Putu Setia
Garut News ( Ahad, 29/12 ).
Mumpung liburan, saya berkesempatan ngobrol santai bersama Romo Imam.
Topik yang ingin saya mintai komentarnya adalah siapa tokoh yang layak ditulis tahun 2013.
“Ya, siapa lagi kalau bukan Susilo Bambang Yudhoyono, orang pertama di negeri ini,” kata Romo Imam.
Saya terkesiap.
Padahal sebelumnya sudah saya jelaskan, tokoh yang mau saya tulis harus kontroversial, bukan pejabat yang lurus-lurus saja seperti presiden, wakil presiden, menteri, dan sebagainya.
“Lo, SBY sebagai presiden juga kontroversial,” jawab Romo.
“Beliau kan sudah menerbitkan perpu untuk menyelamatkan Mahkamah Konstitusi, lalu perpu itu lolos di DPR sebagai undang-undang. Tapi, ketika keppres yang mengangkat hakim MK Patrialis Akbar dibatalkan pengadilan tata usaha negara, kenapa SBY mau banding. Mestinya diterima sembari mengucap syukur alhamdulillah, karena sekalian mengangkat hakim-hakim MK yang baru. Patrialis Akbar sudah tak layak jadi hakim MK, karena syaratnya harus tujuh tahun meninggalkan partai. Patrialis masih bau partai, buktinya partainya juga mengusulkan presiden banding.”
“Tak berminat?” tanya Romo.
“Bukan tak berminat,” jawab saya cepat.
“Saya takut menulis, kalau salah nanti saya disomasi pengacara SBY. Sudah dua orang kena somasi, saya tak mau jadi orang ketiga. Tokoh lain saja Romo.”
Romo mengambil sirih-kami memang bukan perokok.
“Kalau Ketua Umum Demokrat tidak, bagaimana kalau Ketua Umum Golkar, Pak Ical alias ARB? Pasti tak berminat juga. Romo tahu ada ungkapan di sekitar ARB yang perlu diluruskan. ARB itu katanya ibarat cinta, semakin dipaksakan semakin tidak diterima.”
Romo tertawa, lalu mengulum sirih.
Saya ikut tertawa, tanpa komentar.
Romo melanjutkan: “Yusril Ihza Mahendra bagus ditulis, Majelis Syuro Partai Bulan Bintang. Dia tokoh paling berani menggugat pemilu legislatif dan pemilu presiden. Dia betul, tak ada di konstitusi yang menyebut syarat pengajuan presiden dan wakil presiden harus memperoleh suara tertentu. Yang berhak mengajukan pasangan calon presiden-wakil presiden adalah partai atau pasangan partai peserta pemilu. Dan Yusril merasa sendirian karena tokoh lain terganggu oleh ulahnya ini, meskipun diam-diam semua setuju untuk masa depan negeri.”
Saya pura-pura berpikir.
“Menulis Yusril juga sulit, meski saya setuju dengan ulah dia. Bahkan banyak pemikiran Yusril yang saya sepakati dalam menata negara ini. Tapi nama partainya ada bulan ada bintang, benda-benda di langit. Eksklusif. Saya maunya simbol yang ada di bumi, yang akrab dilihat orang desa.”
“Ya, banteng moncong putih,” Romo kembali tertawa.
“Tulis Ibu Mega, kalau berani. Dugaan Romo, dia tak akan men-capres-kan Jokowi sebelum pemilu. Setelah pemilu, dia berhitung, kalau suara PDIP di atas 20 persen, dia akan maju dan Jokowi dijadikan cawapres. Kalau kurang-kurang sedikit dan PDIP harus berkoalisi, dia lihat lawannya. Kalau cuma yang itu-itu saja, Mega akan berani tampil dan menggandeng cawapres dari partai ‘penggenap suara’. Jokowi jadi tim sukses andalan. Kalau suara PDIP kurang banyak, ya, apa mau dikata. Jokowi jadi cawapres mendampingi capres dari Gerindra sesuai dengan kesepakatan Batutulis. Ada pendapat?”
Saya tahu Romo menantang.
“Saya tak punya pendapat, kecuali kasihan pada Jokowi.”
Romo menyahut: “Kalau begitu, tulis Jokowi saja, tokoh ini unik. Semakin hari semakin kelihatan ada ambisi di saat pernyataan tanpa ambisi. Ia pura-pura tak mikir, entah jika itu strategi. Atau menulis tokoh lain lagi?”
“Tidak, Romo,” cepat saya jawab.
“Kolomnya sudah habis, ini saya lagi menulis.”
***** Tempo.co