Garut News ( Selasa, 15/07 – 2014 ).
Pertempuran antara kelompok Hamas dengan tentara Israel sepekan terakhir menjadi siklus tragedi tak pernah usai.
Hingga kemarin, 172 warga Gaza tewas tanpa dunia bisa mencegahnya.
Berharap Dewan Keamanan PBB bertindak dan memberikan solusi pun nyaris mustahil.
Solusi konflik nyaris tak mungkin lantaran ketegangan ini berkembang begitu rupa tanpa satu pihak pun mau mundur.
PM Israel Benyamin Netanyahu, sosok konservatif dan keras.
Ia beda dengan pendahulunya membuka ruang lebih longgar berunding.
Sebaliknya, pihak Palestina pun tak satu suara menyikapi ketegangan.
Faksi Hamas sulit dikontrol otoritas Palestina.
Jangankan berunding dengan Israel, membicarakan solusi damai dengan sesama Palestina pun sulit.
Tetapi, melihat ketegangan kian memuncak dan korban terus berjatuhan, tak ada pilihan, perundingan menuju gencatan senjata, setidaknya sementara, kudu dilakukan.
Tanpa upaya berunding, tragedi Pembantaian Gaza 2008 bakal berulang.
Tragedi itu dimulai pada 28 Desember 2008, saat Israel menggempur Gaza lewat serangan udara dan darat selama 22 hari.
Dalam operasi militer bersandi Operation Cast Lead itu, 1.417 warga Palestina tewas.
Pembantaian hanya berhenti ketika dunia internasional serempak turun tangan.
Kali ini, dunia tak boleh menunggu hingga korban jatuh begitu banyak seperti pada 2008.
Tekanan internasional kudu terus dilakukan, tetapi tak cukup hanya mengandalkan seruan Dewan Keamanan PBB baru saja dikeluarkan.
Seruan itu terlalu lunak sebab tak bersifat mengikat, apalagi mengandung sanksi bagi Israel.
Seruan itu hanya efektif apabila Dewan Keamanan bertindak lebih serius.
Melihat gentingnya situasi, semestinya Dewan menggelar sidang darurat dan membahas resolusi dengan sanksi mengikat bagi Israel.
Memang, terdapat kemungkinan resolusi diganjal veto Amerika Serikat.
Namun menggelar sidang darurat sinyal penting untuk dunia, kondisi di Palestina luar biasa mencemaskan.
Apa terjadi di Gaza sekarang bukan hanya perang demi pengakuan keberadaan negara Palestina, melainkan juga tragedi kemanusiaan.
Sekarang pula saatnya negara-negara Timur Tengah bersikap lebih tegas.
Ini tak mustahil dilakukan.
Pada 2012, dunia internasional dan komunitas negara Timur Tengah dipimpin Mesir berhasil memaksakan gencatan senjata.
Keberhasilan itu juga didorong desakan lembaga dan organisasi kemanusiaan dunia.
Salah satu faktor keberhasilan tercapainya gencatan senjata menempatkan isu Palestina bukan hanya sebagai isu politik, melainkan juga isu kemanusiaan.
Tentu saja gencatan senjata bukanlah solusi akhir.
Siklus tragedi Palestina terjadi lantaran hingga sekarang Israel dan negara-negara pendukungnya tak pernah mau mengakui keberadaan Palestina merdeka dan berdaulat.
Selama pengakuan itu tak pernah mereka berikan, tragedi Palestina terus berulang.
Merekalah sesungguhnya bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan ini.
*******
Opini/Tempo.co