjang untuk produksi vaksinnya.

Karena itu akan mengganti enzim berbahan binatang dengan bahan yang berasal dari tanaman. (Hidayatullah, 28/8/2008: Tripsin Babi Masih Digunakan dalam Pembuatan Vaksin). Apa yang menarik? Berani jujur.

Dalam pelbagai buku vaksin dan jurnal ilmiah nasional serta internasional pun ini bisa kita jumpai. Pro kontra bahan dasar masih terus terjadi: dari babi sampai janin. Tapi yang menarik, Biofarma tetap mengakui.

Bahkan, tahun 2013, Biofarma jujur pada hal yang sangat sensitif bagi masyarakat Indonesia. Apa? Perusahaannya memiliki kaitan dengan Rotary. Ini salah satu kesimpulan Classification Talk Rotary Club Bandung di pertemuan rutin mingguan Senin, 9 September 2013, Grand Royal Panghegar Bandung, (Rol, 4/10/2013).

Satu pembicaranya, Mirawati Muchtar Rafei yang berprofesi sebagai Area Sales Manager Export Institution PT Bio Farma Bandung. Jatuh? Tidak. Sebab jujur. Padahal, siapa yang tak tahu Rotary Club dan hubungannya dengan Zionis.

Dalam vaksin MR, kembali jujur. Direktur Utama PT Bio Farma, Juliman, mengakui belum ada sertifikasi halal ke MUI. “Kalau halal, memang belum disertifikasi.” Jatuh? Tidak. Di hari ke-13, sudah ada 12 juta anak yang divaksin. Kejujuran inilah yang patut diapresiasi. Sebab, kejujuran makin meredup dalam kehidupan kita.

Sekarang kita ke vaksin MR dan campak. Justru ketika perusahaan vaksin jujur, ada pihak yang berupaya menjungkir balikan logika kesehatan. Padahal, kontroversi vaksin MR masih terjadi di lingkup dokter sendiri. Tak terkecuali di kalangan dokter spesialis anak. Kita lihat, ya.

Apakah penurunan kasus menunjukkan kondisi penyakit campak di negara ini sudah sangat rendah dan tidak perlu dikhawatirkan? Apabila Anda berpikiran demikian, maka Anda salah! Pahami dulu beberapa hal berikut.

Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah tidak adanya kasus campak sama sekali di Indonesia (eliminasi), bahkan di seluruh dunia! Rencana strategis (Renstra) 2012 – 2020 yang dibuat oleh WHO mencanangkan eliminasi campak dan rubella di setidaknya 5 area WHO.

Pertama, dari sini saja sudah salah tangkap. Bukankah ada skala prioritas. Data WHO 2012 menyebut, 10 penyakit paling mematikan di Indonesia justru penyakit tidak menular. Begitu pula data Kemenkes RI terbaru. Simak ini: Berdasar survei Kementerian Kesehatan, penyakit tak menular justru menjadi pembunuh utama.

Survei itu menyebut, perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia mengubah proporsi kematian. Contohnya, tahun 1990-an, stroke hanya menempati urutan keempat, kini jadi pembunuh nomor satu. Demikian siaran pers Cigna Indonesia di Jakarta, Kamis 7 April 2016.

Tingginya angka kematian dari penyakit tak menular, terjadi sejak era 1990-an. Lantas, PTM terus melonjak. September 2011, era Menkes Endang, mengikuti Pertemuan Tingkat Tinggi tentang PTM di Majelis Umum PBB, New York.

Kedua, masih mengacu data WHO, Indonesia menduduki urutan kedua di ASEAN untuk tingkat kematian akibat penyakit tidak menular. “Berdasarkan data 2012, 3 dari 4 kematian di Indonesia disebabkan oleh PTM,” ujar Maria Fajarini, MSc, peneliti dari perusahaan konsultan Evidence & Analytics dalam acara National Seminar on Non-communicable and Life Style Diseases, Kamis, 19/5/2016.

