Kamis , 13 July 2017, 03:00 WIB
Red: Irwan Kelana
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fariq Gasim Anuz
Salah seorang raja dari Bani Abbasiyyah memiliki tawanan yang akan dihukum mati. Raja memerintahkan kepala polisi membawa tawanan keesokan harinya untuk dieksekusi. Kepala polisi sempat berdialog dengan tawanan tersebut.
“Anda berasal dari mana?” tanya kepala polisi. “Dari Syam!” jawab tawanan itu. “Penduduk Syam umumnya orang-orang baik. Apakah Anda kenal dengan Fulan bin Fulan?” tanyanya. “Ya, saya mengenalnya.” Jawaban tawanan itu membuat kepala polisi senang. “Di mana keberadaannya sekarang? Saya memiliki pengalaman berkesan dan berutang budi kepadanya,” ujar kepala polisi dengan perasaan ingin secepatnya mengetahui keberadaan orang itu.
Tawanan tersebut tidak langsung menjawabnya, justru ia mengajukan pertanyaan, “Mohon ceritakan pengalaman anda dengan Fulan bin Fulan itu, setelah itu aku akan tunjukkan keberadaannya.”
“Lebih dari dua puluh tahun yang lalu, saya pernah bertugas menjadi polisi di Syam, terjadilah kudeta, dan pemimpin kami mati terbunuh. Saya pun dikejar-kejar untuk dibunuh oleh penguasa yang baru. Saya melarikan diri dan masuk ke sebuah rumah besar. Saya temui pemilik rumah dan memohon perlindungan darinya. Beliau tidak mengenal saya, tapi beliau langsung melindungi dan menyembunyikan saya di dalam rumahnya. Alhamdulillah, saya selamat! Saya dijamu dan dilayani dengan baik sekali.
Empat bulan kemudian, setelah suasana aman, saya izin untuk pulang ke Baghdad, karena keluarga saya tinggal di sana. Tuan rumah mencarikan rombongan kafilah pedagang yang akan berangkat ke Baghdad, memberikan uang sebesar lima ratus dinar (sekitar lebih dari satu miliar rupiah), menyiapkan kuda untuk tunggangan saya, keledai berisikan hadiah untuk keluarga saya dan seorang pembantu laki-laki untuk melayani saya selama perjalanan. Saya tidak akan melupakan jasa baiknya.” Kepala polisi mengakhiri kisahnya sambil menunggu kabar gembira dari tawanan.
”Saya lah Fulan bin Fulan!” ujar tawanan tersebut. Kepala polisi kaget mendengarnya. Setelah dites dengan beberapa pertanyaan, yakinlah kepala polisi bahwa tawanan tersebut adalah orang yang sedang dicarinya selama ini. Kepala polisi membuka borgol dari tangan dan kaki tawanan, disuruhnya mandi dan diberinya pakaian serta diberinya uang seribu dinar (sekitar lebih dari dua miliar rupiah), sebilah pedang dan seekor kuda. Kepala polisi memerintahkan tawanan untuk kabur dan dirinya siap menjadi tumbal dibunuh raja.
Kepala polisi mengetahui bahwa tawanan tersebut tidak berhak dihukum mati. Ia hanya mengkritisi kebijakan pemerintah dan menginginkan kebaikan bagi pemerintah dan masyarakat. Hanya saja, raja menganggap bahwa sikap kritisnya itu sebagai makar dan harus dihukum mati! Seandainya ada yang salah dari tawanan itu, yaitu tentang cara menasihati penguasa yang dapat menimbulkan kegoncangan dan ketidakstabilan dalam negara. Hendaklah penguasa dan penasihat mengevaluasi dan memperbaiki kekeliruan masing-masing. Hendaknya Umara dan Ulama saling menguatkan dan tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa.
“Demi Allah, saya tidak akan pergi!” Tawanan menolak kabur. “Kalau Anda tidak mau kabur, saya akan memintakan maaf kepada raja, semoga saja raja memaafkanmu,” kepala polisi memberikan solusi yang disetujui oleh tawanan.
Keesokan harinya, kepala polisi membeli kain kafan dan menemui raja. Raja kaget, kepala polisi tidak membawa tawanan. Raja mengancam jika tawanan kabur maka ia akan membunuh kepala polisi. Kepala polisi menenangkan raja lalu menceritakan kisah hidupnya dan jasa tawanan terhadapnya. Hati raja luluh, ia kagum kepada kepala polisi dan tawanan, tawanan akhirnya dimaafkan.
Raja memberi uang 100 ribu dirham (sekitar tiga miliar lima ratus juta rupiah) dan menawarkan jabatan penting di Syam kepada tawanan tersebut. Tawanan menolak uang dan jabatan dengan halus, lalu pamit meninggalkan Baghdad untuk kembali ke kampung halamannya.
Ada beberapa hikmah yang bisa kita petik dari kisah di atas. Pertama, sikap ksatria merupakan akhlak Islam. Membela kaum yang tertindas, menolong orang yang dizalimi merupakan sikap kepahlawanan. Para ksatria siap menerima risiko diteror, dipecat dari pekerjaan, dianiaya, dipenjara bahkan dibunuh sekalipun. Mereka adalah orang orang yang berpegang teguh dengan prinsip dan bukan orang yang mencari kepentingan dunia.
Allah berfirman memuji kaum Anshar yang artinya, “Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan (hasad) dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin), dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas diri mereka sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al Hasyr 9)
Kedua, siapa yang menolong saudaranya pasti Allah akan menolongnya baik lewat orang yang ditolongnya atau melalui orang lain.
Ketiga, seorang yang ikhlas saat berbuat baik maka ia tidak membutuhkan ucapan terima kasih atau balasan dari manusia. Dalam kondisi terpaksa mereka menerima kebaikan orang lain jika dinilai tidak ada dampak negatif di balik itu. Bahkan balasan kebaikan ditolaknya untuk tetap menjaga kehormatan dirinya dan agar ia tidak terjerumus kepada penyimpangan.
Keempat, seorang yang bertekad kuat untuk melakukan kebaikan atau ingin membalas budi kebaikan orang lain maka Allah memudahkan baginya untuk merealisasikan niat baiknya.
Kelima, hati raja yang keras dan bersikap zalim menjadi lembut hatinya menyaksikan pejabat dan rakyat yang berjiwa ksatria. Raja menyadari kesalahannya dan mengharapkan kerja sama dengan mereka-mereka yang hidupnya memegang prinsip kebaikan dan mementingkan masyarakat banyak, bukan orang-orang yang egois dan kurang peduli dengan kesejahteraan masyarakat.
Keenam, dalam mempelajari suatu kejadian yang kita dengar atau baca, banyak data yang tidak lengkap. Sulit sekali bagi kita untuk segera memvonis pelaku sejarah. Yang lebih selamat adalah mengambil pelajaran dan hikmah dari suatu kejadian.
Jika kita terburu-buru memvonis negatif kepada seseorang atau sekelompok orang, khawatir kita terjerumus kepada perbuatan dosa. Perlu dibedakan antara sikap bersangka buruk dengan sikap berhati-hati dan waspada.
*********
Republika.co.id