Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Rabu, 14/06 – 2017 ).
Temuan Ombudsman Republik Indonesia yang menyoroti peran tentara dalam program peningkatan produksi pangan harus ditanggapi serius oleh pemerintah. Ombudsman melihat keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI), dari tingkat produksi sampai distribusi, berpotensi mengintimidasi petani.
Program itu digulirkan untuk mewujudkan target swasembada beras yang dicanangkan pemerintah Presiden Joko Widodo. Guna mewujudkan target swasembada secepat-cepatnya, pemerintah getol membangun waduk, memperbaiki irigasi, dan memperbanyak area persawahan di berbagai daerah. Jokowi menunjuk Menteri Pertanian Amran Sulaiman sebagai penanggung jawab utama.
Menteri Amran kemudian menggandeng TNI Angkatan Darat untuk mewujudkan impian itu. Menteri Pertanian dan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Gatot Nurmantyo telah meneken nota kesepahaman (memorandum of understanding) pada 8 Januari 2015. Tapi kesepakatan yang dijadikan dasar hukum keterlibatan TNI AD dalam program ini tidak cukup kuat.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, semua urusan tentara di luar tugas pokoknya sebagai alat keamanan negara harus melalui keputusan presiden sebagai kepala negara. Sejak program ini bergulir, Presiden Jokowi belum pernah mengeluarkan surat keputusan apa pun soal pelibatan TNI AD dalam program bantuan produksi pangan ini.
Peran TNI dalam program itu semakin tidak wajar karena tentara terlibat terlalu jauh. TNI, misalnya, ikut melakukan penyuluhan, pembangunan infrastruktur, pencetakan sawah, pendistribusian alat mesin pertanian, dan penyerapan produksi. Padahal tentara tidak memiliki kompetensi di bidang itu. TNI seharusnya menghindari peran dalam program pemerintah yang tidak ada hubungannya dengan keamanan dan pertahanan negara.
Keterlibatan TNI juga menimbulkan banyak keluhan di masyarakat. Ada yang terintimidasi karena harus menggandeng TNI sejak membuka lahan dan mengharuskan padi sebagai komoditas yang akan ditanam. Hal itu tentu saja merusak kearifan lokal. Di Sumatera Barat, contohnya, petani membuka lahan tidak selalu untuk menanam padi. Kadang-kadang mereka memilih menanam komoditas lain yang ketika itu harga jualnya lebih tinggi.
Ada juga asosiasi petani yang melapor ke anggota Dewan Perwakilan Rakyat karena dipaksa menjual hasil panen ke Bulog. Pemaksaan itu melanggar hak dan kebebasan petani untuk meningkatkan taraf hidupnya, antara lain dengan bebas menjual hasil panennya ke siapa pun. Keleluasaan petani jelas dijamin oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Kementerian Pertanian harus segera menghentikan keterlibatan TNI dalam program swasembada pangan. Kunci sukses program ini adalah memberdayakan para petani dengan ilmu dan teknologi, bukan mengundang peran TNI. Pemerintah harus memberi kepercayaan besar kepada petani itu sendiri.
**********
Opini Tempo.co