Nah, kalau mengikuti renstra, tapi ada ancaman yang lebih nyata depan mata dari tahun ke tahun, kenapa tidak menyelesaikan yang urgen? Apa renstra itu mutlak? Apalagi tren PTM meningkat sejak era 90-an. Toh Indonesia juga memiliki PIN. Tahun 2016, telah dihelat program Pekan Imunisasi Campak Nasional. Pun polio.

Sedangkan selama beberapa dekade terakhir, 10 penyebab kematian terbesar di dunia mulai bergeser. Data Center for Disease Control: kematian akibat penyakit menular telah berkurang dan kematian akibat penyakit tidak menular justru meningkat. Fenomena ini juga terjadi di Indonesia. “Penurunan angka penyakit menular tidak terlalu bermakna,” kata Andi Darma Putra dari Fakultas Kedokteran Unversitas Indonesia, dalam siaran pers, Selasa, 15/8/2017, dilansir Sindo.

Lantas, kalau tidak bermakna untuk apa diprioritaskan? Malah digiring jadi sesuatu yang menyeramkan. Tahun lalu juga sudah digelar PIN campak. Kenapa masih kekeh mengejar target bebas campak 2020. Apa menjamin 2020 berhasil? Tahu kan? Per Agustus 2017, sebanyak 1.032 RS belum terakreditasi. Ironi, ya?

Tahun 1757, dokter Skotlandia, Francis Home, sudah menemukan campak. Tahun 1963 mewabah, lalu hilang. Muncul lagi 1989 dan 1991. Apa tahun 2020 menjamin bebas campak, sedangkan penyakit ini timbul tenggelam. Sedang depan mata ada yang lebih urgen. Jangan menyimpulkan darurat seenak sendiri.

Sampai Juli 2017, utang pemerintah Rp 3.779, 98 triliun. Tahun 2018 pemerintah harus membayar utang jatuh tempo sebesar Rp 315,1 triliun. Dalam postur RAPBN 2018, defisit diperkirakan Rp 325,9 triliun. Penerimaan pajak yang ditatget Rp 136,6 triliun atau tumbuh 9,2 persen dibanding target APBNP 2017.

Artinya, banyak sekali yang lebih urgen dari vaksin MR, terlebih saat keuangan pemerintah babak belur. Kecuali jika Indonesia belum pernah menggelar program vaksinasi campak, masih logislah. Ini berkali-kali. Tahun kemarin pun juga sudah diberi walau beda jenis, tapi tetap telah dilakukan upaya menekan campak.

Sekarang simak ini: laporan investigasi Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS), 1990–2010, mengungkap: tingkat rawat inap bayi naik drastis seiring jumlah macam vaksin yang diberikan. Tingkat rawat inap untuk dua dosis vaksin, 11 persen jumlah rawat inap, untuk 8 dosis akan meningkat hingga 23,5 persen.

Tingkat kematian akibat vaksin 3,6 persen untuk 1-4 dosis, angka kematian ini naik hingga 5,5 persen untuk 5-8 dosis vaksin. (journals.sagepub.com). Banyak vaksin, kok menyeramkan.

Kampanye MR bukan baru. Apanya yang tidak baru? Selama ada PIN, baru kali ini kampenye vaksin gencar, dua bulan, biasanya sepekan. MR pun jenis baru dalam program pemerintah, 2017. Kemenkes menambah tiga jenis vaksin yang masuk dalam program nasional imunisasi dasar lengkap secara bertahap: vaksin MR, vaksin pneumococcus, dan vaksin human papillomavirus atau HPV. Nah, saat baru kenapa gencar. Sampai yang menolak dibuat surat perjanjian bermaterai.

Jaminan bagi oangtua dan anak

Sebaliknya, kenapa orangtua tak diberi jaminan dari pihak terkait. Dan pertanyaan ini belum terjawab. Beli handphone saja kita dapat garansi, kok vaksin yang baru diperkenalkan di Indonesia, malah tidak. Dimasukan ke tubuh anak pula. Masyarakat pernah mengenal vaksin MMR. Dan kini, yang sudah divaksin MMR tetap perlu vaksin MR. Sampai berapa kali? Gurih kan, pengadaan. Jujurlah.

Pernah menjadi curhatan orangtua korban vaksin? Saya sering, dari sebelum MR sampai MR. Ada curhat sakit, ada sampai keluarganya wafat. Kenapa tak dilaporkan? Takut. Saat coba lapor, tetap saja vaksin tidak salah. Padahal, sebelum divaksin tidak apa-apa. Kemana lagi mereka mengadu? Siapa yang membela? Anda berani jamin dan tanggung jawab pada korban, dunia akhirat? Berani?

Ada masyarakat mempertanyakan dana sebesar ini, bahkan menghubungkannya dengan “tidak ada makan siang gratis” lewat dana hibah, dan “praktik bisnis di dunia farmasi dan kedokteran”. Dua hal yang disebutkan terakhir ini mengundang tawa saya.

Nah kan, kenapa tak jujur? Ini rahasia umum. Saya pernah loh mendapat jatah tiket dari kenalan dokter. Ia dapat bonus dari farmasi. Macam-macam: dari seminar, uang, jalan-jalan. Ada pula dokter membuka layanan vaksinasi yang menyediakan vaksin harga distributor. Lebih murah dari rumah sakit swasta. Ini bukan rahasia. Mau bantah? Ya, ditertawakan manusia Indonesia.

Cek sekarang, berapa pertumbuhan apotik di Indonesia? Luar biasa. Apakah bukan bisnis dan laba yang dicari? Mana mau bangkrut. Tapi mereka jujur. Tak menutupi. Ada pula dokter yang menyebut pasien sebagai konsumen kesehatan. Konsumen. Ada pola bisnis di sini. Sah-sah saja. Tapi kok mau ditutupi. Hari gini?

Tahun 2014, target penjualan Biofarma Rp 2 triliun. Tahun 2016, mengincar laba Rp 758 miliar. Ini terbuka, diumumkan ke media. Nah, ingat menggiurkannya bisnis vaksin, kan? Atau masih mau menutup mata dengan tawa lagi. Simak ini:

Survei United Press International 2012, menyebut: penjualan vaksin global tembus 23 billion dollar AS. Itu tahun 2012. Silakan dirupiahkan sendiri. Pfizer, perusahaan farmasi Amerika, pendapatan per tahun Rp 696, 6 triliun. GSK, Inggris, pendapatan per tahunnya Rp 558,9 triliun. Ini per tahun. Apanya yang tak ada unsur bisnis? Mohon, jangan lagi berpura menutup mata.

Bahkan, kedua perusahaan itu pernah diprotes dunia lantaran menjual vaksin pneumonia terlalu tinggi. Di Indonesia Rp 750 ribu per dosis. Sedang tiap anak membutuhkan dua dosis. Berarti butuh Rp 1,5 juta per anak. Beberapa saja yang mampu. Akhirnya karena mahalnya vaksin, beberapa dokter membuka layanan vaksin, harganya lebih murah. Mau tutup mata soal ini? Sampai kapan.

Sementara Gavi India, penyuplai vaksin MR ini, pernah pula membantu produksi dan penjualan vaksin pneumonia yang murah. Lalu, hibahnya diputus. Akibatnya, negara berkembang yang membelinya mengeluarkan kocek jauh lebih besar.

Sekarang India lagi? Apa kompensasinya? Ini tak dijawab juga. Biofarma belum memproduksi MR. Diakui sendiri di media. Nah, kenapa tak belajar kasus vaksin pneumonia. Diberi harga murah, putus, mahal. Padahal, masih ada ancaman lebih mematikan sejak 90 an: penyakit tak menular.

Atau kenapa kita tidak kerja sama dengan perusahaan produsen vaksin yang telah menjamin kehalalannya. Semisal AJ Pharma. Ini perusahaan farmasi dari Arab Saudi di bawah Al-Jomaiyah Group. Tahun ini, Malaysia kerja sama dengannya.

Peneliti Institut Internasional Studi Islam Tingkat Tinggi Malaysia, Ahmad Badri dalam publikasi nst.com.my mengatakan, industri vaksin perlu mengatasi tiga tantangan: etika keagamaan, keamanan dan manufaktur, serta masalah sosial.

Kenapa India. Apakah tak ada lain? Apalagi vaksin MR ini baru diperkenalkan di Indonesia, tak ada pula yang memberi jaminan usai vaksin: kok dipaksakan? Ini yang menjadi pertanyaan masyarakat. Kenapa tak sekalian alternatif impor dari Protalix, perusahaan vaksin Israel, misalnya. Apa dalam MR ada persaingan dalam rivalitas bisnis vaksin? Jujurlah.

Jadi, hentikan menggiring opini seolah campak mengerikan. Lalu, vaksin MR solusinya. Korban sudah berjatuhan. Jaminan tidak ada. Kini, vaksin ibarat tuhan-tuhan baru. Memang lebih dulu mana antara penyakit dan vaksin? Seolah bila tak ada vaksin, dunia berpenyakit. Kacau logika ini. Kacau balau. Dipaksa pula. Duh.

Ide yang menghubungkan pemberian vaksin gratis 100 persen dari pemerintah dengan “praktik bisnis” sangatlah konyol. Bedakan antara program imunisasi gratis dari pemerintah yang sudah berlangsung sejak tahun 1977, dengan imunisasi-imunisasi menggunakan vaksin berbayar di layanan kesehatan swasta. Vaksin program pemerintah tidak ada unsur bisnisnya!

Ini menjawab malu-malu ada vaksin berbayar swasta, artinya ada proses bisnis. Dari pemerintah memang gratis. Tapi tak ada unsur bisnis dalam program vaksin pemerintah? Sebentar, izinkan saya tertawa. Kenapa sih kita masih juga tutup mata dan telinga! Proyek di atas Rp 200 juta saja ada proses lelang, lobi, ada fee. Apalagi pengadaan sarana vaksin yang angkanya jumbo.

Jangankan bisnis, la wong kasus korupsinya berentet. Dari vaksin meningitis, vaksin flu burung, sampai ada pula vaksin palsu. Tak percaya? Kita bongkar memori: dari kasus vaksin flu burung, menengitis, sampai vaksin palsu, Indonesia sudah mencetak kasus korupsi. Ini yang perlu dibenahi. Bukan ditutupi.

Awal mencuat vaksin flu burung, blow up-nya juga gede-gedean. Hasilnya, dari dokter, pejabat, sampai menteri terlibat. Ingat, jangan menjenaralisir. Lah kini MR eksposenya malah lebih besar dari flu burung. Dibuat campak menakutkan. Aih.

Korupsi vaksin, modusnya ada empat tahap: perencanaan dan penganggaran, pengadaan, pelaksaan dan laporan pertanggungjawaban. Bahkan ada pula modus tender akal-akalan pengadaan vaksin. Kita rangkum, ya. Sesuai nama media, tanggal dan judul. Jejaknya, silakan cari sendiri. Klik saja di rumah paman Google.

Beritasatu, 5/9/2012. Judul: Eksklusif Korupsi Vaksin Flu Burung: Tender Akal-akalan Nazaruddin dan Bio Farma.

Aktual, 7/3/2016. Judul: Korupsi Pabrik Vaksin Flu Burung, Siti Fadillah Akui Ada Peran Bio Farma.

Okezone, 2/12/2014. Judul: Polisi Sita 91 Hektare Tanah Terkait Korupsi Vaksin Flu Burung.

Detik, 3/2/2016. Judul: Akhir Cerita Dokter yang Korupsi Dana Vaksin Meningitis Jemaah Umroh.

Detik, 15/7/2016: Ini Daftar 23 Tersangka Kasus Vaksin Palsu.

Detik, 9/3/2017: 7 Tersangka Vaksin Palsu Segera Diadili terkait TPPU.

Mau lagi? Banyak, silakan cari sendiri. Jejaknya terserak di media. Omong-omong soal pencucian uang, ada mitra Gavi, namanya tercatat di laporan ICIJ: jurnalis investigasi internasional sebagai daftar yang tersangkut kasus Panama Papers!

Pemantauan KIPI juga terus-menerus dilakukan sebagai uji klinis fase keempat. Terus, kenapa korban masih berjatuhan? Lalu mereka takut melaporkan? Di luar Komnas KIPI, sudah waktunya Indonesia perlu Komnas Vaksin Independen.

Semacam bantuan hukum bagi para orangtua yang anaknya memiliki keluhan paska vaksin. Selama ini banyak ditutup, kadang ditekan. Masyarakat butuh informasi sehat, jelas dan mencerdaskan. Bukan menakuti, menekan atau menutupi. Sampai membuat konsesus sendiri kondisi campak sudah darurat. Padahal sejak Eyang kita kecil pun campak sudah ada. Wabahnya fluktuatif.

Masyarakat butuh semacam lembaga independent yang bisa memberi bantuan hukum atas masalah ini. Seperti kasus Siyono, yang akhirnya masalahnya terang walaupun kasusnya menghilang. Saat ini, agak-agak sulit membedakan vaksin: apakah agama atau tuhan baru? Maha benar vaksin dengan segala anggarannya.

Ingat, imunisasi adalah hak setiap anak yang dilindungi undang-undang. Dan bagi saya, satu anak saja yang meninggal karena campak sudah terlalu banyak!

Ampun, jangan dibalik. Baca lagi UUD 1945, Pasal 28G. UUD tertinggi, loh. Nah, justru satu anak jadi sakit bahkan wafat usai vaksin, ini sangat banyak. Awalnya mereka sehat. Tapi, mana pembelaannya? Jurnal internasional jujur atas kegagalan vaksin. Dievaluasi, diperbaiki. Tak ditutupi. Tak digiring opini itu dan ini.

Vaksin, melemahkan virus. Diolah, dikasih ke tubuh yang sehat. Mana bisa anak sakit divaksin, tunda dulu sampai sehat. Nah, logikanya: siapa yang bawa virus? Anak sehat dimasukin kimia. Medical check up pra vaksin tak dilakukan. Ada Kipi, disalahkan. Siapa yang kemana-mana membawa virus? Sesimpel ini kan logikanya.

Justru vaksin masuk ranah fikih, artinya ada di wilayah perbedaan. Jadi, mbok ya ojo dipaksa. Jangan giring opini seolah vaksin itu tuhan. Bermiliar-miliar manusia hidup tak vaksin sejak zaman Nabi, sampai kini. Bahkan, saat itu ada wabah hebat, thaun. Tetap ada caranya, tanpa vaksin. Muncul vaksin ketika revolusi industri.

Sejak awal vaksin ada, mengundang kontroversi sampai sekarang. Lalu kok mau dijadikan seolah tuhan. Tanpa vaksin, dunia bakal berpenyakit. Kita punya Allah. Rasulullah mengajarkan menjaga kesehatan, cegah penyakit, mengobati penyakit.

Teknologi cukup sebagai sarana ikhtiar. Bukan tuhan. Bukan segalanya. Apalagi dipaksa-paksa. Digiring opini sedemikian rupa. Masyarakat juga berhak sehat tanpa divaksin. Mengikuti ajaran Nabi. Seperti leluhur dulu. Tanpa biaya ini itu.

Ingatlah firman Nya, Qs. At Tin, ayat 4: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”

Masih tak percaya Allah? Silakan. Tapi, jangan memberi informasi sepotong-potong, seolah tanpa vaksin dunia ini menakutkan, lalu memutar logika kesehatan, dan memaksakan vaksin seakan tuhan-tuhan baru di akhir zaman.

Sedangkan di dunia medis masih perdebatan. Tolong jangan dipaksakan, tolong. Berilah jaminan. Sesuai UUD loh. Ini jaminan tanggung jawab tidak ada, lalu memaksa. Semoga bukan tuk mencari keuntungan, kepentingan atau popularitas.

Semoga Allah melimpahkan lebih banyak ahli medis jujur. Berani mengatakan haq adalah haq, bathil adalah bathil. Minimal, berani jujur pada nuraninya sendiri. Cobalah muhasabah. Biofarma saja berani jujur. Shalaallahu alaa Muhammad.

********

Republika.co.id

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY